BAB I
PEMBAHASAN
PENGAWASAN TERHADAP PROFESI HUKUM
A. Pengawasan Terhadap Polisi
Polisi Republik Indonesia (Polri) dalam perannya sebagai penegak hukum selalu terus berupaya untuk memberikan hasil yang baik. Gejala merosotnya pengemban profesi hukum tampak dari munculnya istilah
“Mafia Peradilan”, dan orang mulai merasa bahwa sebaiknya untuk menyelesaikan suatu kasus sedapat mungkin jangan ke pengadilan dengan bantuan pengemban profesi hukum. Apa artinya jika dikatakan bahwa profesi mengalami kemerosotan (seriouly impaired)? Apa ukurannya untuk menilai demikian? Jawabnya adalah jika kode etik profesi tidak dipatuhi oleh sebagian besar para pengembannya. Tetapi, apa kode etik profesi itu, dan mengapa profesi memerlukan kode etik? Jawabannya akan tergantung pada pengertian kita tentang profesi itu sendiri.
Perkataan profesi dan profesional sudah sering digunakan dan mempunyai beberapa arti. Dalam percakapan sehari-hari, perkataan profesi diartikan sebagai pekerjaan (tetap) untuk memperoleh nafkah (Belanda; baan; Inggeris: job atau occupation), yang legal maupun yang tidak. Jadi, profesi diartikan sebagai setiap kegiatan tetap tertentu untuk memperoleh nafkah yang dilaksanakan secara berkeahlian yang berkaitan dengan cara berkarya dan hasil karya yang bermutu tinggi dengan menerima bayaran yang tinggi. Keahlian tersebut diperoleh melalui proses pengalaman, belajar pada lembaga pendidikan (tinggi) tertentu, latihan secara intensif, atau kombinasi dari semuanya itu. Dalam kaitan pengertian ini, sering dibedakan pengertian profesional dan profesionalisme sebagai lawan dari amatir dan amatirisme, misalnya dalam dunia olahraga, yang sering juga dikaitkan pada pengertian pekerjaan tetap sebagai lawan dari pekerjaan sambilan.
Pengemban profesi adalah orang yang memiliki keahlian yang berkeilmuan dalam bidang tertentu. Karena itu, ia secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan warga masyarakat yang memerlukan pelayanan dalam bidang yang memerlukan keahlian berkeilmuan itu. Pengemban profesi yang bersangkutan sendiri yang memutuskan tentang apa yang harus dilakukannya dalam melaksanakan tindakan pengembanan profesionalnya. Ia secara pribadi bertanggung jawab atas mutu pelayanan jasa yang dijalankannya. Karena itu, hakikat hubungan antara pengemban profesi dan pasien atau kliennya adalah hubungan personal, yakni hubungan antar subyek pendukung nilai.
Hubungan personal yang demikian itu tadi adalah hubungan horisontal antara dua pihak yang secara formal yuridis kedudukannya sama. Walaupun demikian, sesungguhnya dalam substansi hubungan antara pengemban profesi dan klien itu secara sosio-psikologis terdapat ketidakseimbangan. Dalam pengembanan profesinya, seorang pengemban profesi memiliki dan menjalankan otoritas profesional terhadap kliennya, yakni otoritas yang bertumpu pada kompetensi teknikalnya yang superior.
Klien tidak memiliki kompetensi teknikal atau tidak dalam posisi untuk dapat menilai secara obyektif pelaksanaan kompetensi teknikal pengemban profesi yang diminta pelayanan profesionalnya. Karena itu, jika klien mendatangi atau menghubungi pengemban profesi untuk meminta pelayanan atau jasa profesionalnya, maka pada dasarnya klien tersebut tidak mempunyai pilihan lain kecuali memberikan pelayanan profesionalnya secara bermutu dan bermartabat. Uraian tadi menunjukkan bahwa hubungan horosontal antara pengemban profesi dan kliennya juga bersifat suatu hubungan kepercayaan. Ini berarti bahwa klien yang meminta jasa pelayanan profesional, mendatangi pengemban profesi yang bersangkutan dengan kepercayaan penuh bahwa pengemban profesi itu tidak akan menyalahgunakan situasinya, bahwa pengemban profesi itu secara bermartabat akan mengerahkan pengetahuan dan keahlian berkeilmuannya dalam menjalankan pelayanan jasa profesionalnya.
Karena merupakan suatu fungsi kemasyarakatan yang langsung berkaitan dengan nilai dasar yang menentukan derajat perwujudan martabat manusia, maka sesungguhnya pengembanan profesi atau pelayanan profesional itu memerlukan pengawasan masyarakat. Tetapi pada umumnya, yang bukan pengemban profesi yang bersangkutan, tidak memiliki kompetensi teknikal untuk dapat menilai dan melakukan pengawasan yang efektif terhadap pengembanan profesi. Termasuk birokrasi pemerintahan sulit melaksanakan pengawasan dan pengendalian kemasyarakatan (kontrol sosial) terhadap pelayanan profesional secara efektif. Daya jangkau kontrol sosial birokrasi pemerintahan dengan berdasarkan kaidah hukum sangat terbatas, baik karena sifat personal pada hubungan antara pengemban profesi dan klien maupun karena pengemban profesi memiliki kekuasaan dan menjalankan kewibawaan tertentu terhadap kliennya. Bahwa etika profesi adalah sebagai sikap hidup untuk memenuhi kebutuhan pelayanan profesional dari klien dengan keterlibatan dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka kewajiban masyarakat sebagai keseluruhan terhadap para anggota masyarakat yang membutuhkannya dengan disertai refleksi yang seksama, berdasarkan pengertian terdapatnya kaidah-kaidah pokok etika profesi sebagai berikut:
1.Profesi harus dipandang (dan dihayati) sebagai suatu pelayanan;
2.Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan klien mengacu pada kepentingan atau nilai-nilai luhur sebagai norma kritik yang memotivasi sikap dan tindakan;
3. Pengemban profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan;
4. Agar persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat harus dapat menjamin mutu dan peningkatan pengembanan profesi tersebut.
Etika profesi adalah sikap etis sebagai bagian integral dari sikap hidup dalam menjalani kehidupan sebagai pengemban profesi. Hanya pengemban profesi yang bersangkutan yang dapat atau yang paling mengetahui tentang apakah perilakunya dalam mengemban profesi memenuhi tuntutan etika profesinya atau tidak. Karena tidak memiliki kompetensi teknikal, maka awam tidak dapat menilai hal itu. Ini berarti, kepatuhan terhadap etika profesi akan sangat tergantung pada akhlak dan moral pengemban profesi yang bersangkutan. Disamping itu pengemban profesi sering dihadapkan pada situasi yang menimbulkan masalah pelik untuk menentukan perilaku apa yang memenuhi tuntutan etika profesi. Sedangkan perilaku dalam pengembanan profesi dapat membawa akibat negatif yang jauh terhadap klien, dimana kenyataan tersebut dapat menunjukkan bahwa kalangan pengemban profesi itu sendiri membutuhkan adanya pedoman obyektif yang lebih konkret bagi perilaku profesionalnya. Karena itu, dari dalam lingkungan para pengemban profesi itu sendiri dimunculkan seperangkat kaidah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban profesi tersebut. Perangkat kaidah itulah yang disebut sebagai kode etik profesi (biasa disingkat: kode etik), yang dapat tertulis maupun yang tidak tertulis. Pada masa sekarang, kode etik itu pada umumnya berbentuk tertulis yang ditetapkan secara formal oleh tiap-tiap organisasi profesi yang bersangkutan. Pada dasarnya, kode etik itu bertujuan untuk menjaga martabat profesi yang bersangkutan, dan di lain pihak untuk melindungi klien (warga masyarakat) dari penyalahgunaan keahlian dan atau otoritas profesional. Yang dalam perkembangan selanjutnya kode etik tersebut termasuk kelompok kaidah moral positif.
Kondisi ini, baik dimasa pemerintahan orde baru maupun pemerintahan pasca reformasi, termasuk pemerintahan sekarang dalam kontek teknisnya, eksistensi “kode etik” tersebut dalam melayani hajat hidup orang banyak, belum total mencitrakan diri dan jatidirinya sebagai pelayanan publik. Dengan kata lain, masih memperlihatkan penyelewengan-penyelewengan etika profesi yang dilakukan oleh pengemban profesi secara individualistik.
Apalagi dikaitkan dengan tuntutan aspirasi rakyat yang menginginkan reformasi total terhadap seluruh tatanan pelayanan publik, dan kita masih berharap-harap cemas untuk mendapat buktinya, apakah dalam kenyataannya proses pengemban profesi ini masih berdasarkan akal sehat dan moral yang baik atau sekedar pengabdian profesi yang tanpa pamrih?
Realitasnya, klien (warga masyarakat) masih harus menanggung beban dalam luka liku setiap permasalahan yang dihadapinya ketika dikerjakan oleh seorang pengemban profesi walaupun ia sanggup membayar, tapi ia akan terus dihantui bayang-bayang kegelisahan ketika permasalahan yang dihadapinya tidak dapat diselesaikan secara tuntas. Malah, dalam kenyataannya proses tersebut harus dibayar dengan mahal, baik secara moril maupun material.
