SELAMAT DATANG SOBAT, JANGAN LUPA SIMPAN ALAMAT BLOG WWW.GRUPSYARIAH.BLOGSPOT.COM SUPAYA SOBAT MUDAH UNTUK BERKUNJUNG KEMBALI DISINI

Aliran Filsafat Pendidikan Perannialisme Dan Esensialisme


Aliran Filsafat Pendidikan Perannialisme Dan Esensialisme | Grupsyariah (GS)
BAB I
PENDAHULUAN
Proses pertumbuhan filasat sebagai hasil pemikiran para filosof dalam rentang waktu yang dilaluinya telah melahirkan berbagai macam pandangan. Pandangan para filosof tersebut ada kalanya bersifat saling mendukung,
tetapi jarang pula yang bertentangan. Hal ini dapat dimaklumi karena hasil pemikiran seorang filosof bukan merupakan komponen yang dapat berdiri sendiri, akan tetapi senantiasa dipengaruhi oleh pemikiran filosof tersebut dimunculkan (Ahmad Syadali dan Mudzakir, 1997: 10).
Pengaruh dari pandangan yang berbeda-beda tersebut melahirkan berbagai aliran pemikiran seperti Idealisme, Realisme, Pragmatisme, Eksistensialisme, Perennialisme, Essensialisme, Progresivisme, dan Reconstructionisme. (Ramayulis dan Nizar, 2009: 15).
BAB II
PEMBAHASAN
ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN PERANNIALISME DAN ESENSIALISME
A.  Perennialisme
1.   Pengertian Perennialisme
Perennialisme berasal dari kata “Perennial” diartikan sebagai Continuing throught the whole year, atau lasting for a very long time abadi atau kekal dan juga berarti pula tiada akhir. Dengan demikian essensi kepercayaan filsafat perennialisme ialah berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang bersifat abadi. Perennialisme, sesuai dengan namanya yang berarti segala sesuatu yang ada sepanjang sejarah ini akan dianggap suatu aliran yang ingin kembali kepada nilai-nilai masa lalu dengan maksud yang mengembalikan keyakinan akan nilai-nilai asasi manusia masa silam untuk menghadapi problematika kehidupan manusia masa sekarang dan bahkan sampai kapanpun dan dimanapun (Ramayulis dan Nizar, 2009:22).

2.   Latar Belakang
Di zaman modern ini, banyak bermunculan krisis di berbagai bidang kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan keadaan krisis ini, perennialisme memberikan jalan keluar yaitu dengan mengembalikan pada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya. Untuk itu, pendidikan harus lebih banyak mengarahkan perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh (Jalaluddin dan Id, 2007:110).
Perennialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perennialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktik bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang (Noor Syam, 1986: 296). Dari pendapat ini, diketahui bahwa perennialisme merupakan hasil pemikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap tegas dan lurus. Karena itulah, perennialisme berpendapat  bahwa mencari  dan menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat, khususnya filsafat pendidikan.
Pendiri utama dari aliran filsafat ini adalah Aristoteles, kemudian didukung dan dilanjutkan oleh St. Thomas Aquinas yang menjadi pembaru utama di abad ke 13 (Ali, 1993: 154). Aristoteles dan Thomas Aquinas meletakan dasar bagi filsafat ini, hingga pada pokoknya ajaran filsafat ini tidak berubah  semenjak abad pertengahan.
Perennialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan Aksiomatis Zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman sekarang. Ini bukanlah berarti nostalgia, melainkan karena kepercayaan-kepercayaan masa lalu  itu berguna bagi abad sekarang. Oleh karena itu, asas-asas filsafat perennialisme bersumber pada dua filsafat kebudayaan, yaitu perennialisme theologies yang ada di bawah supremasi gereja Katholik, khususnya menurut ajaran dan interpretasi Thomas Aquinas dan perennialisme-sekular yang berpegang pad aide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles (Jalaluddin dan Id, 2007:111).
Aristoteles memang telah mengembangkan filsafat perennialisme dengan menelusuri sejauh mana seseorang dapat menelusuri jalan pikiran manusia itu sendiri. Sementara St. Thomas Aquinas justru telah mengadakan beberapa perubahan sesuai dengan tuntunan agama Kristen saat agama itu datang, hingga lahirlah apa yang dikenal dengan nama Neo-Thomisme. Pandangan-pandangan Thomas Aquinas tersebut berpengaruh besar dalam lingkungan gereja Katholik. Demikian pula pandangan-pandangan aksiomatis lain sebagaimana yang di utarakan oleh Plato dan Aristoteles, semuanya mendasari konsep filsafat pendidikan perennialisme (Ali, 1993: 154).
Neo-Thomisme ini berusaha untuk menyesuaikan  ajaran-ajaran Thomas Aquinas dengan tuntutan abad ke-20. Misalnya mengenai perkembangan ilmu pengetahuan cukup dimengerti dan disadari adanya. Semua yang bersendikan empiric dan eksperimentasi hanya dipandang sebagai pengetahuan yang fenomenal, sedangkan metafisika mempunyai kedudukan yang lebih penting mengenai manusia, hakikat pengertiannya lebih di tekankan pada sifat spiritualnya. Symbol dari sifat ini terletak pada peran akal yang karenanya manusia dapat mengerti dan memahami kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun yang  bersendikan religi (Barnadib, 1990: 64-65). Dengan demikian, aliran perennialisme dipakai untuk program pendidikan yang didasarkan atas pokok-pokok aliran Aristoteles dan St. Thomas Aqunas.

