Studi Hukum Dalam Perspektif Ilmu
Sosial Atau Pemanfaatan Ilmu Sosial Dalam Studi Hukum | Tehnik Menyusun Kerangka Teori Penelitian (GS)
A.
Latar
belakang
Ilum hukum adalah ilmu yang
mandiri atau otonom, keberadaannya betul-betul independen lepas sama sekali
dari anasir-anasir di luar dirinya. Ungkapan tersebut sudah lazim didengar
terutama oleh mereka yang beraliran positifisme hukum. Bagi mereka hukum dapat
dibedakan menjadi dua bagian yaitu hukum yang dibuat oleh Tuhan dan hukum
yang
dibuat oleh manusia[1].
Hukum yang dibuat oleh Tuhan adalah apa yang terdapat dalam kitab suci suatu
agama yang memuat perintah maupun larangan seperti, perintah solat,puasa,zakat,menunaikan
ibadah haji sebagaimana yang terdapat dalam kitab suci umat Islam (Al-Qur’an)
dan perintah yang lain yang terdapat dalam agama lain yang tertuang dalam kitab
suci masing-masing.
Adapun yang kedua adalah
hukum yang dibuat oleh manusia dapat dibedakan menjadi dua yaitu hukum yang
sebenarnya dan hukum yang tidak sebenarnya. Hukum yang sebenarnya adalah hukum
yang dibuat oleh penguasa dalam hal ini pemerintah maupun institusi yang
terkait, hukum yang sebenarnya mengandung empat unsur, yaitu: perintah,sanksi,kewajiban
dan kedaulatan.Kedua hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang berasal dari
luar atau hukum yang bukan dari pemerintah itu sendiri, seperti hukum adat pada
masyarakat adat dan lain-lain[2].
Apa yang diutarakan di atas
merupakan pandangan dari aliran Analitical Jurisprudenci yang merupakan
cabang positifisme hukum dimana tokoh penting dalam aliran tersebut
adalah Jhon Austin. Berbeda halnya dengan. Aliran sosiologi hukum yang melihat
hukum sebaliknya bahwa hukum tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat,
kedua-duanya adalah saling menguatkan ketika proses pembuatan maupun ketika
diberlakukan. Sehingga muncul istilah hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup ditengah masyarakat[3].
Kedua aliran atau mazhab
hukum sebagaimana yang diungkapkan di atas melihat hukum berbeda-beda hal ini
tentu membawa konsekwensi perbedaan metologis masing-masing dalam melakukan
kajian maupun penelitian terhadap hukum. Pada pembahasan kali ini sesuai dengan
judul makalah studi hukum dalam perspektif ilmu sosial maupun pemanfaatn ilmu
sosial pada hakikatnya sama-sama memiliki hubungan yang erat antara hukum
maupun masyarakat kedua hal tersebut atau lebih sederhananya memiliki objek
yang sama yaitu masyarakat.
B.
Pembahasan
Seperti yang disinggung di
atas pada dasarnya studi hukum dalam perspektif ilmu sosial maupun pemanfaatn
ilmu sosial dalam studi hukum adalah dua hal yang menurut penulis sama-sama
memberikan ruang yang terbuka antara satu dengan yang lain dalam melihat maupun
merumuskan persoalan-persoalan hukum baik yang terjadi maupun masih dalam
rancangan pembuatannya.
Adanya keterbukaan hukum
terhadap disiplin ilmu sosial merupakan sebuah bentuk dari ketidak puasan
terhadap positifisme hukum yang sama sekali masih tertutup pada persoalan lain
diluar dirinya, kompleksitas persoalan sosial yang terjadi telah mengubah
pandangan para ilmuan hukum bahwa ketertutupan melihat persoalan-persoalan
diluar dirinya menjadikan hukum tidak lebih dari musium yang terpajang
dilembaga-lembaga hukum, atau seperti halnya seorang dokter yang hanya bisa
menyembuhkan pasien tetapi tidak bisa memberikan saran supaya pasien tersebut
tidak kambuh lagi, atau bagaimana caranya supaya seseorang supaya tidak terkena
penyakit.
