BAB I
PEMBAHASAN
1.1 Peranan Teori Hukum dalam Perkembangan Hukum Indonesia
Pembangunan yang dilakukan selama ini tidak lain adalah untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui suatu perubahan tertentu dalam masyarakat. Perubahan ini dapat menghasilkan sesuatu yang baik (kemajuan)
atau bahkan sesuatu yang negatif (kemunduran). Tentunya perubahan masyarakat yang dikehendaki melalui pembangunan yang teratur, terkendali, efektif dan efisien guna peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam pandangan global pembangunan sebagai suatu cara untuk mengubah masyarakat yang terpola dan teratur, guna meningkatkan peradaban manusia,kualitas hidup manusia, baik kesehatan, intelektualitas, kesejahteraan maupun kesenangan hidup. Untuk mencapai hal tersebut, maka hukum sangat penting memainkan perannya dalam masyarakat, dimana fungsi perencaanan dan penanggulangan terhadap dampak pembangunan dilakukan dengan memanfaatkan hukum. Pemanfaatan ini disebabkan karena hukum merupakan hasil penjelajahan ide dan pengalaman manusia dalam mengatur hidupnya, terbawa oleh hakikat pengadaan dan keberadaan hukum dalam suatu masyarakat, terutama untuk mengatur kehidupan masyarakat. Fungsi mengatur itu telah didukung oleh potensi dasar yang terkandung dalam hukum sekaligus sebagai fungsi memberikan kepastian, pengamanan pelindung, dan penyeimbang.
Melihat peran hukum yang sangat besar dalam proses pembangunan, maka hukum itu sendiri perlu dilakukan pembenahan melalui pengalian dasar-dasar keberadaan teori-teori hukum yang selama ini ada melalui penyesuaian terhadap kondisi masyarakat sekarang. Karena pada dasarnya hukum itu tidak akan terlepas dari dinamikan masyarakat. lavigny menyebutkan hukum sebagai suatu formulasi kaidah yang bersumber dari jiwa rakyat, yang hakikatnya merupakan suatu kesamaan pengertian dalam kesatuan jiwa yang organis. Hukum menurutnya bukan sesuatu yang dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang sebagai kebiasaan hukum, yang secara berulang-ulang terjadi dan ditaati oleh masyarakat. Namun teori ini tidak dapat mengantisipasi perkembangan masyarakat yang cenderung bersifat dinamis dan progresif karena konsep hukum yang terkandung di dalamnya. Di samping kecenderungan lambat dan stagnasi, hukum dalam konsep aliran historis kekuarangan kapasitas untuk beradaptasi dan mengantisipasi perkembangan aspek kehidupan masyarakat yang cenderung kompleks dan progresif. Begitupula dengan kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam teori hukum positif dan teori hukum pargmatis serta teori-teori lainnya. Walaupun demikain tak dapat disangkal bahwa teori teori tersebut telah memberikan wacanah yang sangat baik dalam perkembangan ilmu hukum saat ini.
Pengaruh teori hukum positif (Austin, dan Hans Kelsen) misalnya dapat dilihat dalam konsep kondifikasi hukum dalam sejumlah masyarakat hukum kenegaraan yang kini telah merambat ke masyarakat yang lebih luas. Positivisme juga melakukan kritik terhadap aliran histories yang menyebutkan bahwa suatu tata hukum Negara bukan berlaku karena mempunyai dasar dalam kehidupan social (menurut Comte dan Spencer) bukan juga karena bersumber dari jiwa bangsa (menurut Savigny) dan bukan karena dasar-dasar hukum alam, melainkan karena mendapatkan bentuk positifnya oleh suatu instansi yang berwenang. Hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk formalnya, bentuk hukum formal dipisahkan dari bentuk hukum material. Isi hukum (materi) diakui ada, tetapi bukan bahan ilmu hukum karena dapat merusak kebenaran ilmiah ilmu hukum. Bahkan menurut Austin dan Kelsen menyebutkan bahwa hukum tidak bisa dicampur adukan dengan unsur-unsur lain diluar hukum. Alairan positifisme ini dikritik oleh teori hukum pragmatis, melalui penelitian mendalam dilakukan terhadap hakim, ditemukan bahwa para hakim dapat saja mengindahkan norma hukum yang telah ditetapkan, disebabkan karena pengaruh factor-faktor non hukum baik yang terdapat dalam diri hakim tersebut maupun yang berasal dari luar diri hakim. Di Indonesia telah dikembangkan teori pembangunan hukum yang dilakukan Mochtar Kusumaatmadja dengan menyebutkan hukum bukan sekedar norma melainkan juga institusi, sebagai proses dan sebagai kondisi dan gejala-gejala kemasyarakatan.
Dari berbagai pandangan di atas, tentunya patut disimak pendangan yang dikemukakan para ahli dalam teori Sosiological Jurisprudence yang mencairkan pandangan pemikir hukum normative (positifis), histories dan naturaslis (hukum alam) yang menempatkan masyarakat dan hukum sebagai titik pangkal pergolakan konsep di antara mereka. Prinsip dasar yang diletakan para pemikir aliran ini seperti Eungen Ehrlich dan Roscoe Pound bahwa “ hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat”. Rumusan prinsip dasar ini menunjukan kompromi yang cermat antara hukum tertulis (positivisme) sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi adanya kepastian hukum dan living law (Historis) sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum. Jika diletakan dalam dialektika Hegel, maka positivisme hukum adalah tesisnya – mazhab sejarah adalah antitesisnya dan Sosiological Jurisprudence adalah sistesisnya.
Pemikiran Sosiological Jurisprudence terhadap posisi hukum sebagai institusi sosial terlihat dengan baik dalam bagan asupan-luaran yang dibuat oleh Harry C. Bredemeier, sekaligus mengambarkan betapa besar pekerjaan.
hukum serta hasil-hasilnya tidak hanya merupakan persoalan atau urusan hukum melainkan merupakan bagian dari proses kemasyarakatan yang lebih besar.
Hukum dalam bukan hanya sekedar norma positif yang tidak dipengaruhi oleh aspek-aspek lain seperti yang dikemukakan Kelsen, akan tetapi ia sebagai suatu institusi social yang melakukan pengintegrasian proses-proses yang terjadi, dalam masyarakat, dimana hukum memposisikan sebagai filter terhadap asupan-asupan yang dilakukan oleh ekonomi, politik dan budaya yang kemudian dari hasil asupan tersebut dikembalikan kemasyarakat.
Manfaat Sociological Jurisprudence juga disampaikan Gurvitch yaitu :
Ternyata sosiologi hukum diperlukan bukan untuk pekerjaan sehari-hari dari ahli hukum tserhadap peristiwa-peristiwa konkrit, tetapi juga bagi ilmu hukum atau dalam hal mendogmakan secara sistimatis atau system hukum yang khusus. Sesungguhnya sosiologi hukum menyelidiki pola-pola dan lambing-lambang hukum yakni makna hukum yang berlaku bagi pengalaman suatu kelompok khusus dalam suatu masa tertentu, dan bekerja untuk membangun suatu system yang beraturan dari lambing-lambang yang demikian itu. Dengan demikian adalah perlu untuk menangkap kembali apa yang mereka nyatakan dan membuka kembali apa yang mereka sembunyikan.