3.   Tokoh Filsafat Penggagas Perennialisme
a.   Aristoteles (384-322-5122)
Aristoteles lahir di Stageira pada Semenanjung Kalkidike di Trasia (Balkan) pada tahun 384 SM dan meninggal di Kalkis pada tahun 322 SM dalam usia 63 tahun. Ayahnya yang bernama Mashon adalah seorang dokter istana pada Raja Macedonia Amyntas II. Dari kecil, Aristoteles mendapat asuhan dari ayahnya sendiri, ia mendapat pelajaran dalam hal  teknik membedah. Oleh karena itu,  perhatianya banyak bertumpah pada ilmu-ilmu alam, terutama ilmu biologi. Sampai berumur 18 tahun, pendidikannya diperoleh dari ayahnya. Ketika ayahnya meninggal ia pergi ke Athena dan belajar pada Plato di Akademika. Dua puluh tahun lamanya Aristoteles menjadi murid Plato dan bergaul dengan dia. Ia rajin membaca dan mengumpulkan buku-buku kecil. Dirumahnya disusunya suatu bibliotik. Sebagai bibliotik yang pertama yang terdapat di Athena. Aristoteles  sangat gandrung kepada Plato, sehingga ia mendirikan perpustakaan filsafat sendiri untuk menghormati gurunya. Oleh karena itu, rumah filosofi ini diberi nama “Rumah Pembaca” (Mohammad Hatta, 1986: 15).
Ia menjadi dikenal lebih luas karena pernah menjadi tutor (guru) Alexander, seorang diplomat ulung dan jenderal terkenal. Di Athena, ia mendirikan sekolah yang bernama Lyceum. Sekolah itu banyak menghasilkan penelitian yang tidak hanya dapat menjelaskan prinsip-prinsip sains, tetapi juga politik, retorika, etika,  dan metafisika. Namun, lama-kelamaan posisi Aristoteles di Athena tidak aman, karena ia orang asing. Lebih dari itu, ia diisukan sebagai penyebar pengaruh yang bersifat subversive dan dituduh Atheis. Kemudian, akhirnya ia meninggal di Athena dan pindah ke Chalcis dan meninggal disana pada tahun 322 M. karya luar biasa Aristoteles adalah filsafat etika, Negara, logika, metafisika, dan lain-lainnya. Aristoteles mengembangkan ajaran filsafat tentang etika. Etik  Aristoteles pada dasarnya serupa dengan etik Socrates dan Plato. Tujuannya mencapai Eudaemonic, kebahagiaan sebagai “Barang yang tertinggi” dalam kehidupan. Akna tetapi, ia memahaminya secara realistic dan sederhana. Ia tidak bertanya tentang  budi dan berlakunya, seperti yang dikemukakan oleh Socrates. Ia tidak pula menuju pengetahuan tentang idea yang kekal dan tidak berubah-ubah, tentang idea kebaikan, seperti yang ditegaskan oleh Plato. Ia menuju pada kebaikan yang tercapai oleh manusia sesuai dengan gendernya, derajatnya, kedudukannya, atau pekerjaannya. Tujuan hidup katanya, tidaklah mencapai kebaikan, untuk kebaikan, melainkan merusak kebahagiaan. Untuk seorang dokter, kesehatanlah yang baik, bagi seorang pejuang, kemenanganlah yang baik, dan bagi seorang pengusaha, kemakmuranlah yang baik. Yang menjadi ukuran adalah gunanya yagn praktis. Tujuan kita bukan mengetahui, melainkan berbuat, bukan untuk mengetahui apa budi itu, melainkan supaya kita menjadi orang yang berbudi (Mohammad Hatta, 1986: 133).
Kemudian menurut Aristoteles implementasi Perennialisme dalam pendidikan ditujukan kepada “Kebahagiaan” melalui pengembangan kemampuan-kemampuan kerohanian seperti emosi, kognisi serta jasmaniah manusia (Zuhairini, 2008: 25).