Kendati begitu, dalam prosesnya harus dihitung berbagai kelemahan, baik yang bersifat yuridis formal maupun psikologis, tanpa itu kita bakal terjebak kembali oleh perilaku budaya yang arogan dan kesewenang-wenangan dalam menyelesaikan setiap proses dalam pengembanan profesi tersebut. Persoalan mendasar yang masih kita hadapi saat ini, tidak terlepas dari rangkaian perilaku moral dari para pengemban profesi yang erat dengan budaya feodal kolonialistik. Dan reaksinya, muncul ke permukaan setelah klien (warga masyarakat) di berbagai daerah memiliki kembali keberaniannya untuk memperjuangkan hak dan kewajibannya dalam pola masyarakat hukum. Paling tidak, mereka itu dapat melakukan kontrol dan penataan publik, terhadap perilaku profesi yang menyimpang yang dilakukan oleh setiap pengemban profesi dalam menjalankan fungsinya dalam tatanan kemasyarakatan, yang memerlukan jasa pelayanan profesinya secara proporsional dan profesional dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam peri kehidupan masyarakat secara benar dan tuntas. Profesi hukum berkaitan dengan masalah mewujudkan dan memelihara ketertiban yang berkeadilan di dalam kehidupan bermasyarakat. Ketertiban yang berkeadilan itu adalah kebutuhab dasar manusia, karena hanya dalam situasi demikian manusia dapat menjalani kehidupannya secara wajar, yakni sesuai dengan martabat kemanusiannya. Keadilan adalah nilai dan keutamaan yang paling luhur dan merupakan unsur esensial dari martabat manusia. Hukum, kaidah-kaidah hukum positif, kesadaran hukum, kesadaran etis dan keadilan bersumber pada penghormatan terhadap martabat manusia. Penghormatan terhadap martabat manusia adalah titik tolak atau landasan bertumpunya serta tujuan akhir dari hukum. Sebagai sarana untuk mewujudkan ketertiban yang berkeadilan, hukum diwujudkan dalam pelbagai kaidah perilaku kemasyarakatan yang disebut kaidah hukum. Keseluruhan kaidah hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat tersusun dalam suatu sistem yang disebut tata hukum. Ada dan berfungsinya tata hukum dengan kaidah –kaidah hukumnya serta penegakannya adalah produk dari perjuangan manusia dalam upaya mengatasi pelbagai masalah kehidupan dalam masyarakat, termasuk menanggulangi dan mengarahkan kecenderungan-kecenderungan yang negatif agar menjadi positif dan mengaktualisasikan atau memproduktifkan kecenderungan-kecenderungan positif yang ada dalam diri manusia.
Dalam setiap perjuangan, manusia berusaha memahami, mengolah dan mengakomodasikan secara kreatif pelbagai kenyataan kemasyarakatan pada nilai-nilai yang dianut dan mengekspresikan ke dalam sistem penataan perilaku dan kehidupan bersama dalam wujud kaidah-kaidah hukum, sehingga bermanfaat bagi perlindungan martabat manusia sesuai dengan tingkat perkembangan peradaban yang sudah tercapai. Dapat dikatakan bahwa dalam dinamika kehidupan umat manusia, hukum dan tata hukumnya termasuk salah satu faktor yang sangat penting dalam proses penghalusan budi pekerti umat manusia. Kualitas kehidupan hukum dan tata hukum suatu masyarakat mencerminkan tingkat akhlak atau situasi kultural masyarakat yang bersangkutan. Penyelenggaraan dan penegakan ketertiban yang berkeadilan dalam kehidupan bersama sebagai suatu kebutuhan dasar manusia agar kehidupan manusia tetap bermartabat adalah suatu fungsi kemasyarakatan. Pada tingkat peradaban yang sudah majemuk, fungsi kemasyarakatan penyelenggaraan dan penegakan ketertiban yang berkeadilan itu dalam kehidupan sehari-harinya diwujudkan oleh profesi hukum. Peran kemasyarakatan profesi hukum itu dapat dibagi menjadi empat bidang karya hukum, yakni :
1. Penyelesaian konflik secara formal (peradilan).
2. Pencegahan konflik (legal drafting, legal advice).
3. Penyelesaian konflik secara informal.
4. Penerapan hukum di luar konflik.
Pada masa sekarang, yang termasuk dalam bagian profesi hukum yang secara khas mewujudkan bidang karya hukumnya adalah jabatan-jabatan hakim, advokat dan notaris. Jabatan manapun yang diembannya, seorang pengemban profesi hukum dalam menjalankan fungsinya harus selalu mengacu pada tujuan hukum untuk memberikan pengayoman kepada setiap manusia dengan mewujudkan ketertiban yang berkeadilan, yang bertumpu pada penghormatan martabat manusia.
Dalam dinamika kehidupan sehari-hari tidak jarang terjadi konflik kepentingan antar warga masyarakat, seringkali konflik kepentingan itu tidak dapat diselesaikan dengan baik oleh para pihak yang bersangkutan, karena tiap pihak tentu saja akan cenderung berusaha untuk dengan segala cara membela kepentingan-kepentingannya. Cara yang demikian akan menimbulkan ketegangan dalam masyarakat dan dapat menjurus pada terciptanya suasana “bellum omnium contra omnes” dengan hukum rimbanya : “siapa yang kuat dialah yang menang”. Untuk dapat secara teratur menyelesaikan konflik kepentingan dengan baik demi terpeliharanya ketertiban di dalam masyarakat, maka diperlukan adanya institusi (kelembagaan) khusus yang mampu memberikan penyelesaian secara tidak memihak (imparsial) dan berlandaskan patokan yang berlaku secara obyektif. Untuk menyelesaikan konflik-konflik kepentingan secara formal dengan kepastian yang berkeadilan, maka terbentuklah institusi peradilan lengkap dengan aturan-aturan prosedural dan jabatan-jabatan yang berkaitan, yakni hakim, advokat dan jaksa.
Wewenang pokok dari lembaga peradilan adalah melakukan tindakan pemeriksaan, penilaian dan penetapan nilai perilaku manusia tertentu serta menentukan nilai suatu situasi konkret dan menyelesaikan persoalan (konflik) yang ditimbulkan secara imparsial berdasarkan hukum yang dalam hal ini bisa dijadikan sebagai patokan obyektif. Wewenang itulah yang disebut kewenangan (kekuasaan) kehakiman, dimana pengambilan keputusan dalam mewujudkan kewenangan kehakiman tersebut dalam kenyataan konkret, dilaksanakan oleh pejabat lembaga peradilan yang dinamakan hakim.
Pada dasarnya, tugas hakim adalah memberikan keputusan atas setiap perkara (konflik) yang dihadapkan kepadanya. Artinya, hakim bertugas untuk menetapkan hubungan hukum, nilai hukum dari perilaku serta kedudukan hukum para pihak yang terlibat dalam situasi yang dihadapkan kepadanya. Agar dapat menyelesaikan masalah atau konflik yang dihadapkan kepadanya secara imparsial berdasarkan hukum yang berlaku, maka dalam proses pengambilan keputusan, para hakim harus mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun, termasuk dari pemerintah sekalipun. Dalam mengambil keputusan para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan landasan yuridis keputusannya, disamping sikap etis atau etika profesi hakim harus berintikan: sikap takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, jujur, adil, bijaksana, imparsial (tidak memihak), sopan, sabar, memegang teguh rahasia jabatan, dan solidaritas sejati. Dan mengenai tanggung jawab antara hakim dan advokat atau penasehat hukum adalah tanggung jawab dan kewenangannya saja, hakim terbatas pada satu bidang karya hukum saja, yakni penyelesaian konflik dan masalah formal, sedangkan advokat atau penasehat hukum dapat berperan pada semua bidang karya hukum dalam mengemban profesinya itu. Advokat atau penasehat hukum juga harus selalu mengacu pada usaha mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum yang berkeadilan. Karena itu, pada dasarnya etika profesi hakim berlaku juga bagi para advokat. Secara etis, para advokat atau penasehat hukum berkewajiban untuk menegakkan asas-asas hukum dan martabat manusia.
B. Pengawasan Terhadap Jaksa
C. Pengawasan Terhadap Hakim
HAKIM semestinya adalah profesi atau jabatan yang mulia dan memiliki kedudukan yang istimewa dalam masyarakat, karena padanya diberikan kewenangan yang istimewa yang tidak diberikan kepada jabatan manapun. Namun di Indonesia saat ini kita sepertinya terpaksa harus mengakui bahwa masyarakat tidak lagi memiliki pandangan yang ideal terhadap hakim.
Salah satu penyebab turunnya kepercayaan masyarakat terhadap profesi hakim adalah adanya korupsi di tubuh peradilan. Tuduhan adanya korupsi di pengadilan di mulai oleh kalangan advokat dengan ungkapan “mafia peradilan”. Mafia peradilan merujuk pada konspirasi para aparat keadilan untuk mempermainkan hukum demi keuntungan pribadi.
Salah satu langkah yang sudah dilakukan untuk menjaga integritas hakim adalah dengan pengawasan. Sejak Proklamasi sampai dengan era reformasi telah dilakukan berbagai bentuk pengawasan terhadap hakim, baik berupa pengawasan internal maupun pengawasan eksternal. Paling tidak terdapat tiga macam pengawasan internal yang dilakukan Mahkamah Agung Terhadap Pengadilan, yaitu: (1) Pengawasan yustisial terhadap putusan dan penetapan pengadilan atau penetapan majelis hakim. Pengawasan ini dalam bentuk upaya hukum (kasasi, PK); (2) Pengawasan tingkah laku hakim baik dalam beracara maupun tingkah laku lain yang merusak integritas pengadilan; (3) Pengawasan administrasi peradilan. Pengawasan ini meliputi baik administrasi penyelenggaraan peradilan seperti ketertiban register perkara, biaya perkara, eksekusi, dan ketertiban administrasi umum seperti administrasi keuangan, dan kepegawaian.
Dalam kurun waktu berlangsungnya pemerintahan Orde Lama pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif melakukan intervensi dan sekaligus pengawasan yang masif dan sistematis terhadap kekuasaan kehakiman. Para hakim baik hakim pada Pengadilan tingkat pertama dan hakim pada Pengadilan Tinggi maupun hakim agung pada Mahkamah Agung setiap saat bisa saja dipecat apabila dianggap telah melakukan perbuatan kontra revolusi. Oleh karena fungsi hakim pada dasarnya adalah melaksanakan hukum sebagai alat revolusi maka putusan hakim yang tidak sesuai dengan norma hukum yang ada sudah bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang kontra revolusi.
Dalam kedudukannya sebagai Pegawai Negeri Sipil, pengawasan terhadap hakim dilakukan melalui pengawasan melekat dan pengawasan fungsional. Pengawasan Melekat merupakan pengawasan yang otomatis timbul pada saat melakukan tindakan dalam melaksanakan tanggung jawab seorang pejabat/petugas di dalam suatu sistem pengendalian manajemen. Pengawasan melekat mencegah terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan yang telah ditentukan dalam kerangka sistem pengendalian manajemen, sehingga daya kerjanya bersifat pencegahan atau preventif. Sementara pengawasan fungsional bersifat relatif. subyek yang melaksanakan fungsi pengawasan adalah (1) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, (2) Inspektorat Jenderal Departemen, Aparat pemerintah pengawasan lembaga pemerintah Non Departemen/Instansi pemerintah lainnya, (3) Inspektorat Wilayah Propinsi dan (4) Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kotamadya.
Masyarakat pencari keadilan dan masyarakat pada umumnya juga melakukan pengawasan eksternal terhadap hakim dalam sistem peradilan di Indonesia melalui asas terbuka untuk umum dalam setiap penyelenggaraan peradilan.
Di samping itu, Masyarakat melakukan pengawasan terhadap sistem peradilan dengan melakukan eksaminasi terhadap putusan-putusan hakim yag dianggap menyimpang. Tujuan eksaminasi secara umum adalah untuk mengetahui, sejauh mana pertimbangan hukum dari hakim yang memutus perkara tersebut telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan apakah prosedur hukum acaranya telah diterapkan dengan benar, serta apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan masyarkat. Disamping untuk tujuan mendorong para hakim agar membuat putusan dengan pertimbangan yang baik dan profesional.
Pengawasan eksternal terhadap hakim juga dilakukan oleh Komisi Ombudsman Nasional. Pengawasan yang pernah dilakukan oleh Komisi Ombudsman Nasional menyangkut maladministrasi di Mahkamah Agung dan maladministrasi yang terbanyak adalah adanya penundaan yang berlarut-larut.
Selajutnya Komisi Yudisial merupakan institusi yang dibentuk untuk meminimalisasi terhadap berbagai bentuk penyalahgunaan kewenangan oleh hakim dan aparat peradilan. Secara lebih spesifik ada beberapa alasan pokok bagi terwujudnya komisi yudisial di dalam suatu negara hukum: (1) komisi yudisial dibentuk agar dapat melaksanakan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring internal saja;(2) Komisi Yudisial menjadi perantara mediator atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (Executive Power) dan kekuasaan kehakiman (judicial Power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apapun juga khususnya kekuasaan pemerintah; (3) Dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat efisiensi dan efektifitas kekuasaan (judicial power) akan semakin tinggi dalam banyak hal; baik yang menyangkut rekruitmen dan monitoring hakim agung maupun pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman; (4) Terjaganya konsistensi putusan lembaga peradilan karena setiap putusan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus; dan (5) Dengan adanya KY kemandirian kekuasaan kehakiman dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan hakim agung dapat diminimalisasi dengan adanya KY yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyai kepentingan politik.
Dalam Konteks pengembangan konsep pengawasan integritas hakim dalam sistem peradilan di Indonesia kedepan, maka nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara dapat digunakan sebagai rujukan. Hal ini dilakukan sebagai revitalisasi Pancasila pada Tataran Normatif ideologis. Dimana bangsa Indonesia melalui the founding people menentukan pilihan bahwa dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan mengangkat dan merumuskan core philosophy bangsa Indonesia sebagai dasar filsafat negara yang secara yuridis tercantum dalam tertib hukum Indonesia.
Selanjutnya paling tidak terdapat 5 (lima) pilar penting yang perlu mendapat perhatian sebagai alternatif pemikiran dan gagasan sekaligus langkah-langkah sinergis dalam rangka membangun konsep yang tepat terhadap pengawasan hakim dalam sisten peradilan di Indonesia kedepan, yakni: (1) Fair Trial sebagai Instrumen Utama Pengawasan hakim; (2) Penguatan Pengawasan Internal Hakim melalui instrumen Code Of Judicial Conduct; (3) Penguatan Kewenangan Pengawasan integritas hakim Oleh Komisi Yudisial; (4) Keterbukaan Informasi Publik dalam sistem Peradilan dan; (5) Pelembagaan Partisipasi Masyarakat dalam sistem peradilan di Indonesia.
Disamping itu, untuk menghasilkan hakim yang ideal, maka rekruitmen hakim harus bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan kriteria penerimaan seorang hakim tidak cukup hanya memperhatikan komptensi akademis semata, tetapi harus memperhatikan moralitas dan integritas pribadinya. Dalam hal ini, perlu diadakan penelitian yang serius tentang background calon, latar belakang sosial calon, lingkungan pekerjaan, pergaulan, penghayatan nilai-nilai agama dan sebagainya.
D. Pengawasan Terhadap Advokat
Advokat berasal dari kata “Advocaat” berasal dari bahasa latin yaitu “advocatus” yang berarti pembela ahli hukum dalam perkara, dalam atau di luar pengadilan. Advokat adalah seorang ahli hukum yang memberikan bantuan atau pertolongan dalam soal-soal hukum.
Pengertian advokat berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memiliki persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. Pemberian jasa hukum yang dilakukan oleh advokat meliputi memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan klien dengan mendapatkan honorarium atau imbalan atas jasa hukum yang diterima berdasarkan kesepakatan dengan klien atau memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu. Klien dapat berupa orang, badan hukum atau lembaga lain yang menerima jasa hukum dari seorang advokat.
Dengan demikian pengertian advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum yang meliputi memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan klien baik di dalam maupun di luar pengadilan dengan mendapatkan honorarium atau imbalan atas jasa hukum yang diterima berdasarkan kesepakatan dengan klien atau memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu dan memiliki persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
Pengangkatan Advokat
Dengan adanya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 2 ayat (1) mengatur tentang pengangkatan advokat. Pengangkatan advokat dapat dilakukan kepada sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat.
Selanjutnya mengenai persyaratan-persyaratan pengangkatan advokat diatur dalam pasal 3 yang menyatakan bahwa “untuk dapat diangkat menjadi advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut.
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertempat tinggal di Indonesia;
c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
e. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1);
f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
g. magang, sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor advokat;
h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
i. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
Organisasi Advokat
Menurut amanah pasal 28 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 advokat-advokat harus menjadi anggota organisasi advokat sebagai wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang mempunyai maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat. Sepanjang organsiasi advokat belum terbentuk maka sementara tugas dan wewenang dijalankan bersama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan hukum Indonesia (AKHI),Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal Indonesia (HKHPM), dan Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia (APSI).
Pelaksanaan tugas dan wewenang sementara tersebut dibatasi sampai waktu dua tahun setelah diundangkannya UU Advokat dan pada tanggal 21 Desember 2004, delapan organisasi advokat mendeklarasikan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) sebagai organisasi advokat di indonesia.
Tugas dan wewenang organisasi advokat adalah sebagai berikut.
- Pengangkatan advokat.
- Penindakan advokat melalui Dewan Kehormatan organisasi advokat.
- Pemberhentian Advokat.
- Pengawasan advokat.
- Menetapkan dan menjalankan kode etik profesi advokat.
- Memiliki buku daftar anggota, menyampaikan salinan daftar anggota dan melaporkan pertambahan dan/atau perubahan jumlah anggotanya kepada Ketua Mahkamah Agung dan Menteri.
- Menetapkan kantor advokat tempat magang.
Hak dan Kewajiban Advokat
Advokat mempunyai hak dan kewajiban yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yaitu:
a. Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
b. Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
c. Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.
d. Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
e. Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.
f. Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang.
g. Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat.
h. Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku jabatan tersebut.
i. Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum berdasarkan kesepakatan.
j. Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.
k. Advokat yang menjalankan tugas dalam sidang pengadilan dalam menangani perkara pidana wajib mengenakan atribut sesuai dengan peraturan perundangundangan.
l. Advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi Advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
m. Setiap Advokat yang diangkat berdasarkan Undang-Undang ini wajib menjadi anggota Organisasi Advokat.
Larangan Bagi Advokat
Advokat dalam menjalankan profesinya dilarang untuk:
a. dilarang membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya;
b. dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya;
c. dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya.
Penindakan Advokat
Advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan :
a. mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;
b. berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya;
c. bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundangundangan, atau pengadilan;
d. berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya;
e. melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan atau perbuatan tercela;
f. melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.
Jenis tindakan yang dikenakan terhadap Advokat dapat berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai 12 (dua belas) bulan;
d. pemberhentian tetap dari profesinya.
Pemberhentian Advokat
Advokat berhenti atau dapat diberhentikan dari profesinya secara tetap karena alasan:
a. permohonan sendiri;
b. dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 4 (empat) tahun atau lebih;
c. atau berdasarkan keputusan Organisasi Advokat.
Pengawasan Advokat
Pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.
Pengawasan tersebut bertujuan agar Advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi Advokat dan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan pengawasan sehari-hari dilakukan oleh Komisi Pengawas yang dibentuk oleh Organisasi Advokat. Keanggotaan Komisi Pengawas terdiri atas unsur Advokat senior, para ahli/akademisi, dan masyarakat.
E. Pengawasan Terhadap Notaris
Notaris dalam menjalankan profesinya sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik diawasi oleh MPN yang dibentuk oleh Menteri. Ketentuan mengenai pengawasan terhadap notaris diatur dalam UUJN Bab IX tentang Pengawasan. Secara umum, pengertian dari pengawasan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pengawas dalam melihat, memperhatikan, mengamati, mengontrol, menilik dan menjaga serta memberi pengarahan yang bijak. Berdasarkan peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota Susunan Organisasi, Tata Cara Kerja dan Tata Cata Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris Pasal 1 angka 5 menjelaskan mengenai pengertian dari pengawasan yang berbunyi sebagai berikut:
“Pengawasan adalah kegiatan yang bersifat prefentif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris.”
Para sarjana hukum memberikan pengertian mengenai pengawasan, menurut Sigian pengawasan adalah suatu proses pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.
Pengawasan menurut Julitriarsa, adalah tindakan atau proses kegiatan untuk memenuhi hasil pelaksanaan, kesalahan, kegagalan untuk kemudian dilakukan perbaikan dan mencegah terulangnya kembali kesalahan-kesalahan itu, begitu pula menjaga agar pelaksanaan tidak berbeda dengan rencana yang ditetapkan, namun sebaliknya sebaik apapun rencana yang ditetapkan tetap memerlukan pengawasan.
Wewenang pengawasan atas notaris ada di tangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tetapi dalam praktek, Menteri melimpahkan wewenang itu kepada MPN yang dia bentuk. UUJN menegasan bahwa Menteri melakukan pengawasan terhadap notaris dan kewenangan Menteri untuk melakukan pengawasan ini oleh UUJN diberikan dalam bentuk pendelegasian delegatif kepada Menteri untuk membentuk MPN, bukan untuk menjalankan fungsi-fungsi MPN yang telah ditetapkan secara eksplisit menjadi kewenangan MPN. Pengawas tersebut termasuk pembinaan yang dilakukan oleh Menteri terhadap notaris seperti menurut penjelasan Pasal 67 ayat (1) UUJN. Pasal 1 angka (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, menegaskan yang dimaksud dengan pengawasan adalah kegiatan prefentif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan
oleh Majelis Pengawas terhadap notaris. Dengan demikian ada 3
(tiga) tugas yang dilakukan oleh MPN, yaitu;
a. Pengawasan Preventif;
b. Pengawasan Kuratif;
c. Pembinaan.
Tujuan dari pengawasan yang dilakukan terhadap notaris adalah supaya notaris sebanyak mungkin memenuhi persyaratan-persyaratan yang dituntut kepadanya. Persyaratan-persyaratan yang dituntut itu tidak hanya oleh hukum atau undang-undang saja, akan tetapi juga berdasarkan kepercayaan yang diberikan oleh klien terhadap notaris tersebut. Tujuan dari pengawasan itupun tidak hanya ditujukan bagi penataan kode etik notaris akan tetapi juga untuk tujuan yang lebih luas, yaitu agar para notaris dalam menjalankan tugas jabatannya memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang demi pengamanan atas kepentingan masyarakat yang dilayani.
Sigian menyatakan bahwa sasaran lain yang perlu dicapai melalui pengawasan selain untuk tujuan efisiensi adalah:
a. Pelaksanaan tugas-tugas yang telah ditentukan berjalan sungguh-sungguh sesuai dengan pola yang direncanakan;
b. Struktur serta hierarki organisasi sesuai dengan pola yang ditentukan dalam rencana;
c. Sistem dan prosedur kerja tidak menyimpang dari garis kebijakan yang telah tercermin dalam rencana;
d. Tidak terdapat penyimpangan dan/atau penyelewengan dalam penggunaan kekuasaan, kedudukan, terutama keuntungan.
Pengawasan terhadap notaris dilakukan berdasarkan kode etik dan UUJN. Pengawasan dalam kode etik dilakukan oleh Dewan Kehormatan, dan pengawasan dalam UUJN dilakukan oleh MPN. Sebelum menguraikan pengawasan menurut kode etik, lebih dulu diuraikan tentang pengertian dari kode etik. Menurut Bertens kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat.
Kode etik profesi merupakan produk etika terapan karena dihasilkan berdasar penerapan pemikiran etis atas suatu profesi. Kode etik merupakan bagian dari hukum positif tertulis tetapi tidak mempunyai sanksi yang keras, berlakunya kode etik semata-mata berdasarkan kesadaran moral anggota profesi.
Menurut Sumaryono
kode etik perlu dirumuskan secara tertulis, yaitu:
a. Sebagai sarana kontrol sosial;
b. Sebagai pencegah campur tangan pihak lain;
c. Sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik.
Kode etik profesi merupakan kriteria prinsip profesional yang telah digariskan, sehingga dapat diketahui dengan pasti kewajiban profesionalisme anggota lama, baru, ataupun calon anggota kelompok profesi. Dengan demikian pemerintah atau mayarakat tidak perlu ikut campur tangan untuk menentukan bagaimana seharusnya anggota kelompok profesi melaksanakan kewajiban profesionalnya. Kode etik notaris meliputi: etika kepribadian notaris, etika melakukan tugas jabatan, etika pelayanan terhadap klien, etika hubungan sesama rekan notaris, dan etika pengawasan terhadap notaris.
Pengawasan menurut kode etik menurut kode etik Pasal 1 angka (1) Dewan Kehormatan adalah alat perlengkapan Perkumpulan sebagai suatu badan atau lembaga yang mandiri dan bebas dari keberpihakan dalam Perkumpulan yang bertugas untuk:
a. Melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi kode etik;
b. Memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung;
c. c. Memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas atas dugaan pelanggaran kode etik dan jabatan notaris.
Posisi Dewan Kehormatan sangat strategis karena dipundaknya tersemat amanat untuk memastikan para notaris memahami dan melaksanakan kode etik secara konsisten baik dan benar. Dewan Kehormatan juga ikut memberikan kontribusi kepada eksistensi, kehormatan dan keluhuran profesi Jabatan notaris di tengah masyarakat.
Pengawasan atas pelaksanaan kode etik dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Pada tingkat pertama dilakukan oleh pengurus daerah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Daerah;
b. Pada tingkat banding dilakukan oleh pengurus wilayah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Wilayah;
c. Pada tingkat akhir dilakukan oleh pengurus pusat Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Pusat.
Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2), pengawasan terhadap notaris dilakukan oleh Menteri dan dalam operasionalnya Menteri akan membentuk MPN. Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UUJN, Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap notaris.
Keanggotaan Majelis Pengawas notaris berdasarkan Pasal 67 ayat (3) UUJN berjumlah 9 (sembilan) orang yang terdiri dari:
a. Unsur pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang;
b. Unsur organisasi notaris sebanyak 3 (tiga) orang;
c. Unsur ahli atau akademisi sebanyak 3 (tiga) orang.
Keterlibatan unsur notaris dalam MPN, yang berfungsi sebagai pengawas dan pemeriksa notaris, dimaksudkan untuk melaksanakan fungsi pengawasan yang bersifat internal. Hal ini dapat diartikan bahwa unsur notaris tersebut dapat memahami dunia notaris baik yang bersifat ke luar maupun ke dalam. Sedangkan unsur lainnya, akademisi dan pemerintah dipandang sebagai unsur eksternal. Perpaduan keanggotaan MPN sebagaimana tertuang dalam UUJN diharapkan dapat memberikan sinergitas pengawasan dan pemeriksaan yang objektif, sehingga setiap pengawasan yang dilakukan berdasarkan aturan hukum yang berlaku dan notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya tidak menyimpang dari UUJN karena diawasi baik secara internal maupun eksternal.
Berdasarkan Pasal 68 UUJN, MPN terdiri dari:
a. MPD yang dibentuk di tingkat Kabupaten/Kota;
b. MPW yang dibentuk di tingkat Propinsi; dan
c. MPP yang dibentuk di Ibukota.
Tiap-tiap jenjang Majelis Pengawas mempunyai wewenang masing-masing dalam melakukan pengawasan dan untuk menjatuhkan sanksi.
Syarat untuk diangkat menjadi anggota MPN diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, yaitu:
a. Warga negara Indonesia;
b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Pendidikan paling rendah Sarjana Hukum;
d. Tidak pernah dihukum karena melakukan perbuatan pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
e. Tidak dalam keadaan pailit;
f. Sehat jasmani dan rohani;
g. Berpengalaman dalam dibidangnya paling rendah 3 (tiga) tahun
Disusun oleh: Nur Muhammad
PEMBAHASAN
PENGAWASAN TERHADAP PROFESI HUKUM
A. Pengawasan Terhadap Polisi
Polisi Republik Indonesia (Polri) dalam perannya sebagai penegak hukum selalu terus berupaya untuk memberikan hasil yang baik. Gejala merosotnya pengemban profesi hukum tampak dari munculnya istilah
“Mafia Peradilan”, dan orang mulai merasa bahwa sebaiknya untuk menyelesaikan suatu kasus sedapat mungkin jangan ke pengadilan dengan bantuan pengemban profesi hukum. Apa artinya jika dikatakan bahwa profesi mengalami kemerosotan (seriouly impaired)? Apa ukurannya untuk menilai demikian? Jawabnya adalah jika kode etik profesi tidak dipatuhi oleh sebagian besar para pengembannya. Tetapi, apa kode etik profesi itu, dan mengapa profesi memerlukan kode etik? Jawabannya akan tergantung pada pengertian kita tentang profesi itu sendiri.
Perkataan profesi dan profesional sudah sering digunakan dan mempunyai beberapa arti. Dalam percakapan sehari-hari, perkataan profesi diartikan sebagai pekerjaan (tetap) untuk memperoleh nafkah (Belanda; baan; Inggeris: job atau occupation), yang legal maupun yang tidak. Jadi, profesi diartikan sebagai setiap kegiatan tetap tertentu untuk memperoleh nafkah yang dilaksanakan secara berkeahlian yang berkaitan dengan cara berkarya dan hasil karya yang bermutu tinggi dengan menerima bayaran yang tinggi. Keahlian tersebut diperoleh melalui proses pengalaman, belajar pada lembaga pendidikan (tinggi) tertentu, latihan secara intensif, atau kombinasi dari semuanya itu. Dalam kaitan pengertian ini, sering dibedakan pengertian profesional dan profesionalisme sebagai lawan dari amatir dan amatirisme, misalnya dalam dunia olahraga, yang sering juga dikaitkan pada pengertian pekerjaan tetap sebagai lawan dari pekerjaan sambilan.
Pengemban profesi adalah orang yang memiliki keahlian yang berkeilmuan dalam bidang tertentu. Karena itu, ia secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan warga masyarakat yang memerlukan pelayanan dalam bidang yang memerlukan keahlian berkeilmuan itu. Pengemban profesi yang bersangkutan sendiri yang memutuskan tentang apa yang harus dilakukannya dalam melaksanakan tindakan pengembanan profesionalnya. Ia secara pribadi bertanggung jawab atas mutu pelayanan jasa yang dijalankannya. Karena itu, hakikat hubungan antara pengemban profesi dan pasien atau kliennya adalah hubungan personal, yakni hubungan antar subyek pendukung nilai.
Hubungan personal yang demikian itu tadi adalah hubungan horisontal antara dua pihak yang secara formal yuridis kedudukannya sama. Walaupun demikian, sesungguhnya dalam substansi hubungan antara pengemban profesi dan klien itu secara sosio-psikologis terdapat ketidakseimbangan. Dalam pengembanan profesinya, seorang pengemban profesi memiliki dan menjalankan otoritas profesional terhadap kliennya, yakni otoritas yang bertumpu pada kompetensi teknikalnya yang superior.
Klien tidak memiliki kompetensi teknikal atau tidak dalam posisi untuk dapat menilai secara obyektif pelaksanaan kompetensi teknikal pengemban profesi yang diminta pelayanan profesionalnya. Karena itu, jika klien mendatangi atau menghubungi pengemban profesi untuk meminta pelayanan atau jasa profesionalnya, maka pada dasarnya klien tersebut tidak mempunyai pilihan lain kecuali memberikan pelayanan profesionalnya secara bermutu dan bermartabat. Uraian tadi menunjukkan bahwa hubungan horosontal antara pengemban profesi dan kliennya juga bersifat suatu hubungan kepercayaan. Ini berarti bahwa klien yang meminta jasa pelayanan profesional, mendatangi pengemban profesi yang bersangkutan dengan kepercayaan penuh bahwa pengemban profesi itu tidak akan menyalahgunakan situasinya, bahwa pengemban profesi itu secara bermartabat akan mengerahkan pengetahuan dan keahlian berkeilmuannya dalam menjalankan pelayanan jasa profesionalnya.
Karena merupakan suatu fungsi kemasyarakatan yang langsung berkaitan dengan nilai dasar yang menentukan derajat perwujudan martabat manusia, maka sesungguhnya pengembanan profesi atau pelayanan profesional itu memerlukan pengawasan masyarakat. Tetapi pada umumnya, yang bukan pengemban profesi yang bersangkutan, tidak memiliki kompetensi teknikal untuk dapat menilai dan melakukan pengawasan yang efektif terhadap pengembanan profesi. Termasuk birokrasi pemerintahan sulit melaksanakan pengawasan dan pengendalian kemasyarakatan (kontrol sosial) terhadap pelayanan profesional secara efektif. Daya jangkau kontrol sosial birokrasi pemerintahan dengan berdasarkan kaidah hukum sangat terbatas, baik karena sifat personal pada hubungan antara pengemban profesi dan klien maupun karena pengemban profesi memiliki kekuasaan dan menjalankan kewibawaan tertentu terhadap kliennya. Bahwa etika profesi adalah sebagai sikap hidup untuk memenuhi kebutuhan pelayanan profesional dari klien dengan keterlibatan dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka kewajiban masyarakat sebagai keseluruhan terhadap para anggota masyarakat yang membutuhkannya dengan disertai refleksi yang seksama, berdasarkan pengertian terdapatnya kaidah-kaidah pokok etika profesi sebagai berikut:
1.Profesi harus dipandang (dan dihayati) sebagai suatu pelayanan;
2.Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan klien mengacu pada kepentingan atau nilai-nilai luhur sebagai norma kritik yang memotivasi sikap dan tindakan;
3. Pengemban profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan;
4. Agar persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat harus dapat menjamin mutu dan peningkatan pengembanan profesi tersebut.
Etika profesi adalah sikap etis sebagai bagian integral dari sikap hidup dalam menjalani kehidupan sebagai pengemban profesi. Hanya pengemban profesi yang bersangkutan yang dapat atau yang paling mengetahui tentang apakah perilakunya dalam mengemban profesi memenuhi tuntutan etika profesinya atau tidak. Karena tidak memiliki kompetensi teknikal, maka awam tidak dapat menilai hal itu. Ini berarti, kepatuhan terhadap etika profesi akan sangat tergantung pada akhlak dan moral pengemban profesi yang bersangkutan. Disamping itu pengemban profesi sering dihadapkan pada situasi yang menimbulkan masalah pelik untuk menentukan perilaku apa yang memenuhi tuntutan etika profesi. Sedangkan perilaku dalam pengembanan profesi dapat membawa akibat negatif yang jauh terhadap klien, dimana kenyataan tersebut dapat menunjukkan bahwa kalangan pengemban profesi itu sendiri membutuhkan adanya pedoman obyektif yang lebih konkret bagi perilaku profesionalnya. Karena itu, dari dalam lingkungan para pengemban profesi itu sendiri dimunculkan seperangkat kaidah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban profesi tersebut. Perangkat kaidah itulah yang disebut sebagai kode etik profesi (biasa disingkat: kode etik), yang dapat tertulis maupun yang tidak tertulis. Pada masa sekarang, kode etik itu pada umumnya berbentuk tertulis yang ditetapkan secara formal oleh tiap-tiap organisasi profesi yang bersangkutan. Pada dasarnya, kode etik itu bertujuan untuk menjaga martabat profesi yang bersangkutan, dan di lain pihak untuk melindungi klien (warga masyarakat) dari penyalahgunaan keahlian dan atau otoritas profesional. Yang dalam perkembangan selanjutnya kode etik tersebut termasuk kelompok kaidah moral positif.
Kondisi ini, baik dimasa pemerintahan orde baru maupun pemerintahan pasca reformasi, termasuk pemerintahan sekarang dalam kontek teknisnya, eksistensi “kode etik” tersebut dalam melayani hajat hidup orang banyak, belum total mencitrakan diri dan jatidirinya sebagai pelayanan publik. Dengan kata lain, masih memperlihatkan penyelewengan-penyelewengan etika profesi yang dilakukan oleh pengemban profesi secara individualistik.
Apalagi dikaitkan dengan tuntutan aspirasi rakyat yang menginginkan reformasi total terhadap seluruh tatanan pelayanan publik, dan kita masih berharap-harap cemas untuk mendapat buktinya, apakah dalam kenyataannya proses pengemban profesi ini masih berdasarkan akal sehat dan moral yang baik atau sekedar pengabdian profesi yang tanpa pamrih?
Realitasnya, klien (warga masyarakat) masih harus menanggung beban dalam luka liku setiap permasalahan yang dihadapinya ketika dikerjakan oleh seorang pengemban profesi walaupun ia sanggup membayar, tapi ia akan terus dihantui bayang-bayang kegelisahan ketika permasalahan yang dihadapinya tidak dapat diselesaikan secara tuntas. Malah, dalam kenyataannya proses tersebut harus dibayar dengan mahal, baik secara moril maupun material.
Kendati begitu, dalam prosesnya harus dihitung berbagai kelemahan, baik yang bersifat yuridis formal maupun psikologis, tanpa itu kita bakal terjebak kembali oleh perilaku budaya yang arogan dan kesewenang-wenangan dalam menyelesaikan setiap proses dalam pengembanan profesi tersebut. Persoalan mendasar yang masih kita hadapi saat ini, tidak terlepas dari rangkaian perilaku moral dari para pengemban profesi yang erat dengan budaya feodal kolonialistik. Dan reaksinya, muncul ke permukaan setelah klien (warga masyarakat) di berbagai daerah memiliki kembali keberaniannya untuk memperjuangkan hak dan kewajibannya dalam pola masyarakat hukum. Paling tidak, mereka itu dapat melakukan kontrol dan penataan publik, terhadap perilaku profesi yang menyimpang yang dilakukan oleh setiap pengemban profesi dalam menjalankan fungsinya dalam tatanan kemasyarakatan, yang memerlukan jasa pelayanan profesinya secara proporsional dan profesional dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam peri kehidupan masyarakat secara benar dan tuntas. Profesi hukum berkaitan dengan masalah mewujudkan dan memelihara ketertiban yang berkeadilan di dalam kehidupan bermasyarakat. Ketertiban yang berkeadilan itu adalah kebutuhab dasar manusia, karena hanya dalam situasi demikian manusia dapat menjalani kehidupannya secara wajar, yakni sesuai dengan martabat kemanusiannya. Keadilan adalah nilai dan keutamaan yang paling luhur dan merupakan unsur esensial dari martabat manusia. Hukum, kaidah-kaidah hukum positif, kesadaran hukum, kesadaran etis dan keadilan bersumber pada penghormatan terhadap martabat manusia. Penghormatan terhadap martabat manusia adalah titik tolak atau landasan bertumpunya serta tujuan akhir dari hukum. Sebagai sarana untuk mewujudkan ketertiban yang berkeadilan, hukum diwujudkan dalam pelbagai kaidah perilaku kemasyarakatan yang disebut kaidah hukum. Keseluruhan kaidah hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat tersusun dalam suatu sistem yang disebut tata hukum. Ada dan berfungsinya tata hukum dengan kaidah –kaidah hukumnya serta penegakannya adalah produk dari perjuangan manusia dalam upaya mengatasi pelbagai masalah kehidupan dalam masyarakat, termasuk menanggulangi dan mengarahkan kecenderungan-kecenderungan yang negatif agar menjadi positif dan mengaktualisasikan atau memproduktifkan kecenderungan-kecenderungan positif yang ada dalam diri manusia.
Dalam setiap perjuangan, manusia berusaha memahami, mengolah dan mengakomodasikan secara kreatif pelbagai kenyataan kemasyarakatan pada nilai-nilai yang dianut dan mengekspresikan ke dalam sistem penataan perilaku dan kehidupan bersama dalam wujud kaidah-kaidah hukum, sehingga bermanfaat bagi perlindungan martabat manusia sesuai dengan tingkat perkembangan peradaban yang sudah tercapai. Dapat dikatakan bahwa dalam dinamika kehidupan umat manusia, hukum dan tata hukumnya termasuk salah satu faktor yang sangat penting dalam proses penghalusan budi pekerti umat manusia. Kualitas kehidupan hukum dan tata hukum suatu masyarakat mencerminkan tingkat akhlak atau situasi kultural masyarakat yang bersangkutan. Penyelenggaraan dan penegakan ketertiban yang berkeadilan dalam kehidupan bersama sebagai suatu kebutuhan dasar manusia agar kehidupan manusia tetap bermartabat adalah suatu fungsi kemasyarakatan. Pada tingkat peradaban yang sudah majemuk, fungsi kemasyarakatan penyelenggaraan dan penegakan ketertiban yang berkeadilan itu dalam kehidupan sehari-harinya diwujudkan oleh profesi hukum. Peran kemasyarakatan profesi hukum itu dapat dibagi menjadi empat bidang karya hukum, yakni :
1. Penyelesaian konflik secara formal (peradilan).
2. Pencegahan konflik (legal drafting, legal advice).
3. Penyelesaian konflik secara informal.
4. Penerapan hukum di luar konflik.
Pada masa sekarang, yang termasuk dalam bagian profesi hukum yang secara khas mewujudkan bidang karya hukumnya adalah jabatan-jabatan hakim, advokat dan notaris. Jabatan manapun yang diembannya, seorang pengemban profesi hukum dalam menjalankan fungsinya harus selalu mengacu pada tujuan hukum untuk memberikan pengayoman kepada setiap manusia dengan mewujudkan ketertiban yang berkeadilan, yang bertumpu pada penghormatan martabat manusia.
Dalam dinamika kehidupan sehari-hari tidak jarang terjadi konflik kepentingan antar warga masyarakat, seringkali konflik kepentingan itu tidak dapat diselesaikan dengan baik oleh para pihak yang bersangkutan, karena tiap pihak tentu saja akan cenderung berusaha untuk dengan segala cara membela kepentingan-kepentingannya. Cara yang demikian akan menimbulkan ketegangan dalam masyarakat dan dapat menjurus pada terciptanya suasana “bellum omnium contra omnes” dengan hukum rimbanya : “siapa yang kuat dialah yang menang”. Untuk dapat secara teratur menyelesaikan konflik kepentingan dengan baik demi terpeliharanya ketertiban di dalam masyarakat, maka diperlukan adanya institusi (kelembagaan) khusus yang mampu memberikan penyelesaian secara tidak memihak (imparsial) dan berlandaskan patokan yang berlaku secara obyektif. Untuk menyelesaikan konflik-konflik kepentingan secara formal dengan kepastian yang berkeadilan, maka terbentuklah institusi peradilan lengkap dengan aturan-aturan prosedural dan jabatan-jabatan yang berkaitan, yakni hakim, advokat dan jaksa.
Wewenang pokok dari lembaga peradilan adalah melakukan tindakan pemeriksaan, penilaian dan penetapan nilai perilaku manusia tertentu serta menentukan nilai suatu situasi konkret dan menyelesaikan persoalan (konflik) yang ditimbulkan secara imparsial berdasarkan hukum yang dalam hal ini bisa dijadikan sebagai patokan obyektif. Wewenang itulah yang disebut kewenangan (kekuasaan) kehakiman, dimana pengambilan keputusan dalam mewujudkan kewenangan kehakiman tersebut dalam kenyataan konkret, dilaksanakan oleh pejabat lembaga peradilan yang dinamakan hakim.
Pada dasarnya, tugas hakim adalah memberikan keputusan atas setiap perkara (konflik) yang dihadapkan kepadanya. Artinya, hakim bertugas untuk menetapkan hubungan hukum, nilai hukum dari perilaku serta kedudukan hukum para pihak yang terlibat dalam situasi yang dihadapkan kepadanya. Agar dapat menyelesaikan masalah atau konflik yang dihadapkan kepadanya secara imparsial berdasarkan hukum yang berlaku, maka dalam proses pengambilan keputusan, para hakim harus mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun, termasuk dari pemerintah sekalipun. Dalam mengambil keputusan para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan landasan yuridis keputusannya, disamping sikap etis atau etika profesi hakim harus berintikan: sikap takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, jujur, adil, bijaksana, imparsial (tidak memihak), sopan, sabar, memegang teguh rahasia jabatan, dan solidaritas sejati. Dan mengenai tanggung jawab antara hakim dan advokat atau penasehat hukum adalah tanggung jawab dan kewenangannya saja, hakim terbatas pada satu bidang karya hukum saja, yakni penyelesaian konflik dan masalah formal, sedangkan advokat atau penasehat hukum dapat berperan pada semua bidang karya hukum dalam mengemban profesinya itu. Advokat atau penasehat hukum juga harus selalu mengacu pada usaha mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum yang berkeadilan. Karena itu, pada dasarnya etika profesi hakim berlaku juga bagi para advokat. Secara etis, para advokat atau penasehat hukum berkewajiban untuk menegakkan asas-asas hukum dan martabat manusia.
B. Pengawasan Terhadap Jaksa
C. Pengawasan Terhadap Hakim
HAKIM semestinya adalah profesi atau jabatan yang mulia dan memiliki kedudukan yang istimewa dalam masyarakat, karena padanya diberikan kewenangan yang istimewa yang tidak diberikan kepada jabatan manapun. Namun di Indonesia saat ini kita sepertinya terpaksa harus mengakui bahwa masyarakat tidak lagi memiliki pandangan yang ideal terhadap hakim.
Salah satu penyebab turunnya kepercayaan masyarakat terhadap profesi hakim adalah adanya korupsi di tubuh peradilan. Tuduhan adanya korupsi di pengadilan di mulai oleh kalangan advokat dengan ungkapan “mafia peradilan”. Mafia peradilan merujuk pada konspirasi para aparat keadilan untuk mempermainkan hukum demi keuntungan pribadi.
Salah satu langkah yang sudah dilakukan untuk menjaga integritas hakim adalah dengan pengawasan. Sejak Proklamasi sampai dengan era reformasi telah dilakukan berbagai bentuk pengawasan terhadap hakim, baik berupa pengawasan internal maupun pengawasan eksternal. Paling tidak terdapat tiga macam pengawasan internal yang dilakukan Mahkamah Agung Terhadap Pengadilan, yaitu: (1) Pengawasan yustisial terhadap putusan dan penetapan pengadilan atau penetapan majelis hakim. Pengawasan ini dalam bentuk upaya hukum (kasasi, PK); (2) Pengawasan tingkah laku hakim baik dalam beracara maupun tingkah laku lain yang merusak integritas pengadilan; (3) Pengawasan administrasi peradilan. Pengawasan ini meliputi baik administrasi penyelenggaraan peradilan seperti ketertiban register perkara, biaya perkara, eksekusi, dan ketertiban administrasi umum seperti administrasi keuangan, dan kepegawaian.
Dalam kurun waktu berlangsungnya pemerintahan Orde Lama pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif melakukan intervensi dan sekaligus pengawasan yang masif dan sistematis terhadap kekuasaan kehakiman. Para hakim baik hakim pada Pengadilan tingkat pertama dan hakim pada Pengadilan Tinggi maupun hakim agung pada Mahkamah Agung setiap saat bisa saja dipecat apabila dianggap telah melakukan perbuatan kontra revolusi. Oleh karena fungsi hakim pada dasarnya adalah melaksanakan hukum sebagai alat revolusi maka putusan hakim yang tidak sesuai dengan norma hukum yang ada sudah bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang kontra revolusi.
Dalam kedudukannya sebagai Pegawai Negeri Sipil, pengawasan terhadap hakim dilakukan melalui pengawasan melekat dan pengawasan fungsional. Pengawasan Melekat merupakan pengawasan yang otomatis timbul pada saat melakukan tindakan dalam melaksanakan tanggung jawab seorang pejabat/petugas di dalam suatu sistem pengendalian manajemen. Pengawasan melekat mencegah terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan yang telah ditentukan dalam kerangka sistem pengendalian manajemen, sehingga daya kerjanya bersifat pencegahan atau preventif. Sementara pengawasan fungsional bersifat relatif. subyek yang melaksanakan fungsi pengawasan adalah (1) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, (2) Inspektorat Jenderal Departemen, Aparat pemerintah pengawasan lembaga pemerintah Non Departemen/Instansi pemerintah lainnya, (3) Inspektorat Wilayah Propinsi dan (4) Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kotamadya.
Masyarakat pencari keadilan dan masyarakat pada umumnya juga melakukan pengawasan eksternal terhadap hakim dalam sistem peradilan di Indonesia melalui asas terbuka untuk umum dalam setiap penyelenggaraan peradilan.
Di samping itu, Masyarakat melakukan pengawasan terhadap sistem peradilan dengan melakukan eksaminasi terhadap putusan-putusan hakim yag dianggap menyimpang. Tujuan eksaminasi secara umum adalah untuk mengetahui, sejauh mana pertimbangan hukum dari hakim yang memutus perkara tersebut telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan apakah prosedur hukum acaranya telah diterapkan dengan benar, serta apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan masyarkat. Disamping untuk tujuan mendorong para hakim agar membuat putusan dengan pertimbangan yang baik dan profesional.
Pengawasan eksternal terhadap hakim juga dilakukan oleh Komisi Ombudsman Nasional. Pengawasan yang pernah dilakukan oleh Komisi Ombudsman Nasional menyangkut maladministrasi di Mahkamah Agung dan maladministrasi yang terbanyak adalah adanya penundaan yang berlarut-larut.
Selajutnya Komisi Yudisial merupakan institusi yang dibentuk untuk meminimalisasi terhadap berbagai bentuk penyalahgunaan kewenangan oleh hakim dan aparat peradilan. Secara lebih spesifik ada beberapa alasan pokok bagi terwujudnya komisi yudisial di dalam suatu negara hukum: (1) komisi yudisial dibentuk agar dapat melaksanakan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring internal saja;(2) Komisi Yudisial menjadi perantara mediator atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (Executive Power) dan kekuasaan kehakiman (judicial Power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apapun juga khususnya kekuasaan pemerintah; (3) Dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat efisiensi dan efektifitas kekuasaan (judicial power) akan semakin tinggi dalam banyak hal; baik yang menyangkut rekruitmen dan monitoring hakim agung maupun pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman; (4) Terjaganya konsistensi putusan lembaga peradilan karena setiap putusan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus; dan (5) Dengan adanya KY kemandirian kekuasaan kehakiman dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan hakim agung dapat diminimalisasi dengan adanya KY yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyai kepentingan politik.
Dalam Konteks pengembangan konsep pengawasan integritas hakim dalam sistem peradilan di Indonesia kedepan, maka nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara dapat digunakan sebagai rujukan. Hal ini dilakukan sebagai revitalisasi Pancasila pada Tataran Normatif ideologis. Dimana bangsa Indonesia melalui the founding people menentukan pilihan bahwa dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan mengangkat dan merumuskan core philosophy bangsa Indonesia sebagai dasar filsafat negara yang secara yuridis tercantum dalam tertib hukum Indonesia.
Selanjutnya paling tidak terdapat 5 (lima) pilar penting yang perlu mendapat perhatian sebagai alternatif pemikiran dan gagasan sekaligus langkah-langkah sinergis dalam rangka membangun konsep yang tepat terhadap pengawasan hakim dalam sisten peradilan di Indonesia kedepan, yakni: (1) Fair Trial sebagai Instrumen Utama Pengawasan hakim; (2) Penguatan Pengawasan Internal Hakim melalui instrumen Code Of Judicial Conduct; (3) Penguatan Kewenangan Pengawasan integritas hakim Oleh Komisi Yudisial; (4) Keterbukaan Informasi Publik dalam sistem Peradilan dan; (5) Pelembagaan Partisipasi Masyarakat dalam sistem peradilan di Indonesia.
Disamping itu, untuk menghasilkan hakim yang ideal, maka rekruitmen hakim harus bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan kriteria penerimaan seorang hakim tidak cukup hanya memperhatikan komptensi akademis semata, tetapi harus memperhatikan moralitas dan integritas pribadinya. Dalam hal ini, perlu diadakan penelitian yang serius tentang background calon, latar belakang sosial calon, lingkungan pekerjaan, pergaulan, penghayatan nilai-nilai agama dan sebagainya.
D. Pengawasan Terhadap Advokat
Advokat berasal dari kata “Advocaat” berasal dari bahasa latin yaitu “advocatus” yang berarti pembela ahli hukum dalam perkara, dalam atau di luar pengadilan. Advokat adalah seorang ahli hukum yang memberikan bantuan atau pertolongan dalam soal-soal hukum.
Pengertian advokat berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memiliki persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. Pemberian jasa hukum yang dilakukan oleh advokat meliputi memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan klien dengan mendapatkan honorarium atau imbalan atas jasa hukum yang diterima berdasarkan kesepakatan dengan klien atau memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu. Klien dapat berupa orang, badan hukum atau lembaga lain yang menerima jasa hukum dari seorang advokat.
Dengan demikian pengertian advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum yang meliputi memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan klien baik di dalam maupun di luar pengadilan dengan mendapatkan honorarium atau imbalan atas jasa hukum yang diterima berdasarkan kesepakatan dengan klien atau memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu dan memiliki persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
Pengangkatan Advokat
Dengan adanya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 2 ayat (1) mengatur tentang pengangkatan advokat. Pengangkatan advokat dapat dilakukan kepada sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat.
Selanjutnya mengenai persyaratan-persyaratan pengangkatan advokat diatur dalam pasal 3 yang menyatakan bahwa “untuk dapat diangkat menjadi advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut.
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertempat tinggal di Indonesia;
c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
e. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1);
f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
g. magang, sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor advokat;
h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
i. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
Organisasi Advokat
Menurut amanah pasal 28 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 advokat-advokat harus menjadi anggota organisasi advokat sebagai wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang mempunyai maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat. Sepanjang organsiasi advokat belum terbentuk maka sementara tugas dan wewenang dijalankan bersama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan hukum Indonesia (AKHI),Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal Indonesia (HKHPM), dan Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia (APSI).
Pelaksanaan tugas dan wewenang sementara tersebut dibatasi sampai waktu dua tahun setelah diundangkannya UU Advokat dan pada tanggal 21 Desember 2004, delapan organisasi advokat mendeklarasikan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) sebagai organisasi advokat di indonesia.
Tugas dan wewenang organisasi advokat adalah sebagai berikut.
- Pengangkatan advokat.
- Penindakan advokat melalui Dewan Kehormatan organisasi advokat.
- Pemberhentian Advokat.
- Pengawasan advokat.
- Menetapkan dan menjalankan kode etik profesi advokat.
- Memiliki buku daftar anggota, menyampaikan salinan daftar anggota dan melaporkan pertambahan dan/atau perubahan jumlah anggotanya kepada Ketua Mahkamah Agung dan Menteri.
- Menetapkan kantor advokat tempat magang.
Hak dan Kewajiban Advokat
Advokat mempunyai hak dan kewajiban yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yaitu:
a. Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
b. Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
c. Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.
d. Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
e. Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.
f. Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang.
g. Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat.
h. Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku jabatan tersebut.
i. Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum berdasarkan kesepakatan.
j. Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.
k. Advokat yang menjalankan tugas dalam sidang pengadilan dalam menangani perkara pidana wajib mengenakan atribut sesuai dengan peraturan perundangundangan.
l. Advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi Advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
m. Setiap Advokat yang diangkat berdasarkan Undang-Undang ini wajib menjadi anggota Organisasi Advokat.
Larangan Bagi Advokat
Advokat dalam menjalankan profesinya dilarang untuk:
a. dilarang membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya;
b. dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya;
c. dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya.
Penindakan Advokat
Advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan :
a. mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;
b. berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya;
c. bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundangundangan, atau pengadilan;
d. berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya;
e. melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan atau perbuatan tercela;
f. melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.
Jenis tindakan yang dikenakan terhadap Advokat dapat berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai 12 (dua belas) bulan;
d. pemberhentian tetap dari profesinya.
Pemberhentian Advokat
Advokat berhenti atau dapat diberhentikan dari profesinya secara tetap karena alasan:
a. permohonan sendiri;
b. dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 4 (empat) tahun atau lebih;
c. atau berdasarkan keputusan Organisasi Advokat.
Pengawasan Advokat
Pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.
Pengawasan tersebut bertujuan agar Advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi Advokat dan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan pengawasan sehari-hari dilakukan oleh Komisi Pengawas yang dibentuk oleh Organisasi Advokat. Keanggotaan Komisi Pengawas terdiri atas unsur Advokat senior, para ahli/akademisi, dan masyarakat.
E. Pengawasan Terhadap Notaris
Notaris dalam menjalankan profesinya sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik diawasi oleh MPN yang dibentuk oleh Menteri. Ketentuan mengenai pengawasan terhadap notaris diatur dalam UUJN Bab IX tentang Pengawasan. Secara umum, pengertian dari pengawasan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pengawas dalam melihat, memperhatikan, mengamati, mengontrol, menilik dan menjaga serta memberi pengarahan yang bijak. Berdasarkan peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota Susunan Organisasi, Tata Cara Kerja dan Tata Cata Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris Pasal 1 angka 5 menjelaskan mengenai pengertian dari pengawasan yang berbunyi sebagai berikut:
“Pengawasan adalah kegiatan yang bersifat prefentif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris.”
Para sarjana hukum memberikan pengertian mengenai pengawasan, menurut Sigian pengawasan adalah suatu proses pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.
Pengawasan menurut Julitriarsa, adalah tindakan atau proses kegiatan untuk memenuhi hasil pelaksanaan, kesalahan, kegagalan untuk kemudian dilakukan perbaikan dan mencegah terulangnya kembali kesalahan-kesalahan itu, begitu pula menjaga agar pelaksanaan tidak berbeda dengan rencana yang ditetapkan, namun sebaliknya sebaik apapun rencana yang ditetapkan tetap memerlukan pengawasan.
Wewenang pengawasan atas notaris ada di tangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tetapi dalam praktek, Menteri melimpahkan wewenang itu kepada MPN yang dia bentuk. UUJN menegasan bahwa Menteri melakukan pengawasan terhadap notaris dan kewenangan Menteri untuk melakukan pengawasan ini oleh UUJN diberikan dalam bentuk pendelegasian delegatif kepada Menteri untuk membentuk MPN, bukan untuk menjalankan fungsi-fungsi MPN yang telah ditetapkan secara eksplisit menjadi kewenangan MPN. Pengawas tersebut termasuk pembinaan yang dilakukan oleh Menteri terhadap notaris seperti menurut penjelasan Pasal 67 ayat (1) UUJN. Pasal 1 angka (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, menegaskan yang dimaksud dengan pengawasan adalah kegiatan prefentif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan
oleh Majelis Pengawas terhadap notaris. Dengan demikian ada 3
(tiga) tugas yang dilakukan oleh MPN, yaitu;
a. Pengawasan Preventif;
b. Pengawasan Kuratif;
c. Pembinaan.
Tujuan dari pengawasan yang dilakukan terhadap notaris adalah supaya notaris sebanyak mungkin memenuhi persyaratan-persyaratan yang dituntut kepadanya. Persyaratan-persyaratan yang dituntut itu tidak hanya oleh hukum atau undang-undang saja, akan tetapi juga berdasarkan kepercayaan yang diberikan oleh klien terhadap notaris tersebut. Tujuan dari pengawasan itupun tidak hanya ditujukan bagi penataan kode etik notaris akan tetapi juga untuk tujuan yang lebih luas, yaitu agar para notaris dalam menjalankan tugas jabatannya memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang demi pengamanan atas kepentingan masyarakat yang dilayani.
Sigian menyatakan bahwa sasaran lain yang perlu dicapai melalui pengawasan selain untuk tujuan efisiensi adalah:
a. Pelaksanaan tugas-tugas yang telah ditentukan berjalan sungguh-sungguh sesuai dengan pola yang direncanakan;
b. Struktur serta hierarki organisasi sesuai dengan pola yang ditentukan dalam rencana;
c. Sistem dan prosedur kerja tidak menyimpang dari garis kebijakan yang telah tercermin dalam rencana;
d. Tidak terdapat penyimpangan dan/atau penyelewengan dalam penggunaan kekuasaan, kedudukan, terutama keuntungan.
Pengawasan terhadap notaris dilakukan berdasarkan kode etik dan UUJN. Pengawasan dalam kode etik dilakukan oleh Dewan Kehormatan, dan pengawasan dalam UUJN dilakukan oleh MPN. Sebelum menguraikan pengawasan menurut kode etik, lebih dulu diuraikan tentang pengertian dari kode etik. Menurut Bertens kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat.
Kode etik profesi merupakan produk etika terapan karena dihasilkan berdasar penerapan pemikiran etis atas suatu profesi. Kode etik merupakan bagian dari hukum positif tertulis tetapi tidak mempunyai sanksi yang keras, berlakunya kode etik semata-mata berdasarkan kesadaran moral anggota profesi.
Menurut Sumaryono
kode etik perlu dirumuskan secara tertulis, yaitu:
a. Sebagai sarana kontrol sosial;
b. Sebagai pencegah campur tangan pihak lain;
c. Sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik.
Kode etik profesi merupakan kriteria prinsip profesional yang telah digariskan, sehingga dapat diketahui dengan pasti kewajiban profesionalisme anggota lama, baru, ataupun calon anggota kelompok profesi. Dengan demikian pemerintah atau mayarakat tidak perlu ikut campur tangan untuk menentukan bagaimana seharusnya anggota kelompok profesi melaksanakan kewajiban profesionalnya. Kode etik notaris meliputi: etika kepribadian notaris, etika melakukan tugas jabatan, etika pelayanan terhadap klien, etika hubungan sesama rekan notaris, dan etika pengawasan terhadap notaris.
Pengawasan menurut kode etik menurut kode etik Pasal 1 angka (1) Dewan Kehormatan adalah alat perlengkapan Perkumpulan sebagai suatu badan atau lembaga yang mandiri dan bebas dari keberpihakan dalam Perkumpulan yang bertugas untuk:
a. Melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi kode etik;
b. Memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung;
c. c. Memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas atas dugaan pelanggaran kode etik dan jabatan notaris.
Posisi Dewan Kehormatan sangat strategis karena dipundaknya tersemat amanat untuk memastikan para notaris memahami dan melaksanakan kode etik secara konsisten baik dan benar. Dewan Kehormatan juga ikut memberikan kontribusi kepada eksistensi, kehormatan dan keluhuran profesi Jabatan notaris di tengah masyarakat.
Pengawasan atas pelaksanaan kode etik dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Pada tingkat pertama dilakukan oleh pengurus daerah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Daerah;
b. Pada tingkat banding dilakukan oleh pengurus wilayah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Wilayah;
c. Pada tingkat akhir dilakukan oleh pengurus pusat Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Pusat.
Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2), pengawasan terhadap notaris dilakukan oleh Menteri dan dalam operasionalnya Menteri akan membentuk MPN. Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UUJN, Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap notaris.
Keanggotaan Majelis Pengawas notaris berdasarkan Pasal 67 ayat (3) UUJN berjumlah 9 (sembilan) orang yang terdiri dari:
a. Unsur pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang;
b. Unsur organisasi notaris sebanyak 3 (tiga) orang;
c. Unsur ahli atau akademisi sebanyak 3 (tiga) orang.
Keterlibatan unsur notaris dalam MPN, yang berfungsi sebagai pengawas dan pemeriksa notaris, dimaksudkan untuk melaksanakan fungsi pengawasan yang bersifat internal. Hal ini dapat diartikan bahwa unsur notaris tersebut dapat memahami dunia notaris baik yang bersifat ke luar maupun ke dalam. Sedangkan unsur lainnya, akademisi dan pemerintah dipandang sebagai unsur eksternal. Perpaduan keanggotaan MPN sebagaimana tertuang dalam UUJN diharapkan dapat memberikan sinergitas pengawasan dan pemeriksaan yang objektif, sehingga setiap pengawasan yang dilakukan berdasarkan aturan hukum yang berlaku dan notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya tidak menyimpang dari UUJN karena diawasi baik secara internal maupun eksternal.
Berdasarkan Pasal 68 UUJN, MPN terdiri dari:
a. MPD yang dibentuk di tingkat Kabupaten/Kota;
b. MPW yang dibentuk di tingkat Propinsi; dan
c. MPP yang dibentuk di Ibukota.
Tiap-tiap jenjang Majelis Pengawas mempunyai wewenang masing-masing dalam melakukan pengawasan dan untuk menjatuhkan sanksi.
Syarat untuk diangkat menjadi anggota MPN diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, yaitu:
a. Warga negara Indonesia;
b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Pendidikan paling rendah Sarjana Hukum;
d. Tidak pernah dihukum karena melakukan perbuatan pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
e. Tidak dalam keadaan pailit;
f. Sehat jasmani dan rohani;
g. Berpengalaman dalam dibidangnya paling rendah 3 (tiga) tahun
Disusun oleh: Nur Muhammad
0 komentar:
Posting Komentar
NB: Berikan Komentar yang sopan dan berkenaan dengan Artikel diatas.
Saya mohon maaf jika komentar sahabat dan rekan blogger terlambat di respon Karena banyaknya kegiatan yang mengikat he he he, Silahkan copas asalkan cantumkan juga sumbernya yah...!