Sebagian fuqoha’ dalam mengemukakan hakekat perkawinan hanya menonjolkan aspek lahiriyah yang bersifat normatif. Seolah-olah akibat sahnya sebuah perkawinan hanya sebatas timbulnya kebolehan terhadap sesuatu yang sebelumnya sangat dilarang, yakni berhubungan badan antara laki-laki dengan perempuan.
Dengan demikian yang menjadi inti pokok pernikahan itu adalah akad (pernikahan) yaitu serah terima antara orang tua calon mempelai wanita dengan calon mempelai laki-laki.Perkawinan umat Islam di Indonesia juga mengacu pada pedoman hukum Islam. Dengan perkataan lain hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia sesuai dengan hukum Islam sebagaimana pemahaman kalangan fuqoha’. Perkawinan juga bertujuan untuk memperluas dan mempererat hubungan kekeluargaan, serta membangun masa depan individu keluarga dan masyarakat yang lebih baik. Oleh karena itu, jika telah ada kesepakatan antara orang pemuda dengan seorang pemudi untuk melaksanakan akad nikah pada hakekatnya kedua belah pihak telah sepakat untuk merintis jalan menuju kebahagiaan lahir batin melalui pembinaan yang ditetapkan agama.
Barangkali, faktor-faktor yang ditetapkan terakhir inilah yang lebih mendekati tujuan hakekat dari perkawinan yang diatur oleh Islam. Oleh sebab itu, sah tidaknya perkawinan menurut Islam adalah tergantung pada akadnya. Karena sedemikian rupa pentingnya akad dalam perkawinan itu maka berdasarkan dalil-dalil yang ditemukan, para fuqoha’ telah berijtihad menetapkan syarat-syarat dan rukun untuk sahnya sesuatu akad nikah.
Sebagaimana hasil ilmu pengetahuan dan teknologi mengenai permasalahan baru dalam soal perkawinan yaitu tentang sahnya akad nikah yang ijab qabulnya dilaksanakan melalui telepon?.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan
Akad (nikah dari bahasa Arab عقد) atau ijab qabul, merupakan ikrar pernikahan. Yang dimaksud akad pernikahan adalah ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya dari qabul dari pihak calon suami atau wakilnya. Menurut syara’ nikah adalah satu akad yang berisi diperbolehkannya melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafadz انكاح (menikahkan) atau تزويج (mengawinkan). Kata nikah ini sendiri secara hakiki bermakna akad dan secara majazi bermakna persetubuhan menurut pendapat yang shoheh ;
ويطلق شرعا على عقد مشتمل على الاركان والشروطا
B. Rukun Pernikahan
Adapun rukun nikah ada 5, yaitu :
1. Wali
2. Pengantin laki-laki
3. Pengantin perempuan
4. Dua saksi laki-laki
5. Akad nikah
Akad nikah merupakan syarat wajib dalam proses atau ucapan perkawinan menurut Islam akad nikah boleh dijalankan oleh wali atau diwakilkan kepada juru nikah.
وشروط الصيغة كونها بصريح مشتق انكاح او تزويج ولو بغير العربية جيث فهما العقدان والشاهدان. ولا يصح عقد النكاح الا بولي غدل او ماذونه والعدالة ليست بشرط في الولى. وانما السرط عدم الفسق وفى بعض النسخ بولى ذكر وهو اي الذكور – إختراز عن الأنثى فانما لا تزوج نفسها ولا غيرها.
Syarat (akad) yaitu adanya akad itu jelas keluar dari lafadz نكاح atau تزويج (aku nikahi) walaupun akad tersebut tanpa menggunakan bahasa arab sekitarnya kedua lafadz itu dipahami oleh dua orang yang akad dan dua saksi.
Dan tidak sah akad nikah kecuali dengan wali yang adil, atau orang yang mendapatkan ijin wali. Syarat dalam wali itu disyaratkan tidak fasiq di sebagian nusakh itu harus wali laki-laki yang lebih diunggulkan dari pada wanita, karena sesungguhnya wanita itu tidak bisa menikahkan diri sendiri atau menikahkan orang lain.
ولا يصح عقد النكاح ايضا الا بحضور شاهدى عدل
Dan tidak sah juga akad nikah kecuali dengan hadirnya dua orang saksi yang adil.
C. Nikah Lewat Telepon Menurut Hukum Islam
Menentukan sah / tidaknya suatu nikah, tergantung pada dipenuhi / tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya. Secara formal, nikah lewat telepon dapat memenuhi rukun-rukunnya, yakni adanya calon suami dan istri, dua saksi, wali pengantin putri, dan ijab qabul. Namun, jika dilihat dari segi syarat-syarat dari tiap-tiap rukunnya, tampaknya ada kelemahan / kekurangan untuk dipenuhi.
Misalnya, identitas calon suami istri perlu dicek ada / tidaknya hambatan untuk kawin (baik karena adanya larangan agama atau peraturan perundang-undangan) atau ada tidaknya persetujuan dari kedua belah pihak. Pengecekan masalah ini lewat telepon sebelum akad nikah adalah cukup sukar. Demikian pula pengecekan tentang identitas wali yang tidak bisa hadir tanpa taukil, kemudian ia melangsungkan ijab qabul langsung dengan telepon. Juga para saksi yang sahnya mendengar pernyataan ijab qabul dari wali dan pengantin putra lewat telepon dengan bantuan mikropon, tetapi mereka tidak bisa melihat apa yang disaksikan juga kurang meyakinkan. Demikian pula ijab qabul yang terjadi di tempat yang berbeda lokasinya, apalagi yang sangat berjauhan seperti antara Jakarta dan Bloomington Amerika Serikat yang berbeda waktunya sekitar 12 jam sebagaimana yang telah dilakukan oleh Prof. Dr Baharuddin yang mengawinkan putrinya di Jakarta (dra. Nurdiani) dengan Drs. Ario Sutarti yang sedang belajar di Universitas Indiana Amerika Serikat pada hari sabtu tanggal 13 Mei 1989 pukul 10.00 WIB bertepatan hari jumat pukul 22.00 waktu Indiana Amerika Serikat.
Karena itu, nikah lewat telepon itu tidak sah dan dibolehkan menurut Hukum Islam, karena selain terdapat kelemahan /kekurangan dan keraguan dalam memenuhi rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya sebagaimana diuraikan diatas, juga berdasarkan dalil-dalil syara’ sebagai berikut :
1. Nikah itu termasuk ibadah. Karena itu, pelaksanaan nikah harus sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah nabi yang shahih, berdasarkan kaidah hukum:
الاصل فى العبادة حرام
“Pada dasarnya, ibadah itu haram”.
Artinya, dalam masalah ibadah, manusia tidak boleh membuat-buat (merekayasa aturan sendiri).
2. Nikah merupakan peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan itu bukanlah sembarangan akad, tetapi merupakan akad yang mengandung sesuatu yang sacral dan syiar islam serta tanggungjawab yang berat bagi suami istri, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surat nisa’ ayat : 21
Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.
3. Nikah lewat telepon mengandung risiko tinggi berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan atau penipuan (gharar/khida’), dan dapat pula menimbulkan keraguan (confused atau syak), apakah telah dipenuhi atau tidak rukun-rukun dan syarat-syarat nikahnya dengan baik. Dan yang demikian itu tidak sesuai dengan hadist Nabi/kaidah fiqih
لا ضرر ولا ضرارا
Tidak boleh membuat mudarat kepada diri sendiridan kepada orang lain.
Dan hadis Nabi
دعما يريبك الا مالا يريبك
Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan engkau, (berpeganglah) dengan sesuatu yang tidak meragukan engkau.
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
Menghindari mafsadah (resiko) harus didahulukan atas usaha menarik (mencari) maslahah
ANALISIS
Peristiwa akad nikah lewat telepon itu mengundang reaksi yang cukup luas dari masyarakat contohnya pada tanggal 13 Mei 1989 terjadi akad nikah jarak jauh Jakarta-Bloomington Amerika Serikat lewat telepon, yang dilangsungkan di kediaman Prof. Dr. Baharuddin Harahap di Kebayoran Baru Jakarta. Calon suami drs. Ario sutarto yang sedang bertugas belaar di program pasca sarjana Indiana University AS, sedangkan calon istri adalah dra. Nurdiani, putri guru besar IAIN Jakarta itu. Kedua calon suami istri itu sudah lama berkenalan sejak sama-sama belajar dari tingkat satu IKIP Jakarta, dan kehendak keduanya untuk nikah juga sudah mendapat restu dari orang tua kedua belah pihak.
Sehubungan dengan tidak bisa hadirnya calon mempelai laki-laki dengan alasan tiadanya beaya perjalanan pulang pergi AS- Jakarta dan studinya agar tidak terganggu, maka disarankan oleh pejabat pencatat nikah (KUA) agar diusahakan adanya surat taukil (delegation of authority) dari calon suami kepada seseorang yang bertindak mewakilinya dalam akad nikah (ijab qobul) nantinya di Jakarta.
Setelah waktu pelaksanaan akad nikah tinggal sehari belum juga datang surat taukil itu, padahal surat undangan untuk walimatul urs sudah tersebar, maka Baharuddin sebagai ayah dan wali pengantin putri mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan upacara akad nikah pada tanggal 13 Mei 1989, antara lain dengan melengkapi pesawat telepon dirumahnya dengan alat pengeras suara (mikrofon) dan dua alat perekam, ialah kaset, tape recorder dan video. Alat pengeras suara itu dimaksudkan agar semua orang yang hadir di rumah Baharuddin dan juga di tempat kediaman calon suami di AS itu bisa mengikuti upacara akad nikah dengan baik, artinya semua orang yang hadir di dua tempat yang terpisah jauh itu dapat mendengarkan dengan jelas pertanyaan dengan ijab dari pihak wali mempelai putri dan pernyataan qobul dari pihak mempelai laki-laki ; sedangkan alat perekam itu dimaksudkan oleh Baharuddin sebagai alat bukti otentik atas berlangsungnya akad nikah pada hari itu.
Setelah akad nikah dilangsungkan lewat telepon, tetapi karena surat taukil dari calon suami belum juga datang pada saat akad nikah dilangsungkan, maka kepala KUA Kebayoran Baru Jakarta Selatan tidak bersedia mencatat nikahnya dan tidak mau memberikan surat nikah, karena menganggap perkawinannya belum memenuhi syarat sahnya nikah, yakni hadirnya mempelai laki-laki atau wakilnya.
Peristiwa nikah tersebut mengundang reaksi yang cukup luas dari masyarakat, terutama dari kalangan ulama dan cendekiawan muslim. Kebanyakan mereka menganggap tidak sah nikah lewat telepon itu, antara lain Munawir Syadzali, M.A Mentri Agama RI, K.H. Hasan Basri, ketua umum MUI pusat, dan prof. dr. Hasbullah Bakri, S.H. jadi, mereka dapat membenarkan tindakan kepala KUA tersebut yang tidak mau mencatat nikahnya dan tidak memberikan surat nikahnya. Dan inti alasan mereka ialah bahwa nikah itu termasuk ibadah, mengandung nilai sacral, dan nikah lewat telepon itu bisa menimbulkan confused (keraguan) dalam hal ini terpenuhi tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syarat secara sempurna menurut hukum Islam.
Ada ulama yang berpendapat bahwa status nikah lewat telepon itu syubhat, artinya belum safe, sehingga perlu tajdid nikah (nikah ulang) sebelum dua manusia yang berlainan jenis kelaminnya itu melakukan hubungan seksual sebagai suami istri yang sah. Adapula ulama yang berpendapat, bahwa nikah lewat telepon tidak diperbolehkan, kecuali dalam keadaan darurat. Tetapi kebanyakan ulama dan cendekiawan Muslim menganggap nikah lewat telepon itu tidak sah secara mutlak.
KESIMPULAN
Dari uraian yang penulis sampaikan di muka, dapat penulis simpulkan dan sarankan sebagai berikut :
1. nikah lewat telepon tidak boleh dan tidak sah, karena bertentangan dengan ketentuan hukum syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
2. penetapan/putusan pengadilan agama Jakarta Selatan yang mengesahkan nikah lewat telepon No. 175/P/1989 tanggal 20 April 1990 merupakan preseden yang buruk bagi dunia Peradilan Agama di Indonesia, karena melawan arus dan berlawanan dengan pendapat mayoritas dari dunia Islam.
3. penetapan peradilan agama tersebut hendaknya tidak dijadikan sebagai yurisprudensi untuk membenarkan dan mengesahkan kasus yang sama oleh para hakim pengadilan agama seluruh Indonesia .
0 komentar:
Posting Komentar
NB: Berikan Komentar yang sopan dan berkenaan dengan Artikel diatas.
Saya mohon maaf jika komentar sahabat dan rekan blogger terlambat di respon Karena banyaknya kegiatan yang mengikat he he he, Silahkan copas asalkan cantumkan juga sumbernya yah...!