b.   Plato (427-347)
Plato dilahirkan di Athena pada tahun 427 SM dan meninggal disana pada tahun 347 dalam usia 80 tahun. Ia berasal dari keluarga Aristokrasi yang turun-temurun  memegang peranan penting dalam politik Athena. Sejak muda, ia bercita-cita ingin menjadi pejabat Negara.  Akan tetapi, perkembangan politik pada masanya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk mengikuti jalan hidup yang diinginkannya itu. Nama asalnya adalah Aristokles, guru senamnya memberi nama Plato. Ia memperoleh nama baru itu karena bahunya yang lebar. Sepadan dengan badanya yang tinggi dan tegap. Sejak umur 20 tahun, Plato mengikuti pelajaran Socrates. Pelajaran itulah yang memberi kepuasan baginya. Pengaruh Socrates semakin hari semakin mendalam ia menjadi murid pujaanya. Tak lama sesudah Socrates meninggal, Plato pergi dari Athena. Itulah permulaan ia mengembara dua belas tahun lamanya,  Plato pergi dari Athena. Itulah permulaan ia mengembara dua belas tahun lamanya, dari tahun 399 SM-387 SM. Mula-mula, ia pergi ke Megara, tempat Eliklides mengajarkan filsafatnya. Beberapa lama ia disana, tidak diketahui dengan pasti. Ada cerita yang mengatakan bahwa ia disitu mengarang beberapa dialog mengenai berbagai macam pengertian dalam masalah hidup, berdasarkan ajaran Socrates (Atang dan Beni, 2008: 190-191).
Implementasi perennialisme dalam pendidikan menurut Plato ilmu pengetahuan dan nilai sebagai manisfestasi dan hukum universal yang abadi dan ideal sehingga ketertiban sosial hanya akan mungkin dicapai bila ide itu menjadi tolak ukur yang memiliki asas normative dalam semua aspek kehidupan. Menurut psikologi manusia secara kodrati memiliki tiga potensi, yaitu: nafsu, kemauan dan akal. Ketiga potensi ini merupakan asas bagi bangunan kepribadian dan watak manusia. Ketiga potensi itu akan tumbuh dan berkembang melalui pendidikan, sehingga ketiganya berjalan secara seimbang dan harmonis. Pendidikan dalam hal ini hendaklah berorientasi pada potensi psikologis masyarakat, sehingga dapat mewujudkan pemenuhan kelas-kelas sosial dalam Masyarakat tersebut (Zuhairini, 2008:25).

4.   Karakteristik Pendidikan dalam Aliran Perennialisme Ditinjau Dari Segi Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
a.   Pandangan Ontologi Perennialisme
Ontologi perennialisme terdiri dari pengertian-pengertian seperti benda individual, esensi aksiden dan substansi. Secara ontologism, perennialisme membedakan suatu realita dalam aspek-aspek perwujudannya. Benda individual disini adalah benda sebagaimana yang tampak dihadapan manusia dan yang ditangkap dengan panca indera seperti batu, lembu, rumput, orang dan bentuk, ukuran, warna dan aktivitas tertentu. Esensi dari suatu kualitas menjadikan benda itu lebih intrinsik dari pada fisiknya, seperti manusia yang ditinjau dari esensinya adalah makhluk berfikir. Sedangkan aksiden adalah keadaan-keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan sifatnya kurang penting dibandingkan dengan yang esensial.  Misalnya, orang suka bermain sepatu roda, atau suka berpakaian bagus. Sedangkan substansi adalah kesatuan dari tiap-tiap individu misalnya particular dan universal, material dan spiritual (Jalaluddin dan Id, 64-65).
Dengan demikian, segala yang ada dialam semesta ini, seperti manusia, batu bangunan dasar, hewan dan tumbuh-tumbuhan, merupakan hal yang logis dalam karakternya. Setiap sesuatu yang ada tidak hanya merupakan kombinasi antara zat atau benda, tapi juga merupakan unsure potensialitas dengan bentuk yang merupakan  unsure aktualitas, sebagaimana yang di utarakan oleh Aristoteles. Tak hanya itu, ia juga merupakan sesuatu yang datang bersama-sama dari “apa” yang terkandung dalam inti (Essense) dan potensialitas dengan tindakan untuk “berada” yang merupakan unsure aktualitas, sebagaimana yang diungkapkan oleh St. Thomas Aquinas (Ali, 1993: 155).

b.   Pandangan Epistemologi Perennialisme
Perennialisme berpendapat bahwa segaal sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan  kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukan kesesuaian antara pikiran dengan benda-benda. Benda-benda disini adalah hal-hal yang keberadaanya bersendikan prinsip-prinsip keabadian. Ini berarti, bahwa perhatian mengenai kebenaran adalah perhatian mengenai esensi dari sesuatu. Kepercayaan terhadap kebenaran itu akan terlindung apabila segala sesuatu dapat di ketahui dan nyata. Jelaslah bahwa pengetahuan itu merupakan hal yang sangat penting karena ia merupakan pengolahan akal pikiran yang konsekuen (Jalaluddin dan Idi, 2007: 113).
Menurut Perennialisme, filsafat yang tertinggi adalah ilmu metafisika. Sebab sains sebagai ilmu pengetahuan menggunakan metode induktif yang bersifat analisis empiris yang kebenaranya terbatas, relative atau kebenaran Probability. Tetapi, filsafat dengan metode deduktif bersifat analogical analysis, kebenaran yang dihasilkannya bersifat self evidence universal, hakiki dan berjalan dengan hukum-hukum berpikir sendiri yang berpangkal pada hukum pertama, bahwa kesimpulannya adalah bersifat mutlak asasi (Noor Syam, 1986: 315).

c.   Pandangan Aksiologi Perennialisme
Perennialisme memandang masalah ini berdasarkan asas-asas  supernatural, yakni menerima universal yang abadi. Dengan asas seperti itu, ontology dan epistemology tidak hanya didasarkan pada prinsip teologi dan supernatural, tetapi juga aksiologi. Khusus dalam tingkah laku manusia, manusia sebagai subjek telah memiliki potensi-potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, di samping itu, kecenderungan-kecenderungan dan dorongan-dorongan kea rah yang tidak baik (Noor Syam, 1986: 36).
Masalah ini merupakan hal yang utama dalam perennialisme, karena ia berdasarkan pada asas-asas supernatural yaitu menerima universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia itu yang pertama-tama adalah pada jiwanya. Oleh karena itu, hakikat manusia itu yang pertama-tama adalah pada jiwanya. Oleh karena itu, hakikat manusia itu juga  menentukan hakikat perbuatan-perbuatannya, dan persoalan nilai adalah persoalan spiritual. Dalam aksiologi, prinsip pikiran demikian bertahan dan tetap berlaku, secara etika, tindakan itulah yang bersesuaian dengan sifat rasional manusia, karena itu secara alamiah condong pada kebaikan. (Barnadib, 1990: 65).
Jadi, manusia sebagai subjek dalam bertingkah laku telah memiliki potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, disamping kecenderungan yang baik adalah yang bersesuaian dengan sifat rasional manusia. Kodrat wujud manusia yang pertama-tama tercermin dari jiwa dan pikiran yang disebut dengan kekuatan potensial yang membimbing tindakan manusia menuju pada Tuhan atau menjauhi Tuhan, dengan kata lain melakukan kebaikan atau kejahatan. Sedangkan,  kebaikan tertinggi adalah mendekatkan diri pada Tuhan sesudah berpikir rasional (Jalaluddin dan Idi, 2007: 117).

d.   Penerapannya di Bidang Pendidikan
Anak didik yang di harapkan menurut perennialisme adalah mampu mengenal dan mengembangkan  karya-karya menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah pikiran besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol seperti bahasa, sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam, dan lain-lainnya, yang telah banyak memberikan sumbangan kepada perkembangan zaman dulu.
Dengan mengetahui beberapa pemikiran para ahli diatas, maka anak didik akan mempunyai dua keuntungan. Pertama, anak-anak akan mengetahui apa yang terjadi pada masa lampau yang telah dipikirkan oleh orang-orang besar. Kedua,  mereka memikirkan peristiwa-peristiwa penting dan karya-karya tokoh tersebut untuk diri sendiri dan sebagai bahan pertimbangannya zaman sekarang.
Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik kearah kematangan. Matang dalam arti hidup akalnya. Jadi, akal inilah yang perlu mendapat tuntutan kearah kematangan tersebut. Sekolah rendah memberiakn pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis, dan berhitung, anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Sekolah sebagai tempat utama dalam pendidikan, mempersiapkan anak didik ke arah kematangan akal dengan memberikan  pengetahuan. Sedangkan tugas utama guru adalah memberikah pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Dengan kata lain, keberhasilan anak dalam bidang akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajar (Barnadib, 1990: 64-65).
Terkait dengan hakikat pendidikan tinggi, Robert Hutchkins  mengutarakan lebih lanjut bahwa kalau pada abad pertengahan pendidikan  tinggi bersendikan  filsafat teologis, sedangkan sekarang bersendikan filsafat metafisika. Filsafat ini pada dasarnya adalah cinta intelektual dari Tuhan. Disamping itu, karena kedudukan sendi-sendi  tersebut sangat penting, maka perguruan tinggi tidak seyogyanya bersifat utilitis (Jalaluddin dan Idi, 2007: 114-116).
Dalam bidang pendidikan perennialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokoh, seperti Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Menurut Plato, manusia secara kodrat memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan dan pikiran, pendidikan  hendaknya berorientasi pada potensi itu dalam kepada  masyarakat, agar supaya kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi (Jalaluddin dan Id, 2007:117). Dengan demikian, jelaslah bahwa perennialisme itu menghendaki agar pendidikan disesuaikan dengan keadaan manusia yang mempunyai nafsu, kemauan dan pikiran sebagaimana yang dimiliki secara kodrat. Dengan memperhatikan hal ini, maka pendidikan yang berorientasi pada potensi dan masyarakat akan dapat terpenuhi.
Ide-ide Plato ini kemudian dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekatkan kepada dunia kenyataan, bagi Aristoteles tujuan pendidikan  adalah “kebahagiaan”. Untuk mencapai pendidikan itu maka aspek jasmani, emosi dan intelek harus dikembangkan secara seimbang. Sejalan dengan uraian diatas, Zuhairini Arikunto juga berpendapat dalam bukunya filsafat pendidikan islam, mengatakan tujuan pendidikan yang dikehendaki oleh Thomas Aquinas ialah segala usaha mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas, aktif dan nyata, dalam hal ini peranan guru adalah mengajar dan memberikan bantuan pada anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada padanya (Zuhairini, 1992: 27).
Menurut Robert Hutchkins bahwa manusia adalah animal rasionale maka tujuan pendidikan adalah mengembangkan akal budi supaya  anak didik dapat hidup penuh kebijaksanaan demi kebaikan hidup itu sendiri. Oleh karenanya tujuan  pendidikan disekolah perlu sejalan dengan pandangan dasar diatas, mempertinggi kemampuan anak untuk memiliki akal sehat (Jalaluddin dan Idi, 2007: 118).
Kesimpulannya bahwa tujuan dari pendidikan yang hendak dicapai oleh para ahli tersebut diatas adalah untuk mewujudkan agar anak didik dapat hidup bahagia demi kebaikan hidupnya sendiri. Jadi, dengan akalnya dikembangkan maka dapat mempertinggi  kemampuan akal pikirannya.  Dari prinsip-prinsip pendidikan perennialisme tersebut maka perkembangannya telah mempengaruhi system pendidikan modern, seperti pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah dan perguruan tinggi  (Jalaluddin dan Idi, 2007: 118).

B.  Esensialisme
1)  Pengertian Esensialisme
Esensialisme merupakan aliran pendidikan  yang didasarkan  kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan cirri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaanya yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, dimana serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan  kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas (Zuhairini, 1991: 21).

2)  Latar Belakang
Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing. Dengan demikian Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir yang disebut esensialisme, karena itu timbul pada zaman itu, esensialisme adalah konsep meletakkan sebagian ciri alam pikir modern. Esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman. Realisme modern, yang menjadi salah satu eksponen essensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik, sedangkan idealisme modern sebagai eksponen yang lain, pandangan-pandangannya bersifat spiritual. John Butler mengutarakan ciri dari keduanya yaitu, alam adalah yang pertama-tama memiliki kenyataan pada diri sendiri, dan dijadikan pangkal berfilsafat. Kualitas-kualitas dari pengalaman terletak pada dunia fisik (Jalaluddin dan  Idi, 2007:100).
Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Dibalik dunia fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Menurut pandangan ini bahwa idealisme modern merupakan suatu ide-ide atau gagasan-gagasan manusia sebagai makhluk yang berpikir, dan semua ide yang dihasilkan diuji dengan sumber yang ada pada Tuhan yang menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi dan dilangit, serta segala isinya. Dengan menguji dan menyelidiki semua ide serta gagasannya maka manusia akan mencapai suatu kebenaran yang berdasarkan kepada sumber yang ada pada Allah SWT (Barnadib, 1987: 40).
3)  Tokoh-Tokoh Esensialisme
a.   John Locke (1632-1704 M)
Ia adalah Filosof Inggris  yang banyak mempelajari agama Kristen. Filsafat Locke dapat dikatakan anti metafisika. Ia menerima keragaman sementara yang diajarkan oleh Descartes, tetapi ia menolak instuisi yang digunakan oleh Descartes. Ia juga menolak metode deduktif Descartes dan menggantinya dengan generalisasi berdasarkan pengalaman atau disebut dengan induksi bahkan Locke menolak juga  akal (reason). Ia hanya menerima pemikiran matematis yang pasti dan cara penarikan dengan induksi (Ahmad Syadali dan Mudzakir, 2004: 117).
Ia juga berpendapat dalam aliran esensialisme bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan situasi situasi dan kondisi. Selain itu ia juga mempunyai sekolah kerja untuk anak-anak miskin (Zuhairini, 2008: 26).
4)  Karakteristik Pendidikan Dalam Aliran Esensialisme ditinjau dari Segi Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi
a.   Pandangan Secara Ontologi Esensialisme
Sifat yang menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu konsep bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur isinya dengan tiada ada pula. Pendapat ini berarti bahwa bagaimana bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tata alam yang ada. Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi esenisalisme semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan keagungan. Maka dalam sejarah perkembangannya, kurikulum esensialisme menerapkan berbagai pola idealisme, realism.  Adapun aliran mengenai realism dan idealism adalah:
1)   Realisme yang mendukung esensialisme yang disebut realisme obyektif karena mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam serta tcmpat manusia di dalamnya. Ilmu pengetahuan yang mempengaruhi aliran realisme dapat dilihat dari fisika dan ilmu-ilmu lain yang sejenis dapat dipelajari bahwa tiap aspek dari alam fisika dapat dipahami berdasarkan adanya tata yang jalan khusus. Dengan demikian berarti bahwa suatu kejadian yang paling sederhana pun dapat ditafsirkan menurut hukum alam di antaranya daya tarik bumi. Sedangkan oleh ilmu-ilmu lain dikembangkanlah teori mekanisme, dan dunia itu ada dan terbangun atas dasar sebab akibat, tarikan dan tekanan mesin yang sangat besar.
2)   ldealisme obyektif mempunyai pandangan kosmis yang lebih optimis dibandingkan dengan realisme obyektif. Maksudnya adalah bahwa pandangan-pandangannya bersifat menyeluruh yang boleh dikatakan meliputi segala sesuatu. Dengan landasan pikiran bahwa totalitas dalam alam semesta ini pada hakikatnya adalah jiwa atau spirit, idealisme menetapkan suatu pendirian bahwa segala sesuatu yang ada ini adalah nyata. Hegel mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan contoh mengenai sintesa ini adalah pada teori sejarah.
Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum yang sejenis. Hegel mengemukakan pula bahwa sejarah adalah manifestasi dari berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir dan mengadakan ekspresi mengenai pengaturan yang dinamis mengenai dunia dan semuanya nyata dalam arti spiritual. Oleh karena Tuhan adalah sumber dari gerak, maka ekspresi berpikir juga merupakan gerak.
Ciri lain mengenai penafsiran idealisme tentang sistem dunia tersimpul dalam pengertian-pengertian Makrokosmos dan mikrokosmos. Mikrokosmos menunjuk kepada keseluruhan alam semesta dalam arti susunan dan kesatuan kosmis. Mikrokosmos menunjuk kepada fakta tunggal pada tingkat manusia. Manusia sebagai individu, jasmani dan rohani, adalah makhluk yang semua tata serta kesatuannya merupakan bagian yang tiada terpisahkan dari alam semesta. Pengertian mengenai makrokosmos dan mikrokosmos merupakan dasar pengertian mengenai hubungan antara Tuhan dan manusia (Jalaluddin dan Idi, 2007: 102).
b.   Pandangan Secara Epistemologi Esensialisme
Teori kepribadian manusia sebagai refleksi Tuhan adalah jalan untuk mengerti epistemologi esensialisme. Sebab jika manusia mampu menyadari realita scbagai mikrokosmos dan makrokosmos, maka manusia pasti mengetahui dalam tingkat atau kualitas apa rasionya mampu memikirkan kesemestiannya. Berdasarkan kualitas inilah dia memperoduksi secara tepat pengetahuannya dalam benda-benda, ilmu alam, biologi, sosial, dan agama (Jalaluddin dan Idi, 2007: 103).

1)   Pandangan Kontroversi Jasmaniah dan Rohaniah Perbedaan idealisme dan realisme adalah karena yang pertama menganggap bahwa rohani adalah kunci kesadaran tentang realita. Manusia mengetahui sesuatu hanya di dalam dan melalui ide, rohaniah. Sebaliknya realist berpendapat bahwa kita hanya mengctahui sesuatu realita di dalam melalui jasmani. Bagi sebagian penganut Realisme, pikiran itu adalah jasmaniah sifatnya yang tunduk kepada hukum-hukum fisik. Konsekuensinya kedua unsur rohani dan jasmani adalah realita kepribadian manusia. Untuk mengerti manusia, baik filosofis maupun ilmiah haruslah melalui hal tersebut dan pendekatan rangkap yang sesuai dalam pelaksanaan pendidikan.
2)   Pendekatan (Approach) ldealisme pada Pengetahuan
a.   Kita hanya mengerti rohani kita sendiri, tetapi pengertian ini memberi kesadaran untuk mengerti realita yang lain. Sebab kesadaran kita, rasio manusia adalah bagian dari pada rasio Tuhan yang Maha Sempurna.
b.   Menurut T.H Green, pendekatan personalisme itu hanya melalui introspeksi. Padahal manusia tidak mungkin mengetahui sesuatu hanya dengan kesadaran jiwa tanpa adanya pengamatan. Karena itu setiap pengalaman mental pasti melalui refleksi antara macam-macam pengamalan.
c.   Dalam filsafat religious yang modern, ada teori yang mengatakan bahwa sesuatu yang dimengerti adalah karena resonansi pengertian Tuhan.

3)  Pendekatan Realisme Pada Pengetahuan
Dalam hal ini, terdapat beberapa pendekatan. Pertama, Teori Asosiasionisme teori ilmu  jiwa asosiasi ini  dipengaruhi oleh filsafat empirisme John Locke. Pikiran ide-ide dan isi jiwa adalah asosiasi unsure-unsur pengindraan dan pengamatan.  Penganut teori asosiasi juga menggunakan  metode instropeksi  yang dipakai oleh kaum idealis. Sedangkan asosiasi, menurut beberapa filsuf Inggris, adalah gagasan atau isi jiwa itu terbentuk dari asosiasi unsure-unsur berupa kesan-kesan atau tanggapan yang diumpamakan sebagai atom-atom dari Jiwa. Kedua, Teori Behaviorisme, aliran ini berkesimpulan bahwa perwujudan kehidupan mental tercermin pada tingkah laku, sebab manusia sebagai organism adalah totalitas mekanisme biogis.
Ketiga, Teori Koneksionisme Teori ini menyatakan semua makhluk, termasuk manusia terbentuk (tingkah lakunya) oleh pola-pola connections between (hubungan-hubungan antara) stimulus dan respon. Dan manusia dalam hidupnya sdalu membentuk tatajawaban dengan jalan memperkuat atau memperlemah hubungan antara stimulus dan respon. Dengan demikian terjadi gabungan-gabungan hubungan stimulus dan respon, yang sdalu menunjukkan kualitas yang tinggi dan rendah atau kuat lemah. Di samping koneksionisme dapat meletakkan pandangan yang lebih meningkat dari assosianisme dan behi viorisme juga menunjukkan bahwa dalam hal belajar perasaa yang dimiliki oleh manusia mempunyai peranan terhadap berhas tidaknya belajar yang dilakukan.
c.Pandangan  Aksiologi Esensialisme
Pandangan ontologi dan epistemologi sangat mempengaruhi pandangan aksiologi. Bagi aliran ini, nilai-nilai berasal, tergantung pada pandangun-pandangan idealisme dan realisme sebab essensialisme terbina aleh kedua syarat tersebut.
·         Teori Nilai Menurut Idealisme
Penganut idealisme berpegang bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos, karena itu seseorang dikatakan baik jika banyak interaktif berada di dalam dan melaksanakan hukum-hukum itu. Menurut idealisme bahwa sikap, tingkah laku dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Orang yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana tenang, haruslah bersikap formal dan teratur. Untuk ini, ekspresi perasaan yang mencerminkan adanya serba kesungguhan dan kesenangan terhadap pakaian resmi yang dikenakan dapat menunjukkan keindahan baik pakaian dan suasana kesungguhan tersebut.
George Santayana memadukan antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam suatu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung asas otoriter at au nilai-nilai, namun juga tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri (memilih, melaksanakan).
·         Teori Nilai Menurut Realisme
Prinsip sederhana realisme tentang etika ialah melalui asas ontologi bahwa sumber semua pengetahuan manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa mengenai masalah baik-buruk khususnya dan keadaan manusia pada umumnya, realisme bersandarkan atas keilumuan dan lingkungan. Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan yang timbul sebagai akibat adanya saling hubungan antara pembawa-pembawa fisiologis dan pengaruh-pengaruh dari Iingkungan  (Jalaluddin dan Idi, 2007: 106-107).

d.   Pandangan Esensialisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan
1)  Pandangan Essensialisme Mengenai Belajar Idealisme
Sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individu dengan menitik beratkan pada aku. Menurut idealisme, bila seorang itu belajar pada taraf permulaan adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk memahami dunia obyektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Pandangan Immanuel Kant, bahwa segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia melalui indera merperlukan unsur apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.
Bila orang berhadapan dengan benda-benda, tidak berarti bahwa mereka itu sudah mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu.  Dengan mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada sendirinya sebagai substansi spiritual. Jiwa membina dan menciptakan diri sendiri (Poedjawijatna, 1983: 120-121).
Seorang filosuf dan ahli sosiologi yang bernama Roose L. Finney menerangkan tentang hakikat sosial dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental adalah keadaan rohani yang pasif, yang berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja yang telah tertentu yang diatur oleh alam. Berarti pula bahwa pendidikan itu adalah sosial. Jadi belajar adalah menerima dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai sosial angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan di teruskan kepada angkatan berikutnya. Dengan demikian pandangan-pandangan realisme mencerminkan adanya dua jenis determinasi mutlak dan determinasi terbatas:
·         Determiuisme mutlak, menunjukkan bahwa belajar adalah mengalami hal-hal yang tidak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada, yang bersama-sama membentuk dunia ini. Pengenalan ini perlu diikuti oleh penyesuaian supaya dapat tercipta suasana hidup yang harmonis.
·         Determinisme terbatas, memberikan gambaran kurangnya sifat pasif mengenai belajar. Bahwa meskipun pengenalan terhadap hal-hal yang kausatif di dunia ini berarti tidak dimungkinkan adanya penguasaan terhadap mereka, namun kemampuan akan pengawas yang diperlukan (Jalaluddin dan Id, 2007: 107-108).

2)  Pandangan Esensialisme Mengenai Kurikulum
Beberapa tokoh idealism memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan idil dan organisasi yang kuat. Herman Harrel Horme dalam bukunya  mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan alas fundamen tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan cirri-ciri masyarakat yagn ideal. Kurikulum dapat diumpamakan sebabagai  sebuah rumah yang mempunyai  empat bagian yaitu:
1.   Universum
Pengetahuan merupakan latar belakang adanya kekuatan segala manifestasi hidup manusia. Diantaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal usul tata surya dan lain-lainnya.
2.   Sivilisasi
Karya yang manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan terhadap lingkungannya, mengejar kebutuhan, dan hudup aman dan sejahtera.

3.   Kebudayaan
Kebudayaan merupakan karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat, kesenian, kesusastraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan
4.   Kepribadian
Bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak bertentangan dengan kepribadian yang ideal (Jalaluddin dan Id, 2007: 108-109).

C.  Perbedaan Aliran Essensialisme Dan Perennialisme
1.   Essensialisme
Aliran Filsafat ini terbentuk berdasarkan pada dua aliran yaitu Idealisme dan Realisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung ensialisme, namun tidak melebur  menjadi satu dan tidak melepaskan karakteristiknya masing-masing. Tujuan umum aliran essensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu  menggerakan kehendak namun, metode pendidikan esensialisme adalah  latihan mental, misalnya melalui diskusi dan pemberian tugas, penguasaan pengetahuan, misalnya melalui penyampaian informasi dan membaca (Jalaluddin dan Id, 2007: 100).
2.   Perennialisme
Aliran filsafat ini, terbentuk berdasarkan pada aliran idealism, muncul karena memiliki tujuan yaitu untuk mengembalikan keadaan krisis di bidang pendidikan. Asas aliran ini bersumber pada filsafat kebudayaan penerapannya di bidang pendidikan, anak didik yang diharapkan menurut perennialisme adalah mampu mengenal  dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah pikiran  tokoh-tokoh besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran  mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol dalam bidang-bidang seperti bahasa dan sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam dan lain-lain sebagainya. Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik kearah kematangan. Matang dalam arti hidup akalnya. Jadi, akal inilah yang perlu mendapat tuntunan kea rah kematangan tersebut. Sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis, dan berhitung. Anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain (Jalaluddin, Id, 2007: 115).
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan  bahwa Perennialisme  adalah suatu aliran filsafat yang ingin kembali kepada nilai-nilai masa lalu dengan maksud mengembalikan keyakinan akan nilai-nilai asasi manusia masa silam untuk menghadapi problematika kehidupan manusia sekarang dan bahkan sampai kapanpun dan dimanapun.
Tokoh penggagas aliran filsafat perennialisme adalah Aristoteles, dan Plato. Sedangkan aliran filsafat Esensialisme adalah  suatu aliran filsafat yang di dasarkan pada nilai-nilai  kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Tokoh penggagas aliran filsafat esensialisme adalah John Locke.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim, Atang dan Beni Ahmad Saebani. 2008. Filsafat Umum dari Mitologi Sampai Teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia.
Barnadib Imam. 1990. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset

Hatta, Mohammad. 1986. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: Tintamas.
Jalaluddin dan Idi Abdullah. 2007. Filsafat Pendidikan Manusia dan Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Arruz Media.

Mudzakir dan Syadali Ahmad. 1997. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia

Nor Syam, Muhammad. 1986. Filsafat Pendidikan Islam. Surabaya: Usaha Nasional
Poedjawijatna.  1989.  Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Pembangunan. Jakarta.
Ramayulis dan Samsul Nizar. 2009. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta

Syariati Ali. 1992. Humanisme antara Islam dan Madzhab Barat. Bandung: Mizan
Zuhairini, dkk. 2008. Filsafat Umum. Jakarta: Bumi Aksara.

0 komentar:

Posting Komentar

NB: Berikan Komentar yang sopan dan berkenaan dengan Artikel diatas.

Saya mohon maaf jika komentar sahabat dan rekan blogger terlambat di respon Karena banyaknya kegiatan yang mengikat he he he, Silahkan copas asalkan cantumkan juga sumbernya yah...!

Copyright: © 2012- By : Grup Syariah Metro™ Kumpulan Makalah Pendidikan Dan Tempat Berbagi Ilmu Pengetahuan
Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute