SELAMAT DATANG SOBAT, JANGAN LUPA SIMPAN ALAMAT BLOG WWW.GRUPSYARIAH.BLOGSPOT.COM SUPAYA SOBAT MUDAH UNTUK BERKUNJUNG KEMBALI DISINI

Pemanggilan Dalam Hukum Acara Perdata

A.    Dasar Hukum Pemanggilan
  1. Dasar Hukum
-          Pasal 122 HIR / 146 R. Bg
-          Pasal 390 HIR / 718 R.Bg
-          Pasal 26-28 PP nomor 9 tahun 1975
-          Pasal 138-140 Kompilasi Hukum Islam

B.     Pengertian Relas
Tugas juru sita dalam hal melakukan pemanggilan, pemberitahuan dan sekalian tugas kejurusitaan yang lain, jugaa untuk melakukan perintah hakim serta putusan pengadilan, diwjudkan dalam bentuk ralas.
Pemanggilan dilaksanakan oleh panitra atau jurusita, dimana menurut pasal 40 ayat 1 UU nomor 1989 disebutkan jurusita diangkat dan diberhentikan oleh Mentri Agama atas usul ketua Pengadilan Agama.
Dalam hal jurusita tidak ada maka tugas pemanggilan dan pemberitahuan serta sekalian surat kejurusitaan yang lain dilaksanakan oleh jurusita yang menurut pasal 40 ayat 2 UU nomor 7 tahun 1989  jurusita pengganti diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Pengadilan Agama.
Relas dilihat dari bentuknya dikategorikan sebagai akta otentik, pasal 165 HIR / 285 R.Bg, juga pasal 1868 BW menyatakan bahwa:
Akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh dan dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta itu dibuatnya, sehingga karenanya apa yang tercantum didalam reas tersebut harus dianggap benar dapat dibuktikan sebaliknya.
Azaz yang harus diperhatikan dalam melakukan pemanggilan adalah:
1.      Harus Memenuhi Waktu Patut
Artinya pada saat etua menetapkan hari sidang hendaknya melihat dan mengingat akan jauh dekatnya temat para pihak berperkara, sehingga tenggang akan jauh dekatnya tempat para pihak  berperkara, sehingga tenggang waktu pemanggian yang dilkaukan oleh jurusita dengan hari sidang tidak kurang dari tiga hari dan didalamnya tidak termasuk hari besar (Pasal 122 HIR / 146 R.Bg, Pasal 26 ayat 4 PP Nomor 9 Tahun 1975, pasal 138 ayat 4 Kompilasi Hukum Islam).
2.      Harus Dilakukan Secara Resmi
Artinya sasaran atau subyek pemanggilan harus tepat dan tata cara pemanggilan sesuai ketentuan perundang-undangan.
C.    Tata Cara Pemanggilan
1.      Panggilan disampaikan langsung kepada pribadi ditemat orang dipanggil (pasal 390 HIR / pasal 718 R.Bg) :
-          Langsung kepada pribadi orang yang dipanggil
-          Langsung disampaikan ditempat kediaman orang yang dipanggil
2.      Dalam hal orang yang dipanggil tidak dijumpai ditempat kediamannya, maka panggilan boleh disampaikan melalui lurah atau kepala desa (pasal 390 HIR / pasal 718 R.Bg, pasal 26 ayat 3 PP nomor 9 tahun 1975, pasal 138 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam).
Dalam hal orang yang dipanggil, tempat kediamannya diketahui dengan jelas, hanya saja pribadi orang yang dipanggil tidak dapat dijumpai oleh jurusita pada saat dilakukan pemanggilan pada tempat kediamannya, sehingga boleh disampaikan melalui lurah / kepala desa, termasuk didalamnya apart desa lainnya, setidaknya RT.
3.      Dalam hal tempat kediaman orang yang dipangil tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, ataupun orang yang dipanggil tidak dikenal, maka dilakukan pemanggilan umum oleh dan melalui Bupati / wali kota dalam wilayah tempat kediaman penggugat atau pemohon.
Perlu menjadi perhatian para hakim, dalam hal perkara-perkara yang berkenaan dnegan perkawinan misalnya perkara perceraian, pemanggilan tersebut telah diatur seara khusus dalam pasal 27 PP nomor 9 tahun 1975 dan pasal 139 Kompilasi Hukum Islam, yang pada  intinya sebagai berikut:
a.       Menempatkan surat gugatan pada papan penumuman di pengadilan yang bersangkutan.
b.      Kemudian mengumumkan penempelan tersebut melalui suatu atau beberpa surat kabar atau media masa lain
c.       Pengumuman tersebut harus dilakukan sebanyak dua kali dengan tenggang waktu satu bulan antara panggilan terakhir dengan penetapan hari sidang sukurang-kurangnya tiga bulan.
d.      Bila tergugat tidak memenuhi panggilan gugatan dapat dikabulkan, kecuali apabila gugatan tanpa hak atau tanpa dasar hukum.
4.      Panggilan disampaikan melalui perwakilan republic Indonesia setempat apabila orang yang dipanggil bertempat kedudukan di luar negeri (vide pasal 28 PP nomor 9 tahun 1975, pasal 140 Komplasi Hukum Islam).
5.      Panggilan disampaikan kepada ahli waris apabila orang yang dipanggil meninggal dunia (pasal 390 ayat 2 HIR / 718 ayat 2 R.Bg) dalam relas panggilan ini tidak dapat dilakukan kepada yang dipanggil, oleh karena telah meninggal dunia, sehingga panggilan dilakukan kepada salah seorang ahli waris. degan relas sebagai tersebut, maka hakim atau majelis hakim, harus member penjelasan kepada penggugat atau termohon yang harus ditujukan keada almarhum. tetang mencari ahli waris dari tergugat atau termohon yang meninggal dunia itu, adalah merupakan kewajiban dari penggugat atau pemohon yang tentunya dapat dimintai penjelasan kepada Kepala Desa.
BERITA ACARA PERSIDANGAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA
  1. Pengertian Berita Acara Persidangan
Berita acara persidangan ialah suatu akta otentik yang dibuat dan ditandatangani oleh hakim atau ketua sidang  bersama dengan panitera sidang , yang memuat keterangan tentang segala susuatu yang terjadi dalam pemeriksaan perkara dipersindangan (pasal 186-187 HIR, pasal 97 UU nomor 7 tahun 1989).
Otentikasi berita acara persidangan meliputi seluruh isinya, semua penetapan yang ada, segala tanggal dan hari yang ada, semua peristiwa yang dicatat, serta segala perintah yang dicatat didalamnya.
Berita acara persidangan merupakan sumber atau landasan dalam membuat pertimbangan hukum dan penyusun putusan.
Pertimbangan dan putusan harus sejalan degnan berita acara persidangan, jika tidak konsisten maka dapat dijadkan alas an untuk membatalkan putusan pada pemeriksaan tingkat bading atau kasasi.
Berita acara persidanga dibuat dengan memuat hal-hal dan menurut kententuan-ketentuan sebagai berikut:
1.      Tempat dan waktu persidangan
-          Ditulis dalam BAP (tempat dan waktu sidang)
-          Tingkat pengadilan yang menyidangkan (pertama banding)
-          Pemeriksaan di tempat (diluar kantor pengadilan) ditulis lengkap dalam bpa di neraca persidangan dilakukan
2.      Posisi para pihak
-          Sebagai penggugat, tergugat, pemohon, termohon, pelawan, terlawan, turut tergugat dan sebagainya
-          Ditulis sidang lanjutan, cukup ditulis nama dan kedudukan para pihak.
3.    Susunan majlis
-          Ditulis lengkap dengan PP nya (nama hakim dan panitera serta kedudukannya dalam majlis)
-          Dalam sidang lanjutan, susunan majelis cukup ditulis sama dengan yang lalu, kecuali jika ada perubahan anggota atau panitera sidang.
4.      Kehadiran pihak-pihak
-          Ditulis hadir atau tidaknya masing-masing pihak
-          Hadir secara pribadi atau diwakili kuasanya atau didampingi kuasanya
-          Jika tidak hadir, apakah ada alas an, dan relas panggilan dibacakan dalam sidang, hal mana harus ditulis dalam BAP
5.      Sidang terbuka untuk umum
-          Ditulis dalam BAP sebagai syarat formal persidangan (pasal 59 UU-PA)
-          Jika tidak ditulis maka dapat dibatalkan demi hukum
-          musyawarah hakim bersifat rahasia dan dalam tertutup untuk umum

6.      Upaya perdamaian (pasal 130 HIR)
-          Harus ditulis uapaya perdamaian oleh hakim, terutama pada sidang pertama sebelum memula pemeriksaan
-          Dalam sidang perdamaian untuk cerai, harus hadir secara pribadi (pasal 82 UU-PA)
-          Apabila salah satu pihak di luar negeri, harus diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
-          Apabila kedua pihak diluar negeri, penggugat harus hadir sendiri dalam perdamaian itu
-          Selama belum diputus, usaha perdamaian dapat terus dilakukan
-          Dapat diminta bantuan keada orang / badan lain yang dianggap perlu
-          Dalam perkara voluntair tidak ada usaha damai.
7.      Pembacaan surat gugatan / permohonan dan pemeriksaan
-          Harus ditulis dalam BAP bahwa hakim / ketua membacakan surat gugat, boleh dibaca oleh penggugat / pemohon sendiri atau kuasanya (pasal 131 ayat 1 HIR)
-          Pemeriksaan dicatat dalam bentuk Tanya jawab, kecuali jika dilakukan secara tertulis maka hal itu dimasukkan dalam BAP
-          Tanya jawab tidak boleh bersifat indeksial dan harus jelas maknanya sehingga tidak perlu ditafsirkan lagi oleh hakim
-          Dicatat benar-benar sesuai dengan yang mereka ungkapkan, dan yang mereka maksudkan
-          Dicatat hal-hal yang penting yang relevan dengan perkara yang bersangkutan
-          Para pihak atau kuasanya berhak meminta untuk dicatat hal-hal yang mereka anggap penting
8.      Sidang tertutup untuk umum
-          Dalam perkara perceraian dan pembatalan perkawinan, sidang dilakukan tertutup untuk umum (pasal 68 ayat 2 UU Pengadilan Agama dan pasal 80 ayat 2 UU Pengadilan Umum)
-          Pernyataan sidang tertutup harus ditulis dalam BAP, kemudian pemeriksaan dimulai dengan upaya perdamaian
-          Jika tidak berhasil, pemeriksaan dilanjutkan dengan pembacaan gugatan / permohonan.
9.      Penundaan sidang (pasal 126, pasal 156 HIR)
-          Penundaan sidang diucapkan dalam idang terbuka untuk umum
-          Jika semula sidang tertutup, maka sidang harus lebih dahulu dinyatakan terbuka untuk umum, baru kemudian ketua mengumumkan penundaan sidang
-          Penundaan sidang harus jelas untuk apa / apa alasannya, kapan sidang dilanjutkan disertai perintah  kepada para pihak untuk hadir dalam sidang yang akan datang
-          Sebaiknya jangan menunda membaca putusan, tetapi untuk mempelajari berkas perkara dan segala sesuatu akan ditetapkan kemudian, atau untuk mesyawarah majelis.
-          Jika belum dapat ditetapkan sidang seanjutnya, maka sidang ditunda untuk waktu yang akan ditetapkan kemudian
10.  Pemeriksaan / tanggapan pihak-pihak
-          Menggambarkan dengan jelas tahap-tahap pemeriksaan dalam sidang
  1. Pembacaan surat gugatan
  2. Jawaban tergugat
  3. Replik
  4. Duplik
  5. Pembuktian penggugat dan tergugat
  6. Kesimpulan dari para pihak
  7. Putusan hakim (pembacaan putusan)
11.  Pemeriksaan surat-surat bukti dilakukan menurut pasal 137-138 HIR
-          Surat bukti harus nazaglen oleh pejabat pos (UU no 13 tahun 1985)
-          Dilegalisir oleh panitera (yakni yang berupa salinan / foto kopi)
-          Dbacakan isinya dalam sidang dan dicocokkan dengan aslinya
-          Diberi kode dan nomr bukti oleh ketua sidang.
-          Pihak lawan berhak menilai / member tanggapan terhadap alat bukti tersebut
-          Ada tidaknya tanggapan ditulis dalam BAP
-          Penilaian bukti surat dilakukan oleh hakim menurut pasal 165-167 HIR