Setelah mencermati kondisi Indonesia dewasa ini dalam masa transisi ke masa yang lebih baik, dengan memperjelas kedudukan hukum terutama kajian sosiologi hukum untuk menjembatani permasalahan hukum dalam kondisi tersebut. Bahwa hukum dalam masa transisi tidak dapat bekerja sendiri melainkan memerlukan bantuan pengetahuan tentang kultur masyarakat. Pada masa ini hukum dan kultur masyarakat harus bekerja sama, maka disinilah letak penting dan relevansinya pendekatan sosilogi hukum dan budaya hukum.
Mencermati berbagai teori hukum yang telah dikemukanan di atas, Sociological Jurisprudence lebih cocok bagi kehidupan system hukum di Indonesia dengan alasan bahwa Indonesia masih terdapat keberagaman masyarakat (kebinekaan) dan keragaman hukum, terdapat pluralisme hukum sebagai akibat masih berlangsungnya sejumlah system hukum kolonial dengan nilai-nilai hukum yang tidak selalu sesuai dengan nilai masyarakat Indonesia, serta sulitnya masyarakat menerima perubahan pengaturan kehidupan sebagai akibat masih kuatnya daya ikat dan daya laku hukum kebiasaan (livinglaw).
Perkembagan hukum kemudian memasuki babak baru, dengan munculkan aliran pemikiran hukum reponsif atau yang biasa dikenal dengan pendidikan hukum kritis. Aliran hukum ini mulai berkembang marak di Indonesia semanjak tahun 90an, yang dimotori oleh elemen masyarakat non pemerintah (NGO/LSM) akibat kegelisahan perlakukan tidak demokratis negara terhadap rakyat. Negara dengan sistem sistem hukum yang dibuat sama sekali tidak memberikan keadilan substantif, malah membenarkan tindakan negara yang merampas dan menghilangkan hak-hak dasar rakyat, termasuk mengambil hak harta kekayaan milik rakyat.
Gerakan ini mempersoalkan sistem dan mekanisme pembuatan hukum yang elitis dan teknokratis serta kandungannya yang hanya menguntungkan kelas berkuasa. Gerakan Ini memperjuangkan agar rakyat miskin (disadventage community) mendapatkan keleluasan untuk mengakses keadilan
.
1.2 Prospek Pengembangan Pendidikan Hukum
Carut marut dan stikma negatif terhadap penegak hukum, seiring dengan meningkatnya persoalan hukum di negara kita dewasa ini mencerminkan situasi yang menyedihkan bagi seluruh masyarakat. Salah satu yang dianggap turut bertanggung jawab terhadap persoalan diatas adalah lembaga pendidikan hukum, karena memproduksi lulusan (sarjana hukum) yang kemudian menyebar dan mengoperasionalkan hukum pada berbagai institusi penegak hukum.
Untuk itu, salah satu tuntutan adanya reformasi disegala bidang menuntut berbagai bidang ilmu melakukan perubahan dan penyesuaian dengan tuntutan masyarakat, termasuk perubahan dibidang pendidikan hukum di Indonesia. Atas dasar tuntutan tersebut, maka dunia pendidikan hukum perlu mengkaji instrumen pendidikan hukum yang tidak dapat merespon tuntutan masyarakat, sehingga dalam mempersiapkan mahasiswa yang ahli dalam keilmuannya dapat secara cermat menangkap fenomena hukum dan sosial yang berkembang disekitarnya. Mengingat kenyataan bahwa pendidikan hukum itu adalah suatu proses institusional yang dimaksudkan untuk melatih dan menyiapkan ahli-ahli hukum baru yang diperlukan untuk mengawaki dan mengoperasikan sistem hukum (the legal system) dan bahkan mungkin juga tertib hukum (the legal order) yang ada. Agar sistem itu dapat berjalan sebagaimana mestinya di tengah-tengah konteks sosiokulturalnya, maka tidak dapat dibantah bahwa tak pelak lagi arti pentingnya pendidikan hukum ini sebagai suatu institusi di dalam sistem hukum mau tak mau mestilah diakui.
Bila kita meneliti sejarah perkembangan hukum di Indonesia, dapat digambarkan bahwa pendidikan hukum di Indonesia pada era kolonial sampai saat ini, tidak selalu merupakan suatu proses yang otonom, melainkan suatu proses yang banyak tertuntut untuk secara fungsional mengikuti perkembangan politik, khususnya politik yang bersangkut-paut dengan kebijakan dan upaya pemerintah untuk mendayagunakan hukum guna meraih tujuan-tujuan yang tak selamanya berada di ranah hukum dan/atau ranah keadilan.
Dalam tatanan dan sistem hukum penduduk asli Indonesia, sesungguhnya institusi pendidikan hukum itu tidak pernah dikenal. Harus diakui sebagai kenyataan sejarah bahwa pendidikan hukum dan profesi hukum itu adalah suatu invansi peradaban Eropa Barat, yang mulai dikenal di Indonesia belum lama berselang. Pemerintah Hindia Belanda itulah yang mengintroduksi pendidikan hukum sebagai pendidikan profesi di Indonesia, dan yang dengan demikian juga memulai terjadinya perkembangan profesi hukum di negeri ini.
Dorongan pemberlakukan sistem hukum modern yang berasal dari Barat diperkenalkan dalam tata hukum Indonesia dan kemudian merasuk kesegala aspek kehidupan masyarakat pada akhir abad 19, bersamaan dengan upaya secara sistimatik pemerintah Hindia Belanda mengintensifkan kekuasaannya atas negeri jajahannya. Kondisi inilah awal dari kehancuran institusi lokal beserta kearifan tradisional akibat dorongan dari hukum barat dan kemudian berangsur-angsur menggantikan dengan sistem hukum penjajah.
Walaupun Indonesia telah menyatakan diri sebagai negara yang merdeka, namun pada tahun – tahun pertama perkembangan hukum di Indonesia hanyalah merupakan kelanjutan dari apa yang telah dipraktikkan pada masa-masa sebelumnya, bahkan beberapa institusi pendidikan hukum yang dibentuk dalam rangka memperkuat eksistensi hukum barat, dengan cara pembukaan fakultas-fakultas hukum yang lebih memihak pada sistem hukum tersebut.
Menurut Soetanyo, para ahli hukum dengan kepribadian sebagai punggawa pemerintah yang setia yang dicetak menuruti pola pendidikan hukum pada zaman kolonial seperti itulah yang umumnya benar-benar terpandang sebagai ahli-ahli yang berkemampuan cukup untuk ditugaskan di dalam badan pemerintahan dan badan peradilan. Namun, tak pelak lagi, tipe ahli hukum yang seperti inilah justru yang dicela oleh Presiden Soekarno pada awal dasawarsa 1960an. Dididik dan dilatih menurut doktrin kaum positivis yang dikukuhi dalam sistem hukum Belanda pada masa itu, dimana seseorang yuris dalam praktik tak akan dibenarkan kalau membuat hukum (rechtscheppen) dan cuma wajib menemukan hukum (rechtvinden). Mencermati fenomena tersebut, maka Presiden Soekarno secara tegas menyatakan bahwa ia tak akan mungkin mencetuskan dan menyelesaikan revolusi dengan bantuan yuris-yuris yang bertipe dan bermental seperti itu. Dalam masa revolusi, kata beliau, suatu jenis ahli hukum baru harus dikerahkan, dan suatu program baru untuk mendidik dan menghasilkan yuris-yuris baru yang lebih punya semangat untuk berjuang dan melaksanakan.
pembaharuan, dan tidak yang cuma ingin mempertahankan tertib lama demi kepastian hukum.
Menyadari pentingnya peranan para yuris dalam penyelenggaraan pemerintahan maupun dalam kehidupan masyarakat sejak dahulu sampai saat ini, maka pendidikan hukum akan selalu menjadi primadona dikemudian hari.
1.3 Sejarah Pendidikan Hukum di Indonesia
Keberadaan Pendidikan tinggi dibidang hukum di Indonesia diawali pada tahun 1924 dengan nama Rechtsschool yang kemudian ditingkatkan menjadi Rechtshogeschool pada tahun 1928 sebagai lembaga ciptaan pemerintah jajahan Hindia Belanda . Tujuan pendirian sekolah tinggi hukum ini untuk untuk menghasilkan lulusan-lulusan yang berkualitas sebagai rechtsambtenaren yang cakap, yang dengan demikian dapat diangkat ke dalam jabatan-jabatan tertentu, entah sebagai hakim landraad atau sebagai petugas-petugas hukum di kantor-kantor pemerintah dalam negeri, sekaligus untuk memantapkan penguasaan mereka atas teritori indonesia.
Kurikulum yang diterapkan pada saat itu dengan harapan agar para mahasiswa menguasai sejumlah kaidah hukum -- utamanya yang tertuang sebagai hukum perundang-undangan -- yang harus dipahami menurut tradisi reine Rechtslehre Kelsenian, yang memodelkan hukum sebagai suatu sistem normatif yang tertutup, yang dalam penggunaannya harus dipandang tak ada hubungannya yang logis dengan kenyataan-kenyataan empirik yang dialami orang di lapangan. Garis besar konstruksi kurikulum yang dikembangkan meliputi ilmu hukum, ilmu pendukung hukum, bahasa dan penelitian yang disajikan secara paket. Sedangkan metodologi yang digunakan adalah cara berpikir deduksi sebagai satu-satunya cara berpikir yuridis. Mahasiswa dilatih untuk menguasai cara berpikir deduksi sebagai satu-satunya cara untuk menemukan hukum in concreto (keputusan hukum) sebagai simpulan silogisme yang ditarik dari premis mayor yang berupa kaidah hukum positif in abstracto. Penerapan metode diatas tidak terlepas dari cara berpikir yang dikembangkan oleh para aliran positivisme yang berkembang pada saat itu.
Tradisi mempelajari hukum dari perspektif doktrin kaum positivis ini ternyata tidaklah berhenti dengan ditutupnya Rechtshogeschool yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Tradisi itu telah diteruskan ketika sekolah tinggi hukum itu dibuka kembali oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1947 di Jakarta, sekalipun kini sudah berstatus sebagai sebuah fakultas pada Universitas Indonesia, dan di Yogyakarta pada Universitas Gajah Mada.
Pada tahun 1950-an, fakultas-fakultas hukum di Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gajah Mada (UGM) berperan penting sebagai lembaga pendidikan tinggi peng-hasil ahli-ahli hukum yang terasa amat diperlukan pada
waktu itu untuk dapat segera mengisi jabatan-jabatan yang lowong di badan-badan pemerintahan dan kehakiman Republik sepeninggal tenaga-tenaga ahli yang berkebangsaan Belanda. Dalam melaksanakan tugas pendidikannya itu, tanpa ayal lagi fakultas-fakultas hukum di kedua universitas itu telah meniru begitu saja kurikulum yang dikembangkan dan dipakai semasa sebelum perang. Nyata kalau dalam konsep lama itu pendidikan tinggi hukum memang dimaksudkan untuk mencetak tenaga-tenaga ahli yang berkualitas di bidang hukum guna memenuhi kepentingan jabatan-jabatan pemerintahan dan kehakiman. Pada akhir dasawarsa, sejumlah fakultas hukum di universitas-universitas lain yang mulai bertumbuhan di seantero negeri, mengikuti jejak UI dan UGM mulai pula meluluskan ahli-ahli hukum yang memenuhi kualifikasi sebagai rechtsambtenaren.
Harapan bahwasanya hukum mesti dapat didayagunakan sebagai alat revolusi sebagaimana dipaparkan di atas itu terasa menguat di kalangan para politisi pada peralihan dasawarsa 1950-1960an. Adalah keyakinan para politisi yang kian meneguh pada waktu itu bahwa hukum harus didayagunakan untuk -- dan mengabdi kepada -- tujuan-tujuan yang meng-untungkan umum (doelmatigheid), dan tidak pertama-tama untuk secara nekad mengabdi kepada suatu asas legalisme, yang mendahulukan apa yang disebut kepastian hukum (rechtszekerheid). Pada tahun 1961, ketika menyampaikan pidato di muka suatu sidang pleno Kongres Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia, Presiden Soekarno mengungkapkan keprihatinannya berkenaan dengan suatu kenyataan bahwa yuris-yuris Indonesia amat kurang berkepekaan dan kurang tanggap pada perubahan-perubahan yang tengah terjadi. Ditengarai, bahwa para yuris ini cenderung suka melihat dan menyelesaikan berbagai perkara cuma dari perspektif yang serba yuridis dan doktrinal saja. Padahal suasana revolusi pada masa itu amat menuntut agar setiap persoalan dan perkara dikaji juga dengan mempertimbangkan secara sungguh-sungguh implikasiimplikasi ideologi dan permasalahan sosial-politiknya.
Kemudian pada tahun 1972 dilakukan perubahan kurikulum, walaupun beberapa pihak mengganggap perubahan tersebut tidak terlalu siknifikan karena masih tetap mengacu pada pola lama dengan istilah pola paket kuliah tahunan dengan rata-rata delapan mata kuliah per tahuh. Dengan dasar Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 0198/1972, matakuliah baru pun diperkenalkan seperi Hukum Klinis dan Kuliah Kerja Nyata. Penambahan dua mata kuliah ini, mengarahkan pendidikan hukum tidak hanya melahirkan sarjanah hukum yang mampu menguasai teori dan dokma hukum, akan tetapi agar dapat melakukan praktek hukum atau setidaktidaknya meningkatkan keterampilan lulusan.
Dalam perjalanan, kurikulum 72 sianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan masyarakat, maka melalui SK Mendikbut pada tahun 1982 menetapkan kurikulum inti program pendidikan sarjana di bidang hukum. Perubahan mendasar yang dilakukan adalah dengan memberlakukan sistim satuan kredit semester (SKS) yang berdasarkan pada pertimbangan beban studi mahasiswa, beban kerja pengajar dan beban penyelenggara. Dengan sistem SKS, mahasiswa didorong untuk lebih dewasa dan mandiri dalam proses pembelajaran. Walaupun demikian, sistem ini masih dianggap memiliki kelemahan, karena beberapa mata kuliah yang dianggap asas-asas dikurangi bobot SKSnya.
Pada tahun 1993 dilakukan pula perubahan kurikulim melalui SK Mendikbut No 017/D/0/1993 yang kemudian di Ubahn dengan SK Mendikbut No 0325/U/1994 sebagai upaya untuk mereorentasi pendidikan hukum. Diberlakukan sistem kurikulum ini untuk menjawab tuntutan konsumen, agar lulusan fakultas hukum sesuai dengan kebutuhan pasar. Menurut Harkristuti Harkrisnowo perubahan paradikma pendidikan hukum ditandai antara lain oleh upaya mengarahkan pendidikan hukum untuk memenuhi pula kebutuhan publik, tanpa mengabaikan atau meninggalkan karakter akademiknya . Sedangkan Mochtar Kusumaatmaja menginginkan adanya pendidikan di fakultas hukum sebagai professional school yang diarahkan untuk menyiapkan lulusanya menjalani karir dibidang hukum, baik akademik maupun non akademik.
Bila kita bandingkan dengan negara-negara Barat, pendidikan hukum yang dikembangkan selalu mempunyai hubungan afiliasi yang sangat erat dengan dunia profesi dan organisasi-organisasi profesi yang otonom, sedangkan pendidikan hukum di Indonesia sejak dahulu sampai saat ini lebih berorientasi pada hubungan yang erat dengan kepentingan pemerintah dan/atau pemerintahan. Karena itu para mahasiswa hukum lebih banyak dilatih dalam soal bagaimana menerapkan UU (hukum), sedangkan kemahiran untuk bernalar guna menemukan atau sekurang-kurangnya untuk mereinterpretasi hukum dalam vers dan semangatnya yang baru sulit diperoleh, apalagi menelusuri dan mempelajari proses-proses terjadinya atau terciptanya hukum (law making proces) baik yang in abstracto maupun yang in concreto, beserta dampak yang ditimbulkan bagi kehidupan dan kemaslahatan masyarakat.
Mencermati kondisi diatas, maka lahirlah tuntutan untuk mendekatkan pendidikan hukum dengan profesi hukum melalui perubahan kurikulum yang tertuang dalam SK Mendikbut No. 0325/U/1994 tentang kurikulum yang berlaku secara nasional pada Program Sarjana Ilmu Hukum. Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa :
Tujuan program studi ilmu yakni menyiapkan peserta didik menjadi sarjana hukum yang menguasai hukum Indonesia, menguasai dasar ilmiah dan dasar kemahiran kerja untuk mengembangkan ilmu hukum dan hukum, mengenal dan peka terhadap masalah keadilan dan masalah kemasyarakatan, mampu menganalisis hukum dalam masyarakat, serta mampu menggunakan hukum sebagai sarana untuk memecahkan masalah kemasyarakatan dengan bijaksana dan berdasarkan atas prinsip hukum.
Mochtar mengimbau dengan sungguh-sungguh agar para yuris dan para ahli hukum di negeri-negeri yang sedang berkembang berkomitmen dalam setiap upaya untuk membikin hukum kian efektif, tak hanya dalam fungsinya untuk mempertahankan ketertiban akan tetapi juga untuk menggerakkan perubahan lewat cara-cara yang berketeraturan dan tertib. Dalam alam pikiran Mochar, hukum itu seyogyanya tak usah terlalu ambisius dan banyak pretensi. Dengan langkah-langkahnya yang lebih strategik, para ahli hukum tentulah dapat berperan secara lebih bermakna dalam setiap upaya mengembangkan dan membangun hukum nasional.
Perubahan untuk menyesuaikan kurikulum terus berproses dan terakhir telah disepakati para dekan Fakultas Hukum se Indonesia tentang muatan kurikulum inti dengan mengembalikan bobot SKS terhadap beberapa matakuliah yang dianggap memberikan dasar/asas pembentukan sarjah hukum serta penambahan mata kuliah yang kurang lebih 35% mengarah pembentukan profesional hukum seperti, adanya praktek peradilan perdata, pidana, TUN, dan Agama yang disajikan secara terpisah.
Walaupun demikian, perlu disadari bahwa untuk menggerakkan perubahan dalam sistem pendidikan hukum itu tidaklah pernah mudah. Selalin pengelolaan fakultas hukum di Indonesia pada umumnya konservatif, juga disebabkan karena fakultas telah lama kehilangan kesadarannya tentang apa sesungguhnya misi yang harus diemabannya, belum lagi terdapat sebagian anggap yang meletakan studi tentang hukum merupakan suatu proses studi yang elitis. Sementara masyarakat berharap agar pendidikan hukum di waktu yang akan datang harus mampu mengemban suatu misi baru yakni menghasilkan yuris-yuris dan ahli-ahli hukum yang tak hanya tahu akan kepentingan pemerintah dan kepentingan kaum bisnis, melainkan yang tahu pula bagaimana mengadvokasi sekian banyak kepentingan masyarakat terutama masyarakat miskin yang diposisikan sebagai masyarakat pinggiran dan selalu mendapatkan perlakukan tidak adil.
BAB II
KESIMPULAN
Melalui uraian perkembangan dan kebutuhan pendidikan hukum dalam masyarakat, maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:
Bahwa keberadaan manusia tidak akan terlepas dari hukum yang mejadi dasar pijakan dalam melaksanakan kehidupan. Untuk memberikan arah yang jelas bagi perkembangan hukum dalam masyarakat, maka pendidikan hukum menjadi penting untuk menjawab kebutuhan tersebut.
Pendidikan hukum harus menjawab berbagi kebuntuan praktek-praktek hukum yang telah kehilangan idealisme dan moral untuk menyatakan sesuatu yang benar, sekaligus tidak bisa terlena dengan fasilitas yang diberikan, dengan mengorbankan harapan masyarakat pada era revormasi, dimana kepentingan individu, kelompok dan golongan telah mengalahkan keadilan masyarakat. Kondisi ini harus secara cepat dan tepat untuk melakukan pembaharuan hukum untuk mengembalikan pada fungsi yang sebernanya. Salah satu yang dapat dilakukan dengan cara mendidik para ahli hukum yan bebas dari berbagai kepentingan sesaat, dan memberikan pemahaman yang jelas tentang kondisi saat ini yang penuh maniplasi, korupsi, kolusi dan nepotisme.
Arah pengembangan pendidikan hukum kedepan tidak hanya memproduksi sarjana hukum yang menguasai dokma dan asas-asas hukum, akan tetapi harus memberikan porsi yang seimbang terhadap muatan materi yang mengarahkan peserta didik untuk menjadi sarjana hukum profesional dibidangnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad. 1990. Mengembara Di Belantara Hukum, Lembaga Penerbitan UNHAS, Makasar.
Atmasasmita, Romli. 2001. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum. Mandar Maju. Bandung.
Bredemeire, Harry C. 1962. Law as an Integrative Mechanism, dalam Law and Sociology, Wiliam M. Evan (ed) The Free Press of Glencoe, New York.
Darmodiharjo, Darji. 2002. Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Bandung.
Friedmen, 1993. Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum. RajaGrafindo. Jakarta.
Harkristuti Harkrisnowo. 2003. Selintas Sejarah dan Prospek Pengembangan Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, dalam Jantera Edisi Khsus, 2003,
Kelsen, Hans. 1961. Pure Theory Of Law. Traslated by, Max Knight. Brekeley, Los Angles. Universitay of California Press London.
Rasjidi, Lili. 2003. Hukum Sebagai Suatu System, Mandar Maju. Bandung
Rahardjo, Satjipto. 1986. Ilmu Hukum. Alumni. Bandung.
Ricardo Simarmata, 2003. Pendidikan Hukum Kritis Asal Usul, Faham, Prinsip dan Metode, Sebuah Penjelasan Awal, dalam Jentera Edisi Khusus, 2003, p 29-30.
Soetanyo Wignjosoebroto, 2004. Perkembangan Hukum Nasioanl dan Pendidikan Hukum Di Indonesia Pada Era Pascakolonial, http://www.huma.or.id
Penulis : Maksum Asrori
PEMBAHASAN
1.1 Peranan Teori Hukum dalam Perkembangan Hukum Indonesia
Pembangunan yang dilakukan selama ini tidak lain adalah untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui suatu perubahan tertentu dalam masyarakat. Perubahan ini dapat menghasilkan sesuatu yang baik (kemajuan)
atau bahkan sesuatu yang negatif (kemunduran). Tentunya perubahan masyarakat yang dikehendaki melalui pembangunan yang teratur, terkendali, efektif dan efisien guna peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam pandangan global pembangunan sebagai suatu cara untuk mengubah masyarakat yang terpola dan teratur, guna meningkatkan peradaban manusia,kualitas hidup manusia, baik kesehatan, intelektualitas, kesejahteraan maupun kesenangan hidup. Untuk mencapai hal tersebut, maka hukum sangat penting memainkan perannya dalam masyarakat, dimana fungsi perencaanan dan penanggulangan terhadap dampak pembangunan dilakukan dengan memanfaatkan hukum. Pemanfaatan ini disebabkan karena hukum merupakan hasil penjelajahan ide dan pengalaman manusia dalam mengatur hidupnya, terbawa oleh hakikat pengadaan dan keberadaan hukum dalam suatu masyarakat, terutama untuk mengatur kehidupan masyarakat. Fungsi mengatur itu telah didukung oleh potensi dasar yang terkandung dalam hukum sekaligus sebagai fungsi memberikan kepastian, pengamanan pelindung, dan penyeimbang.
Melihat peran hukum yang sangat besar dalam proses pembangunan, maka hukum itu sendiri perlu dilakukan pembenahan melalui pengalian dasar-dasar keberadaan teori-teori hukum yang selama ini ada melalui penyesuaian terhadap kondisi masyarakat sekarang. Karena pada dasarnya hukum itu tidak akan terlepas dari dinamikan masyarakat. lavigny menyebutkan hukum sebagai suatu formulasi kaidah yang bersumber dari jiwa rakyat, yang hakikatnya merupakan suatu kesamaan pengertian dalam kesatuan jiwa yang organis. Hukum menurutnya bukan sesuatu yang dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang sebagai kebiasaan hukum, yang secara berulang-ulang terjadi dan ditaati oleh masyarakat. Namun teori ini tidak dapat mengantisipasi perkembangan masyarakat yang cenderung bersifat dinamis dan progresif karena konsep hukum yang terkandung di dalamnya. Di samping kecenderungan lambat dan stagnasi, hukum dalam konsep aliran historis kekuarangan kapasitas untuk beradaptasi dan mengantisipasi perkembangan aspek kehidupan masyarakat yang cenderung kompleks dan progresif. Begitupula dengan kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam teori hukum positif dan teori hukum pargmatis serta teori-teori lainnya. Walaupun demikain tak dapat disangkal bahwa teori teori tersebut telah memberikan wacanah yang sangat baik dalam perkembangan ilmu hukum saat ini.
Pengaruh teori hukum positif (Austin, dan Hans Kelsen) misalnya dapat dilihat dalam konsep kondifikasi hukum dalam sejumlah masyarakat hukum kenegaraan yang kini telah merambat ke masyarakat yang lebih luas. Positivisme juga melakukan kritik terhadap aliran histories yang menyebutkan bahwa suatu tata hukum Negara bukan berlaku karena mempunyai dasar dalam kehidupan social (menurut Comte dan Spencer) bukan juga karena bersumber dari jiwa bangsa (menurut Savigny) dan bukan karena dasar-dasar hukum alam, melainkan karena mendapatkan bentuk positifnya oleh suatu instansi yang berwenang. Hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk formalnya, bentuk hukum formal dipisahkan dari bentuk hukum material. Isi hukum (materi) diakui ada, tetapi bukan bahan ilmu hukum karena dapat merusak kebenaran ilmiah ilmu hukum. Bahkan menurut Austin dan Kelsen menyebutkan bahwa hukum tidak bisa dicampur adukan dengan unsur-unsur lain diluar hukum. Alairan positifisme ini dikritik oleh teori hukum pragmatis, melalui penelitian mendalam dilakukan terhadap hakim, ditemukan bahwa para hakim dapat saja mengindahkan norma hukum yang telah ditetapkan, disebabkan karena pengaruh factor-faktor non hukum baik yang terdapat dalam diri hakim tersebut maupun yang berasal dari luar diri hakim. Di Indonesia telah dikembangkan teori pembangunan hukum yang dilakukan Mochtar Kusumaatmadja dengan menyebutkan hukum bukan sekedar norma melainkan juga institusi, sebagai proses dan sebagai kondisi dan gejala-gejala kemasyarakatan.
Dari berbagai pandangan di atas, tentunya patut disimak pendangan yang dikemukakan para ahli dalam teori Sosiological Jurisprudence yang mencairkan pandangan pemikir hukum normative (positifis), histories dan naturaslis (hukum alam) yang menempatkan masyarakat dan hukum sebagai titik pangkal pergolakan konsep di antara mereka. Prinsip dasar yang diletakan para pemikir aliran ini seperti Eungen Ehrlich dan Roscoe Pound bahwa “ hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat”. Rumusan prinsip dasar ini menunjukan kompromi yang cermat antara hukum tertulis (positivisme) sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi adanya kepastian hukum dan living law (Historis) sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum. Jika diletakan dalam dialektika Hegel, maka positivisme hukum adalah tesisnya – mazhab sejarah adalah antitesisnya dan Sosiological Jurisprudence adalah sistesisnya.
Pemikiran Sosiological Jurisprudence terhadap posisi hukum sebagai institusi sosial terlihat dengan baik dalam bagan asupan-luaran yang dibuat oleh Harry C. Bredemeier, sekaligus mengambarkan betapa besar pekerjaan.
hukum serta hasil-hasilnya tidak hanya merupakan persoalan atau urusan hukum melainkan merupakan bagian dari proses kemasyarakatan yang lebih besar.
Hukum dalam bukan hanya sekedar norma positif yang tidak dipengaruhi oleh aspek-aspek lain seperti yang dikemukakan Kelsen, akan tetapi ia sebagai suatu institusi social yang melakukan pengintegrasian proses-proses yang terjadi, dalam masyarakat, dimana hukum memposisikan sebagai filter terhadap asupan-asupan yang dilakukan oleh ekonomi, politik dan budaya yang kemudian dari hasil asupan tersebut dikembalikan kemasyarakat.
Manfaat Sociological Jurisprudence juga disampaikan Gurvitch yaitu :
Ternyata sosiologi hukum diperlukan bukan untuk pekerjaan sehari-hari dari ahli hukum tserhadap peristiwa-peristiwa konkrit, tetapi juga bagi ilmu hukum atau dalam hal mendogmakan secara sistimatis atau system hukum yang khusus. Sesungguhnya sosiologi hukum menyelidiki pola-pola dan lambing-lambang hukum yakni makna hukum yang berlaku bagi pengalaman suatu kelompok khusus dalam suatu masa tertentu, dan bekerja untuk membangun suatu system yang beraturan dari lambing-lambang yang demikian itu. Dengan demikian adalah perlu untuk menangkap kembali apa yang mereka nyatakan dan membuka kembali apa yang mereka sembunyikan.
Setelah mencermati kondisi Indonesia dewasa ini dalam masa transisi ke masa yang lebih baik, dengan memperjelas kedudukan hukum terutama kajian sosiologi hukum untuk menjembatani permasalahan hukum dalam kondisi tersebut. Bahwa hukum dalam masa transisi tidak dapat bekerja sendiri melainkan memerlukan bantuan pengetahuan tentang kultur masyarakat. Pada masa ini hukum dan kultur masyarakat harus bekerja sama, maka disinilah letak penting dan relevansinya pendekatan sosilogi hukum dan budaya hukum.
Mencermati berbagai teori hukum yang telah dikemukanan di atas, Sociological Jurisprudence lebih cocok bagi kehidupan system hukum di Indonesia dengan alasan bahwa Indonesia masih terdapat keberagaman masyarakat (kebinekaan) dan keragaman hukum, terdapat pluralisme hukum sebagai akibat masih berlangsungnya sejumlah system hukum kolonial dengan nilai-nilai hukum yang tidak selalu sesuai dengan nilai masyarakat Indonesia, serta sulitnya masyarakat menerima perubahan pengaturan kehidupan sebagai akibat masih kuatnya daya ikat dan daya laku hukum kebiasaan (livinglaw).
Perkembagan hukum kemudian memasuki babak baru, dengan munculkan aliran pemikiran hukum reponsif atau yang biasa dikenal dengan pendidikan hukum kritis. Aliran hukum ini mulai berkembang marak di Indonesia semanjak tahun 90an, yang dimotori oleh elemen masyarakat non pemerintah (NGO/LSM) akibat kegelisahan perlakukan tidak demokratis negara terhadap rakyat. Negara dengan sistem sistem hukum yang dibuat sama sekali tidak memberikan keadilan substantif, malah membenarkan tindakan negara yang merampas dan menghilangkan hak-hak dasar rakyat, termasuk mengambil hak harta kekayaan milik rakyat.
Gerakan ini mempersoalkan sistem dan mekanisme pembuatan hukum yang elitis dan teknokratis serta kandungannya yang hanya menguntungkan kelas berkuasa. Gerakan Ini memperjuangkan agar rakyat miskin (disadventage community) mendapatkan keleluasan untuk mengakses keadilan
.
1.2 Prospek Pengembangan Pendidikan Hukum
Carut marut dan stikma negatif terhadap penegak hukum, seiring dengan meningkatnya persoalan hukum di negara kita dewasa ini mencerminkan situasi yang menyedihkan bagi seluruh masyarakat. Salah satu yang dianggap turut bertanggung jawab terhadap persoalan diatas adalah lembaga pendidikan hukum, karena memproduksi lulusan (sarjana hukum) yang kemudian menyebar dan mengoperasionalkan hukum pada berbagai institusi penegak hukum.
Untuk itu, salah satu tuntutan adanya reformasi disegala bidang menuntut berbagai bidang ilmu melakukan perubahan dan penyesuaian dengan tuntutan masyarakat, termasuk perubahan dibidang pendidikan hukum di Indonesia. Atas dasar tuntutan tersebut, maka dunia pendidikan hukum perlu mengkaji instrumen pendidikan hukum yang tidak dapat merespon tuntutan masyarakat, sehingga dalam mempersiapkan mahasiswa yang ahli dalam keilmuannya dapat secara cermat menangkap fenomena hukum dan sosial yang berkembang disekitarnya. Mengingat kenyataan bahwa pendidikan hukum itu adalah suatu proses institusional yang dimaksudkan untuk melatih dan menyiapkan ahli-ahli hukum baru yang diperlukan untuk mengawaki dan mengoperasikan sistem hukum (the legal system) dan bahkan mungkin juga tertib hukum (the legal order) yang ada. Agar sistem itu dapat berjalan sebagaimana mestinya di tengah-tengah konteks sosiokulturalnya, maka tidak dapat dibantah bahwa tak pelak lagi arti pentingnya pendidikan hukum ini sebagai suatu institusi di dalam sistem hukum mau tak mau mestilah diakui.
Bila kita meneliti sejarah perkembangan hukum di Indonesia, dapat digambarkan bahwa pendidikan hukum di Indonesia pada era kolonial sampai saat ini, tidak selalu merupakan suatu proses yang otonom, melainkan suatu proses yang banyak tertuntut untuk secara fungsional mengikuti perkembangan politik, khususnya politik yang bersangkut-paut dengan kebijakan dan upaya pemerintah untuk mendayagunakan hukum guna meraih tujuan-tujuan yang tak selamanya berada di ranah hukum dan/atau ranah keadilan.
Dalam tatanan dan sistem hukum penduduk asli Indonesia, sesungguhnya institusi pendidikan hukum itu tidak pernah dikenal. Harus diakui sebagai kenyataan sejarah bahwa pendidikan hukum dan profesi hukum itu adalah suatu invansi peradaban Eropa Barat, yang mulai dikenal di Indonesia belum lama berselang. Pemerintah Hindia Belanda itulah yang mengintroduksi pendidikan hukum sebagai pendidikan profesi di Indonesia, dan yang dengan demikian juga memulai terjadinya perkembangan profesi hukum di negeri ini.
Dorongan pemberlakukan sistem hukum modern yang berasal dari Barat diperkenalkan dalam tata hukum Indonesia dan kemudian merasuk kesegala aspek kehidupan masyarakat pada akhir abad 19, bersamaan dengan upaya secara sistimatik pemerintah Hindia Belanda mengintensifkan kekuasaannya atas negeri jajahannya. Kondisi inilah awal dari kehancuran institusi lokal beserta kearifan tradisional akibat dorongan dari hukum barat dan kemudian berangsur-angsur menggantikan dengan sistem hukum penjajah.
Walaupun Indonesia telah menyatakan diri sebagai negara yang merdeka, namun pada tahun – tahun pertama perkembangan hukum di Indonesia hanyalah merupakan kelanjutan dari apa yang telah dipraktikkan pada masa-masa sebelumnya, bahkan beberapa institusi pendidikan hukum yang dibentuk dalam rangka memperkuat eksistensi hukum barat, dengan cara pembukaan fakultas-fakultas hukum yang lebih memihak pada sistem hukum tersebut.
Menurut Soetanyo, para ahli hukum dengan kepribadian sebagai punggawa pemerintah yang setia yang dicetak menuruti pola pendidikan hukum pada zaman kolonial seperti itulah yang umumnya benar-benar terpandang sebagai ahli-ahli yang berkemampuan cukup untuk ditugaskan di dalam badan pemerintahan dan badan peradilan. Namun, tak pelak lagi, tipe ahli hukum yang seperti inilah justru yang dicela oleh Presiden Soekarno pada awal dasawarsa 1960an. Dididik dan dilatih menurut doktrin kaum positivis yang dikukuhi dalam sistem hukum Belanda pada masa itu, dimana seseorang yuris dalam praktik tak akan dibenarkan kalau membuat hukum (rechtscheppen) dan cuma wajib menemukan hukum (rechtvinden). Mencermati fenomena tersebut, maka Presiden Soekarno secara tegas menyatakan bahwa ia tak akan mungkin mencetuskan dan menyelesaikan revolusi dengan bantuan yuris-yuris yang bertipe dan bermental seperti itu. Dalam masa revolusi, kata beliau, suatu jenis ahli hukum baru harus dikerahkan, dan suatu program baru untuk mendidik dan menghasilkan yuris-yuris baru yang lebih punya semangat untuk berjuang dan melaksanakan.
pembaharuan, dan tidak yang cuma ingin mempertahankan tertib lama demi kepastian hukum.
Menyadari pentingnya peranan para yuris dalam penyelenggaraan pemerintahan maupun dalam kehidupan masyarakat sejak dahulu sampai saat ini, maka pendidikan hukum akan selalu menjadi primadona dikemudian hari.
1.3 Sejarah Pendidikan Hukum di Indonesia
Keberadaan Pendidikan tinggi dibidang hukum di Indonesia diawali pada tahun 1924 dengan nama Rechtsschool yang kemudian ditingkatkan menjadi Rechtshogeschool pada tahun 1928 sebagai lembaga ciptaan pemerintah jajahan Hindia Belanda . Tujuan pendirian sekolah tinggi hukum ini untuk untuk menghasilkan lulusan-lulusan yang berkualitas sebagai rechtsambtenaren yang cakap, yang dengan demikian dapat diangkat ke dalam jabatan-jabatan tertentu, entah sebagai hakim landraad atau sebagai petugas-petugas hukum di kantor-kantor pemerintah dalam negeri, sekaligus untuk memantapkan penguasaan mereka atas teritori indonesia.
Kurikulum yang diterapkan pada saat itu dengan harapan agar para mahasiswa menguasai sejumlah kaidah hukum -- utamanya yang tertuang sebagai hukum perundang-undangan -- yang harus dipahami menurut tradisi reine Rechtslehre Kelsenian, yang memodelkan hukum sebagai suatu sistem normatif yang tertutup, yang dalam penggunaannya harus dipandang tak ada hubungannya yang logis dengan kenyataan-kenyataan empirik yang dialami orang di lapangan. Garis besar konstruksi kurikulum yang dikembangkan meliputi ilmu hukum, ilmu pendukung hukum, bahasa dan penelitian yang disajikan secara paket. Sedangkan metodologi yang digunakan adalah cara berpikir deduksi sebagai satu-satunya cara berpikir yuridis. Mahasiswa dilatih untuk menguasai cara berpikir deduksi sebagai satu-satunya cara untuk menemukan hukum in concreto (keputusan hukum) sebagai simpulan silogisme yang ditarik dari premis mayor yang berupa kaidah hukum positif in abstracto. Penerapan metode diatas tidak terlepas dari cara berpikir yang dikembangkan oleh para aliran positivisme yang berkembang pada saat itu.
Tradisi mempelajari hukum dari perspektif doktrin kaum positivis ini ternyata tidaklah berhenti dengan ditutupnya Rechtshogeschool yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Tradisi itu telah diteruskan ketika sekolah tinggi hukum itu dibuka kembali oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1947 di Jakarta, sekalipun kini sudah berstatus sebagai sebuah fakultas pada Universitas Indonesia, dan di Yogyakarta pada Universitas Gajah Mada.
Pada tahun 1950-an, fakultas-fakultas hukum di Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gajah Mada (UGM) berperan penting sebagai lembaga pendidikan tinggi peng-hasil ahli-ahli hukum yang terasa amat diperlukan pada
waktu itu untuk dapat segera mengisi jabatan-jabatan yang lowong di badan-badan pemerintahan dan kehakiman Republik sepeninggal tenaga-tenaga ahli yang berkebangsaan Belanda. Dalam melaksanakan tugas pendidikannya itu, tanpa ayal lagi fakultas-fakultas hukum di kedua universitas itu telah meniru begitu saja kurikulum yang dikembangkan dan dipakai semasa sebelum perang. Nyata kalau dalam konsep lama itu pendidikan tinggi hukum memang dimaksudkan untuk mencetak tenaga-tenaga ahli yang berkualitas di bidang hukum guna memenuhi kepentingan jabatan-jabatan pemerintahan dan kehakiman. Pada akhir dasawarsa, sejumlah fakultas hukum di universitas-universitas lain yang mulai bertumbuhan di seantero negeri, mengikuti jejak UI dan UGM mulai pula meluluskan ahli-ahli hukum yang memenuhi kualifikasi sebagai rechtsambtenaren.
Harapan bahwasanya hukum mesti dapat didayagunakan sebagai alat revolusi sebagaimana dipaparkan di atas itu terasa menguat di kalangan para politisi pada peralihan dasawarsa 1950-1960an. Adalah keyakinan para politisi yang kian meneguh pada waktu itu bahwa hukum harus didayagunakan untuk -- dan mengabdi kepada -- tujuan-tujuan yang meng-untungkan umum (doelmatigheid), dan tidak pertama-tama untuk secara nekad mengabdi kepada suatu asas legalisme, yang mendahulukan apa yang disebut kepastian hukum (rechtszekerheid). Pada tahun 1961, ketika menyampaikan pidato di muka suatu sidang pleno Kongres Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia, Presiden Soekarno mengungkapkan keprihatinannya berkenaan dengan suatu kenyataan bahwa yuris-yuris Indonesia amat kurang berkepekaan dan kurang tanggap pada perubahan-perubahan yang tengah terjadi. Ditengarai, bahwa para yuris ini cenderung suka melihat dan menyelesaikan berbagai perkara cuma dari perspektif yang serba yuridis dan doktrinal saja. Padahal suasana revolusi pada masa itu amat menuntut agar setiap persoalan dan perkara dikaji juga dengan mempertimbangkan secara sungguh-sungguh implikasiimplikasi ideologi dan permasalahan sosial-politiknya.
Kemudian pada tahun 1972 dilakukan perubahan kurikulum, walaupun beberapa pihak mengganggap perubahan tersebut tidak terlalu siknifikan karena masih tetap mengacu pada pola lama dengan istilah pola paket kuliah tahunan dengan rata-rata delapan mata kuliah per tahuh. Dengan dasar Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 0198/1972, matakuliah baru pun diperkenalkan seperi Hukum Klinis dan Kuliah Kerja Nyata. Penambahan dua mata kuliah ini, mengarahkan pendidikan hukum tidak hanya melahirkan sarjanah hukum yang mampu menguasai teori dan dokma hukum, akan tetapi agar dapat melakukan praktek hukum atau setidaktidaknya meningkatkan keterampilan lulusan.
Dalam perjalanan, kurikulum 72 sianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan masyarakat, maka melalui SK Mendikbut pada tahun 1982 menetapkan kurikulum inti program pendidikan sarjana di bidang hukum. Perubahan mendasar yang dilakukan adalah dengan memberlakukan sistim satuan kredit semester (SKS) yang berdasarkan pada pertimbangan beban studi mahasiswa, beban kerja pengajar dan beban penyelenggara. Dengan sistem SKS, mahasiswa didorong untuk lebih dewasa dan mandiri dalam proses pembelajaran. Walaupun demikian, sistem ini masih dianggap memiliki kelemahan, karena beberapa mata kuliah yang dianggap asas-asas dikurangi bobot SKSnya.
Pada tahun 1993 dilakukan pula perubahan kurikulim melalui SK Mendikbut No 017/D/0/1993 yang kemudian di Ubahn dengan SK Mendikbut No 0325/U/1994 sebagai upaya untuk mereorentasi pendidikan hukum. Diberlakukan sistem kurikulum ini untuk menjawab tuntutan konsumen, agar lulusan fakultas hukum sesuai dengan kebutuhan pasar. Menurut Harkristuti Harkrisnowo perubahan paradikma pendidikan hukum ditandai antara lain oleh upaya mengarahkan pendidikan hukum untuk memenuhi pula kebutuhan publik, tanpa mengabaikan atau meninggalkan karakter akademiknya . Sedangkan Mochtar Kusumaatmaja menginginkan adanya pendidikan di fakultas hukum sebagai professional school yang diarahkan untuk menyiapkan lulusanya menjalani karir dibidang hukum, baik akademik maupun non akademik.
Bila kita bandingkan dengan negara-negara Barat, pendidikan hukum yang dikembangkan selalu mempunyai hubungan afiliasi yang sangat erat dengan dunia profesi dan organisasi-organisasi profesi yang otonom, sedangkan pendidikan hukum di Indonesia sejak dahulu sampai saat ini lebih berorientasi pada hubungan yang erat dengan kepentingan pemerintah dan/atau pemerintahan. Karena itu para mahasiswa hukum lebih banyak dilatih dalam soal bagaimana menerapkan UU (hukum), sedangkan kemahiran untuk bernalar guna menemukan atau sekurang-kurangnya untuk mereinterpretasi hukum dalam vers dan semangatnya yang baru sulit diperoleh, apalagi menelusuri dan mempelajari proses-proses terjadinya atau terciptanya hukum (law making proces) baik yang in abstracto maupun yang in concreto, beserta dampak yang ditimbulkan bagi kehidupan dan kemaslahatan masyarakat.
Mencermati kondisi diatas, maka lahirlah tuntutan untuk mendekatkan pendidikan hukum dengan profesi hukum melalui perubahan kurikulum yang tertuang dalam SK Mendikbut No. 0325/U/1994 tentang kurikulum yang berlaku secara nasional pada Program Sarjana Ilmu Hukum. Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa :
Tujuan program studi ilmu yakni menyiapkan peserta didik menjadi sarjana hukum yang menguasai hukum Indonesia, menguasai dasar ilmiah dan dasar kemahiran kerja untuk mengembangkan ilmu hukum dan hukum, mengenal dan peka terhadap masalah keadilan dan masalah kemasyarakatan, mampu menganalisis hukum dalam masyarakat, serta mampu menggunakan hukum sebagai sarana untuk memecahkan masalah kemasyarakatan dengan bijaksana dan berdasarkan atas prinsip hukum.
Mochtar mengimbau dengan sungguh-sungguh agar para yuris dan para ahli hukum di negeri-negeri yang sedang berkembang berkomitmen dalam setiap upaya untuk membikin hukum kian efektif, tak hanya dalam fungsinya untuk mempertahankan ketertiban akan tetapi juga untuk menggerakkan perubahan lewat cara-cara yang berketeraturan dan tertib. Dalam alam pikiran Mochar, hukum itu seyogyanya tak usah terlalu ambisius dan banyak pretensi. Dengan langkah-langkahnya yang lebih strategik, para ahli hukum tentulah dapat berperan secara lebih bermakna dalam setiap upaya mengembangkan dan membangun hukum nasional.
Perubahan untuk menyesuaikan kurikulum terus berproses dan terakhir telah disepakati para dekan Fakultas Hukum se Indonesia tentang muatan kurikulum inti dengan mengembalikan bobot SKS terhadap beberapa matakuliah yang dianggap memberikan dasar/asas pembentukan sarjah hukum serta penambahan mata kuliah yang kurang lebih 35% mengarah pembentukan profesional hukum seperti, adanya praktek peradilan perdata, pidana, TUN, dan Agama yang disajikan secara terpisah.
Walaupun demikian, perlu disadari bahwa untuk menggerakkan perubahan dalam sistem pendidikan hukum itu tidaklah pernah mudah. Selalin pengelolaan fakultas hukum di Indonesia pada umumnya konservatif, juga disebabkan karena fakultas telah lama kehilangan kesadarannya tentang apa sesungguhnya misi yang harus diemabannya, belum lagi terdapat sebagian anggap yang meletakan studi tentang hukum merupakan suatu proses studi yang elitis. Sementara masyarakat berharap agar pendidikan hukum di waktu yang akan datang harus mampu mengemban suatu misi baru yakni menghasilkan yuris-yuris dan ahli-ahli hukum yang tak hanya tahu akan kepentingan pemerintah dan kepentingan kaum bisnis, melainkan yang tahu pula bagaimana mengadvokasi sekian banyak kepentingan masyarakat terutama masyarakat miskin yang diposisikan sebagai masyarakat pinggiran dan selalu mendapatkan perlakukan tidak adil.
BAB II
KESIMPULAN
Melalui uraian perkembangan dan kebutuhan pendidikan hukum dalam masyarakat, maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:
Bahwa keberadaan manusia tidak akan terlepas dari hukum yang mejadi dasar pijakan dalam melaksanakan kehidupan. Untuk memberikan arah yang jelas bagi perkembangan hukum dalam masyarakat, maka pendidikan hukum menjadi penting untuk menjawab kebutuhan tersebut.
Pendidikan hukum harus menjawab berbagi kebuntuan praktek-praktek hukum yang telah kehilangan idealisme dan moral untuk menyatakan sesuatu yang benar, sekaligus tidak bisa terlena dengan fasilitas yang diberikan, dengan mengorbankan harapan masyarakat pada era revormasi, dimana kepentingan individu, kelompok dan golongan telah mengalahkan keadilan masyarakat. Kondisi ini harus secara cepat dan tepat untuk melakukan pembaharuan hukum untuk mengembalikan pada fungsi yang sebernanya. Salah satu yang dapat dilakukan dengan cara mendidik para ahli hukum yan bebas dari berbagai kepentingan sesaat, dan memberikan pemahaman yang jelas tentang kondisi saat ini yang penuh maniplasi, korupsi, kolusi dan nepotisme.
Arah pengembangan pendidikan hukum kedepan tidak hanya memproduksi sarjana hukum yang menguasai dokma dan asas-asas hukum, akan tetapi harus memberikan porsi yang seimbang terhadap muatan materi yang mengarahkan peserta didik untuk menjadi sarjana hukum profesional dibidangnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad. 1990. Mengembara Di Belantara Hukum, Lembaga Penerbitan UNHAS, Makasar.
Atmasasmita, Romli. 2001. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum. Mandar Maju. Bandung.
Bredemeire, Harry C. 1962. Law as an Integrative Mechanism, dalam Law and Sociology, Wiliam M. Evan (ed) The Free Press of Glencoe, New York.
Darmodiharjo, Darji. 2002. Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Bandung.
Friedmen, 1993. Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum. RajaGrafindo. Jakarta.
Harkristuti Harkrisnowo. 2003. Selintas Sejarah dan Prospek Pengembangan Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, dalam Jantera Edisi Khsus, 2003,
Kelsen, Hans. 1961. Pure Theory Of Law. Traslated by, Max Knight. Brekeley, Los Angles. Universitay of California Press London.
Rasjidi, Lili. 2003. Hukum Sebagai Suatu System, Mandar Maju. Bandung
Rahardjo, Satjipto. 1986. Ilmu Hukum. Alumni. Bandung.
Ricardo Simarmata, 2003. Pendidikan Hukum Kritis Asal Usul, Faham, Prinsip dan Metode, Sebuah Penjelasan Awal, dalam Jentera Edisi Khusus, 2003, p 29-30.
Soetanyo Wignjosoebroto, 2004. Perkembangan Hukum Nasioanl dan Pendidikan Hukum Di Indonesia Pada Era Pascakolonial, http://www.huma.or.id
Penulis : Maksum Asrori
thanks atas tulisan-tulisan anda,, sangat membantu
BalasHapus