Jika hukum diumpamakan
seperti itu maka tidak cukup hanya berkutat pada persoalan norma dan aturan
saja. Oleh karena itu menurut aliran sosiologi hukum atau aliran empiri pada
umumnya berpendapat bahwa penstudi dan praktisi hukum harus melakukan kajian
atau penelitian hukum secara sosiologi empiris. Satjipto Raharjo mengatakan
bahwa untuk mampu memahami hukum lalu lintas tidak bisa hanya membaca
undang-undang lalu lintas saja, tetapi juga harus turun mengamati langsung apa
yang terjadi dijalan raya[4].
Tujuan dari studi secara
sosiologi empiri adalah dalam rangka menjawab problem sosial Selain itu dapat
juga memberikan pemahaman yang utuh terhadap hukum baik dalam konteks norma
maupun dalam konteks sosial dan juga memudahkan para penstudi hukum untuk
mendorong perkembangan ilmu hukum yang mempunyai nilai guna bagi masyarakat,
begitu pula akan berguna bagi para praktisi dan para legislator dalam
merumuskan peraturan perundang-undangan agar bisa melindungi kepentingan
masyarakat banyak sesuai dengan perkembangan zaman[5].
1.
Hukum
dan masyarakat
Menurut Satjipto Raharjo,
hukum dan masyarakat tidak bisa dipisahkan, bagi hukum masyarakat merupakan
sumber daya yang memberi hidup (to nature) dan menggerakkan hukum
tersebut. Masyarakat menghidupi hukum dengan nilai-nilai, gagasan, konsep,
disamping itu masyarakat juga menghidupi hukum dengan cara menyumbangkan
masyarakat untuk menjalankan hukum. Kita mengetahui dari perspektif sosiologis
hukum, hukum itu hanya bisa dijalankan melalui campur tangan manusia, sebagai
golongan yang menyelenggarakan hukum, maupun mereka yang wajib menjalankan
ketentuan hukum. Dengan demikian masuklah aspek perilaku manusia kedalam hukum[6].
Dalam karyanya yang lain
Satjipto Raharjo berpendapat bahwa hukum bekerja dengan cara memancangi
perbuatan seseorang atau hubungan antara orang-orang dalam masyrakat. Untuk
keperluan pemancangan tersebut, maka hukum menjabarkan pekerjaannya dalam
berbagai fungsi, yaitu[7]:
a.
Pembuatan norma-norma,
baik yang memberikan peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang
dengan orang
b.
Penyelesaian
sengketa-sengketa
c.
Menjamin
keberlangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam hal terjadi
perubahan-perubahan sosial
Dari tiga pekerjaan hukum
sebagaimana disinggung di atas dapat digolongkan sebagai sarana untuk melakukan
kontrol sosial , yaitu suatu proses mempengaruhi orang-orang untuk bertingkah
laku sesuai dengan harapan masyarakat. Lebih lanjut Satjipto Raharjo mengemukakan
bahwa apabila proses pengontrolan sosial tersebut dihubungkan dengan bagan
hubungan sibernetik dari parsons, maka tampak bahwa pekerjaan-pekerjaan yang
dilakukan oleh hukum itu tidak sama sekali otonom, melainkan kait-berkait
dengan proses-proses lain yang berlangsung dalam masyarakat. Kait-berkait dalam
arti, baik hukum itu mengontrol maupun dikontrol oleh berbagai proses dalam
masyarakat ituserta bekerjanya hukum itu dikondisikan pula oleh proses-proses
yang memuat energi lebih yang besar[8].
Suatu hal yang mustahil jika
hukum bisa terlepas dan otonom dari unsur-unsur yang lain, oleh karena itu
dalam hal ini Sabian Ustman melihat hukum sebagai fakta sosial tidaklah
dikonsepsikan sebagai suatu gejala normatif yang otonom dan atau mandiri, akan
teteapi sebagai suatu institusi sosial yang selalu membumi secara riil dengan
pola-pola dan atau variabel-variabel sosial yang senyatanya hidup dan
berkembang serta berakar di masyarakat.[9]
Lebih lanjut Sabian
berpendapat bahwa ada perbedaan mendasar anatara hukum sebagai fakta
hukum dengan hukum sebagai fakta sosial. Hukum sebagai fakta hukum spekulatif
teoritis dan normatif, sementara hukum sebagai fakta sosial bersifat
sosiologis’empiris,non-doktrinal dan non-normatif.
Dengan demikian dapat
dikatakan bahawa hukum dan dinamika sosial adalah dua hal yang saling
melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Masyarakat memberi hidup hukum
sedangkan hukum mengarahkan masyarakat menuju tujunannya. Sebagaimana pandangan
sosiological jurisprudence hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup didalam masyarakat. Lebih jauh Aliran ini berpandangan
bahwa kaitannya dengan hukum yang positif,dia hanya akan bisa efektif apabila
senyatanya selaras dengan hukum yang hidup di masyarakat dan pusat perkembangan
dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif,keputusan-keputusan
badan yudikatif atau ilmu hukum, tetapi senyatanya adalah justeru terletak di
dalam masyrakat itu sendiri.
Hal yang senada di ungkapkan
oleh Awaludin Marwan yang berpendapat bahwa hukum tidak bisa lepas dari
masyarakat secara sosial , hukum dilaksanakan dibuat dan diterapkan atas mandat
masyarakat. Sehingga mempelajari hukum pertama-tama hendaknya mempelajari
masyarakatnya. Tidak ada hukum tampa ada masyarakat[10].
Lebih lanjut Awaludin Marwan
berpendapat bahwa hukum yang baik adalah hukum yang memiliki legitimasi moral
dan politik dari masyarakat, yang berisikan keinginan, harapan, kebutuhan dan kebudayaan
masyarakat. Hukum yang tidak mengandung hati nurani rakyat, maka ia bukanlah
hukum yang baik dan hukum yang terkhir inilah yang harus dikritik dan
dirobohkan.
Senada dengan apa yang di
ungkapkan oleh para pemeikir tersebut di atas Menurut Sulistiowati Irianto.
Kegagalan gerakan pembangunan hukum dibeberapa negara berkembang dalam konteks
tertentu baik dalam arus utama tidak dapat menjawab berbagai persoalan
kemasyarakatan yang rumit dan tidak bisa dijawab secara tekstual dan mono
disiplin dan dalam kondisi seperti itu penjelasan yang lebih mendasar dan
mencerahkan bisa didapatkan secara interdisipliner. Oleh karenanya menurutnya
dibutuhkan suatu pendekatan hukum yang bisa menjelaskan hubungan antara hukum
dan masyarakat. Dalam konteks negara yang sedang berkembang studi ilmu hukum
harus dapat mengkombinasikan antara ilmu sosial dan ilmu hukum[11].
Menarik untuk disimak
pendapat para ahli hukum sebagaimana penulis sebutkan di atas, hukum tidak lagi
sebagai sebuah musium yang terpajang dilembaga-lembaga hukum melainkan
merupakan wujud dari dinamika kehidupan sosial. Dengan berangkat dari pendapat
Satjipto Raharjo Bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan hukum untuk hukum
merupakan sebuah paradigma baru melihat dan menyikapi hukum yang keberadaannya
tidak bisa mengabaikan masyarakat begitu saja..
2.
Studi
Hukum Dalam Perspektif Ilmu Sosiologi Dan Konsekuensi Metodeloginya
Studi hukum dalam perspektif
ilmu sosial adalah sebuah upaya melakukan konstuksi hukum berdasarkan atas
penomena sosial yang ada. Prilaku masyarakat yang dikaji adalah prilaku yang
timbul akibat berinteraksi dengan sistem norma yang ada. Interaksi itu muncul
sebagai bentuk reaksi masyarakat atas diterapkannya sebuah ketentuan
perundang-undangan positif dan bisa pula dilihat prilaku masyarakat sebagai
bentuk aksi dalam memengaruhi pembentukan sebuah ketentuan hukum positif[12].
Contoh yang dapat digambarkan dalam model studi hukum dalam perspektif sosial
adalah misalnya studi tentang hukum pertanahan tentang pengadaan tanah untuk
kepentingan umum. Kita bisa mulai dari aturan perundang-undangan yang berlaku
yang mengatur masalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Apakah ada
ketidak sesuaian antara peraturan perundangan dengan kondisi masyarakat,
sehingga menimbulkan konflik ketika pemrintah melakuakan pembebasan tanah dan
seterusnya.
Studi hukum perspektif
sosiologi dapat menggambarkan hubungan hukum dengan masyarakat dalam bentuk:
a.
Kesesuaian
antara semangat hukum dengan realitas masyarakat yang ada.
b.
Peluang dan
tantangan ketika hukum tersebut di undangkan
c.
Mengetahui
pengaruh ditetapkannya sebuah ketentua terhadap prilaku masyarakat
Konsekuensi metodelogi yang
digunakan dalam studi ini adalah perkawinan antara metode hukum dengan ilmu
sosial yang kemudian menghasilkan metode kwalitatif sosiolegal dan etnografi
sosiolegal[13].
3.
Studi
sosiologi dalam ilmu hukum dan konsekuensi metodeloginya.
Studi sosiologi berbeda
dengan sosiologi hukum, dimana sosiologi hukum benih intelektualnya terutama
berasal dari sosiologi arus utama, dan bertujuan untuk dapat mengkonstruksi
pemahaman toritik dari sistem hukum. Ha itu dilakukan oleh para sosiolog hukum
dengan cara menempatkan hukum dalam kerangka struktur sosial yang luas.
Hukum, preskripsi hukum dan
definisi hukum tidak diasumsikan atau diterima begitu saja, tetapi dianalisis
secara problematik dan dianggap penting untuk dikaji kemunculan-artikulasi dan
tujuan. Hukum sebagai mekanisme regulasi sosial dan hukum sebagai sesuatu
profesi dan disiplin, menjadi perhatian dalam studi ini. Studi ini banyak
memusatkan perhatian kepada wacana hukum yang merupakan bagian dari pengalaman
dalam kehidupan keseharian masyarakat. Hukum yang dimaksud adalah kaidah atau
norma sosial yang telah ditegaskan sebagai hukum dalam bentuk
perundang-undangan. Lingkup kajiannya adalah mengenai berfungsi atau tidaknya
hukum dalam masyarakat dengan melihat aspek struktur hukum, dan aparat penegak
hukum. Beberapa konsep penting yang dikaji adalah mengenai pengendalian sosial,
sosialisasi hukum, stratifikasi,perubahan hukum dan perubahan sosial. Karena
menginduk pada sosiologi maka konsekwensi metodeloginya adalah menggunakan
metodelogi penelitian sosiologis yang secara tradisi dicirikan berada dalam
ranah kuantitatif[14].
Kesimpulan
Adanya keterkaitan antara
hukum dan masyarakat serta persoalan-persoalan yang dihadapi telah mengubah paradigma
para pemikir atau para ahli hukum bahwa hukum pada dasarnya adalah melayani
kepentingan masyarakat. Maka dari itu hukum dituntut untuk dinamis seiring
dengan dinamisnya kehidupan masyarakat. Berangkat Dari sinilah sehingga dalam
dunia hukum dikenal istilah sosiologi hukum maupun antropolgi hukum dan
lain-lain. Munculnya gabungan antara ilmu sosial dan ilmu hukum tidak lain
adalah untuk dapat menjawab problematika kehidupan masyarakat pada umumya
begitu juga dengan antropogi hukum dan seterusnya.
0 komentar:
Posting Komentar
NB: Berikan Komentar yang sopan dan berkenaan dengan Artikel diatas.
Saya mohon maaf jika komentar sahabat dan rekan blogger terlambat di respon Karena banyaknya kegiatan yang mengikat he he he, Silahkan copas asalkan cantumkan juga sumbernya yah...!