12.  Pemeriksaan bukti saksi dan sumpah
-          Saksi dipanggil masuk satu persatu (demikian pula bagi saksi ahli)
-          Ditulis lengkap identitas aksi
-          Dicatat ada tidaknya hubungan keluarga atau perkawinan atau hubungan kerja dengan para pihak
-          Dicatat apakan saksi disumpah atau tidak, jika disumpah ditulis bunyi sumpahnya menurut tata cara agamanya
-          Dicatat segala keterangan para pihak terhadap keterangan saksi
-          Bukti sumpah (supletoir, decisior atau li'an) ditulis lengkap, siapa yang memerintahkan / meminta serta bunyi sumpahnya.
13.  Musyawarah dan pembacaan putusan hakim.
-          Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 60 UU-PA)
-          Adanya musyawarah hakim ditulis dalam BAP
-          Karena musyawarah hakim bersifat rahasia, maka pendapat masing-masing hakim tidak boleh ditulis dalam BAP (pasal 161 HIR)
-          Apabila ada hakim yang berpendapat ain dan tidak setuju dengan isi putusan maka hal ini dcatat dalam buku khusus yang dipegang oleh ketua pengadilan untuk keperluan eksaminasi
-          Jika semula sidang tertutup, maka harus dinyatakan terbuka untuk umum kemudian baru ketua mengucapkan putusan.
14.  Amar putusan dalam BAP
-          Ditulis lengkap sama dengan amar dalam putusan yang telah dibuat oleh hakim.
15.  Konsistensi ruang lingkup
-          BAP ditulis dalam bentuk Tanya jawab
-          Konsisten dengan ruang lingkup perkara
16.  Kerapian BAP
-          Diketik dengan jelas, rapid an dalam bentuk Tanya jawab
-          Bagian kiri pertanyaan dan bagian kanan jawabannya
-          Dibuat kelompok-kelompok (misalnya gugatan, jawaban, replik, duplik, bukti-bukti penggugat, tanggapan tergugat, juga diberi penegasan suatu pertanyaan ditujukan kepada pengguagat, kepada tergugat, kepada saksi penggugat……, kepada saksi tergugat…… dan sebagainya)
-          Kesalahan ketik dalam BAP harus dibenarkan dengan cara renvoi
-          Diberi nomor halaman secara urut pada setiap persidangan
-          Apabila sedang dilakukan secara tertulis, maka
  1. Panitera dapat menyalin seluruh materi dari jawabannya, replik dan duplik kedalam BAP atau
  2. Mamasukkan surat jawabaan, replik dan diplik itu kedalam BAP pada surat dan akhir surat yang bukan merupakan pokok jawabab replik dan duplik.
17.  Penandatanganan BAP (minutering)
-          Oleh ketua dan panitera pengganti sidang (pasal 23 ayat 3 UU no 14 tahun 1970, pasal 186 ayat HIR)
-          BAP dibuat oleh panitera (pasal 97 UU nomor 7 tahun 1989 pasal 186 HIR)
-          Ketua sidang bertanggungjawab atas kebenaran BAP.
-          jika ketua berhalangan menandatangani BAP maka dilakukan oleh anggota yang turut dalam pemeriksaan itu yang tingkat jabatannya langsung dibawah ketua (pasal 187 ayat 2 HIR)
-          BAP harus telah ditandatangani sebelum sidang berikutnya, atau satu minggu setelah sidang.
18.  BAP Ikrar Talak (pasal 71 ayat 1 UU- PA)
-          dibuat sama dengan BAP biasa
-          ditulis hadir tidaknya para perkara
-          jika tidak hadir dicaat pembacaan relas oleh ketua
-          dicatat keadaan istri saat diucapkan ikrar talak (haid, suci, hamil, menopause, qabladduhul, belum pernah haid dan lain-lain)
-          ditulis redaksi ikrar talak
-          ditulis amar penetapan hakim (pasal 71 ayat 2 UU-PA)
-          sedang penyaksian ikrar talak terbuka untuk umum.


TENTANG PUTUSAN
  1. Pengertian Putusan
Putusan hakim adalah pernyataan atau kesimpulan yang dibuat oleh hakim atas suatu perkara sengketa yang diadilinya, diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum, dengan tujuan mengakhiri perkara atau sengkea antara pihak-pihak berperkara
  1. Bentuk dan Isi Putusan
Undang-undang sendiri tidak menentukan bagaimana bentuk suatu putusan, undang-undang hanya mengatur mengenai isi dan syarat-syarat yang harus dimuat dalam suatu putusan. dalam pasal 184 HIR dan pasal 23 UU nomor 14 tahun 1970 ditentukan bahwa suatu putusan itu, juga harus memuat alas an-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. syarat-syarat lainya dibuat pula dalam pasal 183-187 HIR dan pasal-pasal UU nomor 14 tahun 1970.
  1. Unsur-Unsur Putusan
Meliputi enam bagian yang pokok yaitu:
  1. Kepala putusan
  2. Identitas dari para pihak
  3. Duduknya perkara
  4. Petimbangan hukum
  5. Amar putusan
  6. Penutup putusan
Setiap putusan hakim haruslah mencantumkan pada bagian kepala putusan yang berbunyi: " Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" (pasal 4 UU 14 tahun 1970 / pasal 57 ayat 1 UU nomor 7 tahun 1989)
Dalam putusan pengadilan agama ditambahkan lagi kalimat pada bagian kepala putusan yang berbunyi " Bismillahirrahmanirrahim" pencantuman kalimat tersebut dikukuhkan dalam UU no 7 th 1989 peradilan agama (pasal 57 ayat 2)

0 komentar:

Posting Komentar

NB: Berikan Komentar yang sopan dan berkenaan dengan Artikel diatas.

Saya mohon maaf jika komentar sahabat dan rekan blogger terlambat di respon Karena banyaknya kegiatan yang mengikat he he he, Silahkan copas asalkan cantumkan juga sumbernya yah...!

Copyright: © 2012- By : Grup Syariah Metro™ Kumpulan Makalah Pendidikan Dan Tempat Berbagi Ilmu Pengetahuan
Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute