BAB I PEMBAHASAN
A. Konsep Iman Menurut Aswaja
Pengertian iman dari bahasa Arab yang artinya percaya. Sedangkan menurut istilah, pengertian iman adalah membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan tindakan (perbuatan).
Dengan demikian, pengertian iman kepada Allah adalah membenarkan dengan hati bahwa Allah itu benar-benar ada dengan segala sifat keagungan dan kesempurnaanNya, kemudian pengakuan itu diikrarkan dengan lisan, serta dibuktikan dengan amal perbuatan secara nyata.
Dengan demikian, pengertian iman kepada Allah adalah membenarkan dengan hati bahwa Allah itu benar-benar ada dengan segala sifat keagungan dan kesempurnaanNya, kemudian pengakuan itu diikrarkan dengan lisan, serta dibuktikan dengan amal perbuatan secara nyata.
Jadi, seseorang dapat dikatakan sebagai mukmin (orang yang beriman) sempurna apabila memenuhi ketiga unsur keimanan di atas. Apabila seseorang mengakui dalam hatinya tentang keberadaan Allah, tetapi tidak diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan, maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mukmin yang sempurna. Sebab, ketiga unsur keimanan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.[1]
B. Sifat-Sifat Allah
· Wujud : Artinya Ada
Yaitu tetap dan benar yang wajib bagi zat Allah Ta’ala yang tiada disebabkan dengan sesuatu sebab. Maka wujud ( Ada ) – disisi Imam Fakhru Razi dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi bukan ia a’in maujud dan bukan lain daripada a’in maujud , maka atas qaul ini adalah wujud itu Haliyyah ( yang menepati antara ada dengan tiada) . Tetapi pada pendapat Imam Abu Hassan Al-Ashaari wujud itu ‘ain Al-maujud , karena wujud itu zat maujud karena tidak disebutkan wujud melainkan kepada zat. Kepercayaan bahwa wujudnya Allah SWT. bukan saja di sisi agama Islam tetapi semua kepercayaan di dalam dunia ini mengaku menyatakan Tuhan itu ada.
· Qidam : Artinya Sedia
Pada hakikatnya menafikan ada permulaan wujud Allah SWT karena Allah SWT. menjadikan tiap-tiap suatu yang ada, yang demikian tidak dapat tidak keadaannya lebih dahulu daripada tiap-tiap sesuatu itu. Jika sekiranya Allah Ta’ala tidak lebih dahulu daripada tiap-tiap sesuatu, maka hukumnya adalah mustahil dan batil. Maka apabila disebut Allah SWT. bersifat Qidam maka jadilah ia qadim. Di dalam Ilmu Tauhid ada satu perkataan yang sama maknanya dengan Qadim Yaitu Azali.
· Baqa’ : Artinya Kekal
Sentiasa ada, kekal ada dan tiada akhirnya Allah SWT . Pada hakikatnya ialah menafikan ada kesudahan bagi wujud Allah Ta’ala. Adapun yang lain daripada Allah Ta’ala , ada yang kekal dan tidak binasa Selama-lamanya tetapi bukan dinamakan kekal yang hakiki ( yang sebenar ) Bahkan kekal yang aradhi ( yang mendatang jua seperti Arasy, Luh Mahfuz, Qalam, Kursi, Roh, Syurga, Neraka, jisim atau jasad para Nabi dan Rasul ). Perkara –perkara tersebut kekal secara mendatang tatkala ia bertakluq dengan Sifat dan Qudrat dan Iradat Allah Ta’ala pada mengekalkannya. [2]
· Mukhalafatuhu Lilhawadith. Artinya : Berbeda dengan makhluknya
Pada zat , sifat atau perbuatannya sama ada yang baru , yang telahada atau yang belum ada. Pada hakikat nya adalah menafikan Allah Ta’ala menyerupai dengan yang baharu pada zatnya , sifatnya atau perbuatannya. Sesungguhnya zat Allah Ta’ala bukannya berjirim dan bukan aradh Dan tiada sesekali zatnya berdarah , berdaging , bertulang dan juga bukan jenis leburan , tumbuh-tumbuhan , tiada berpihak ,tiada bertempat dan tiada dalam masa.
· Qiyamuhu Binafsihi : Artinya : Berdiri dengan sendirinya .
Tidak berkehendak kepada tempat berdiri ( pada zat ) dan tidak berkehendak kepada yang menjadikannya Maka hakikatnya ibarat daripada menafikan Allah SWT. berkehendak kepada tempat berdiri dan kepada yang menjadikannya. Allah SWT itu terkaya dan tidak berhajat kepada sesuatu sama adapada perbuatannya atau hukumannya. Allah SWT menjadikan tiap-tiap sesuatu dan mengadakan undang-undang semuanya untuk faedah dan maslahah yang kembali kepada sekalian makhluk .
· Wahdaniyyah. Artinya : Esa Allah Ta’ala pada zat, pada sifat & pada perbuatan.
Maka hakikatnya ibarat daripada menafikan berbilang pada zat, pada sifat dan pada perbuatan sama ada bilangan yang muttasil (yang berhubung ) atau bilangan yang munfasil ( yang bercerai ). Makna Esa Allah SWT pada zat itu Yaitu menafikan Kam Muttasil pada Zat ( menafikan bilangan yang berhubung dengan zat ) seperti tiada zat Allah Ta’ala tersusun daripada darah , daging , tulang ,urat dan lain-lain. Dan menafikan Kam Munfasil pada zat ( menafikan bilangan yang bercerai pada zat Allah Ta’ala )seperti tiada zat yang lain menyamai zat Allah Ta’ala.[3]
· Al – Qudrah : Artinya : Kuasa
Memberi bekas pada mengadakan meniadakan tiap-tiap sesuatu. Pada hakikatnya ialah satu sifat yang qadim lagi azali yang thabit ( tetap ) berdiri pada zat Allah SWT. yang mengadakan tiap-tiap yang ada dan meniadakan tiap-tiap yang tiada bersetuju dengan iradah. Adalah bagi manusia itu usaha dan ikhtiar tidak boleh memberi bekas pada mengadakan atau meniadakan , hanya usaha dan ikhtiar pada jalan menjayakan sesuatu . Kepercayaan dan iktiqad manusia di dalam perkara ini berbagai-bagaiFikiran dan fahaman seterusnya membawa berbagai-bagai kepercayaan dan iktiqad.
· Iradah : Artinya : Menghendaki
Maksudnya menentukan segala mumkin ttg adanya atau tiadanya. Sebenarnya adalah sifat yang qadim lagi azali thabit berdiri pada Zat Allah Ta’ala yang menentukan segala perkara yang harus atau setengah yang harus atas mumkin . Maka Allah Ta’ala yang selayaknya menghendaki tiap-tiap sesuatu apa yang diperbuatnya. Umat Islam beriktiqad akan segala hal yang telah berlaku dan yang akan berlaku adalah dengan mendapat ketentuan daripada Allah Ta’ala tentang rezeki , umur , baik , jahat , kaya , miskin dan sebagainya serta wajib pula beriktiqad manusia ada mempunyai nasib ( bagian ) di dalam dunia ini.
· ‘Ilmu : Artinya : Mengetahui
Maksudnya nyata dan terang meliputi tiap-tiap sesuatu sama ada yangMaujud (ada) atau yang Ma’adum ( tiada ). Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap ada ( thabit ) qadim lagi azali berdiri pada zat Allah Ta’ala. Allah Ta’ala Maha Mengetahui akan segala sesuatu sama ada perkara. Itu tersembunyi atau rahasia dan juga yang terang dan nyata. Maka ’ilmu Allah Ta’ala Maha Luas meliputi tiap-tiap sesuatu diAlam yang fana’ ini.[4]
· Hayat . Artinya : Hidup
Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap qadim lagi azali berdiri pada zat Allah Ta’ala . Segala sifat yang ada berdiri pada zat daripada sifat Idrak ( pendapat ) Yaitu : sifat qudrat, iradat , Ilmu , Sama’ Bashar dan Kalam.
· Sama’ : Artinya : Mendengar
Hakikatnya ialah sifat yang tetap ada yang qadim lagi azali berdiri pada Zat Allah Ta’ala. Yaitu dengan terang dan nyata pada tiap-tiap yang maujud sama ada yang maujud itu qadim seperti ia mendengar kalamnya atau yang ada itu harus sama ada atau telah ada atau yang akan diadakan. Tiada terhijab (terdinding ) seperti dengan sebab jauh , bising , bersuara , tidak bersuara dan sebagainya.
· Bashar : Artinya : Melihat
Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap ada yang qadim lagi azali berdiri pada zat Allah Ta’ala. Allah Ta’ala wajib bersifat Maha Melihat sama ada yang dapat dilihat oleh manusia atau tidak, jauh atau dekat , terang atau gelap , zahir atau tersembunyi dan sebagainya. Firman Allah Ta’ala yang bermaksud : ” Dan Allah Maha Melihat akan segala yang mereka kerjakan “. ( Surah Ali Imran – Ayat 163)
· Kalam : Artinya : Berkata-kata
Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap ada , yang qadim lagi azali , berdiri pada zat Allah Ta’ala. Menunjukkan apa yang diketahui oleh ilmu daripada yang wajib, maka ia menunjukkan atas yang wajib sebagaimana firman Allah Ta’ala yang bermaksud : ” Aku Allah , tiada tuhan melainkan Aku ………”. ( Surah Taha – Ayat 14 ) Dan daripada yang mustahil sebagaimana firman Allah Ta’ala yang bermaksud : ” ……..( kata orang Nasrani ) bahwasanya Allah Ta’ala yang ketiga daripada tiga……….”. (Surah Al-Mai’dah – Ayat 73). Dan daripada yang harus sebagaimana firman Allah Ta’ala yang bermaksud : ” Padahal Allah yang mencipta kamu dan benda-benda yang kamu perbuat itu”. (Surah Ash. Shaffaat – Ayat 96). Kalam Allah Ta’ala itu satu sifat jua tiada berbilang.
· Kaunuhu Qadiran : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Berkuasa Mengadakan Dan Mentiadakan.
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat Qudrat.
· Kaunuhu Muridan : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Menghendaki dan menentukan tiap-tiap sesuatu.
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala , tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat Iradat.
· Kaunuhu ‘Aliman : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Mengetahui akan Tiap-tiap sesuatu.
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat ‚Ilmu.
· Kaunuhu Hayyun : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Hidup.
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat Hayat.
· Kaunuhu Sami’an : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Mendengar akan tiap-tiap yang Maujud.
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum, Yaitu lain daripada sifat Sama’.
· Kaunuhu Bashiran : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Melihat akan tiap-tiap yang Maujudat ( Benda yang ada ).
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat Bashar.
· Kaunuhu Mutakalliman : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Berkata-kata.
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat Kalam.
C. Melihat Allah
Kaum mukminin mengimani akan melihat Allah dengan mata kepala sendiri di akhirat, termasuk salah satu wujud iman kepada Allah, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya. Mereka akan melihatnya secara jelas, bagaikan melihat matahari yang bersih, sedikitpun tiada terliputi awan. Juga bagaikan melihat bulan pada malam purnama, tanpa berdesak-desakan. Demikian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskannya dalam Al Aqidah Al Wasithiyah . Dan ini merupakan kesepakatan Salafush Shalih Radhiyallahu 'anhum.[5]
Imam Ibnu Abi Al Izz Al Hanafi, pensyarah kitab Aqidah Thahawiyah, menegaskan bahwa jelasnya kaum mukminin melihat Rabb-nya pada hari akhirat nanti, telah dinyatakan oleh para sahabat, tabi’in, serta para imam kaum muslimin yang telah dikenal keimaman mereka dalam agama. Begitu pula para ahli hadits dan semua kelompok Ahli Kalam yang mengaku sebagai Ahli Sunnah Wal Jama’ah.[6] Mengapa demikian? Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, salah seorang ulama senior di Saudi Arabia, menjelaskan: “Sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberitakan hal tersebut dalam KitabNya ; Al Qur’an Al Karim. Begitu pula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun telah memberitakannya dalam Sunnahnya. Barangsiapa yang tidak mengimani kejadian ini, berarti ia mendustakan Allah, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya. Sebab orang yang beriman kepada Allah, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya, akan beriman pula kepada segala yang diberitakannya”. Dalil-dalilnya, seperti yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al Aqidah Al Wasithiyah
Dalil Dari Al Qur’an Al Karim Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
Dalil Dari Al Qur’an Al Karim Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وُجُوهُُ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Artinya Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nya mereka melihat.. [Al Qiyamah : 22-23].
D. Kedudukan Al-Qur’an Dan Al-Hadis (Naqli) Dan (AQli)
Al-Qur’an sebagai kitab Allah SWT menempati posisi sebagai sumber pertama dan utama dari seluruh ajaran Islam,baik yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri,hubungan manusia dengan Allah SWT,hubungan manusia dengan sesamanya,dan hubungan manusia dengan alam.
Para ulama Islam berpendapat bahwa hadis menempati kedudukan pada tingkat kedua sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an.Mereka beralasan kepada dalil-dalil Al-Qur’an surah Ali-’Imran,3:132,surah Al-Ahzab,33:36 dan Al-Hasyr,59:7,serta hadis riwayat Turmuzi dan Abu Daud yang berisi dialog antara Rasulullah SAW dengan sahabatnya Mu’az bin Jabal tentang sumber hukum Islam.
Fungsi atau peranan hadis (sunah) di samping Al-Qur’anul Karim adalah:1) Mempertegas atau memperkuat hukum-hukum yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an (bayan at-taqriri atau at-ta’kid).2) Menjelaskan,menafsirkan,dan merinci ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum dan samar (
• bayan at-tafsir).3) Mewujudkan suatu hukum atau ajaran yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an (bayan at-tasyri;namun pada prinsipnya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
• bayan at-tafsir).3) Mewujudkan suatu hukum atau ajaran yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an (bayan at-tasyri;namun pada prinsipnya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
E. Al-Qur’an Sebagai Kalamullah
Syaikh Abu Utsman Isma’il Ash-Shabuni berkata: “Ashhabul Hadits bersaksi dan berkeyakinan bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah (ucapan Allah), Kitab-Nya dan wahyu yang diturunkan, bukan makhluk. Siapa yang menyatakan dan berkeyakinan bahwa ia makhluk maka kafir menurut pandangan mereka. Al-Qur’an merupakan wahyu dan kalamullah yang diturunkan melalui Jibril kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dengan bahasa Arab untuk orang-orang yang berilmu sebagai peringatan dan kabar gembira, sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَإِنَّهُ لَتَنزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ – نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ – عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنذِرِينَ – بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُّبِينٍ
Artinya: “Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Rabb semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. (Asy-Syu’ara: 192-195)
Al-Qur’an yang dihafal dalam hati, dibaca oleh lisan, dan ditulis dalam mushaf-mushaf, bagaimanapun caranya Al-qur’an dibaca oleh qari’, dilafadzkan oleh seseorang, dihafal oleh hafidz, atau dibaca dimanapun ia dibaca, atau ditulis dalam mushaf-mushaf dan papan catatan anak-anak dan yang lainnya adalah kalamullah-bukan makhluk. Siapa yang beranggapan bahwa ia makhluk, maka telah kufur kepada Allah Yang Maha Agung.
Al-Imam Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah berkata: “Al-Qur’an adalah kalamullah-bukan makhluk. Siapa yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk, maka dia telah kufur kepada Allah Yang Maha Agung, tidak diterima persaksiannya, tidak dijenguk jika sakit, tidak dishalati jika mati, dan tidak boleh dikuburkan di pekuburan kaum muslimin. Ia diminta taubat, kalau tidak mau maka dipenggal lehernya. Abu Ishaq bin Ibrahim pernah ditanya tentang lafadz Al-Qur’an, maka Beliau berkata: “Tidak pantas untuk diperdebatkan. ‘Al-Qur’an kalamullah-bukan makhluk “. Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Orang yang menganggap makhluk lafadz Al-Qur’an adalah Jahmiyah, Allah berfirman:
فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللّهِ
Artinya: “maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalamullah’ (At-Taubah:6).
F. Kasab atau Usaha, Qadha Dan Qadar
Pengertian Qadha dan Qadar Menurut bahasa Qadha memiliki beberapa pengertian yaitu: hukum, ketetapan,pemerintah, kehendak, pemberitahuan, penciptaan. Menurut istilah Islam, yang dimaksud dengan qadha adalah ketetapan Allah sejak zaman Azali sesuai dengan iradah-Nya tentang segala sesuatu yang berkenan dengan makhluk. Sedangkan Qadar arti qadar menurut bahasa adalah: kepastian, peraturan, ukuran. Adapun menurut Islam qadar perwujudan atau kenyataan ketetapan Allah terhadap semua makhluk dalam kadar dan berbentuk tertentu sesuai dengan iradah-Nya. Firman Allah: Artinya: yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagiNya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS .Al-Furqan ayat 2).
Untuk memperjelas pengertian qadha dan qadar, berikut ini dikemkakan contoh. Saat ini Abdurofi melanjutkan pelajarannya di SMK. Sebelum Abdurofi lahir, bahkan sejak zaman azali Allah telah menetapkan, bahwa seorang anak bernama Abdurofi akan melanjutkan pelajarannya di SMK. Ketetapan Allah di Zaman Azali disebut Qadha. Kenyataan bahwa saat terjadinya disebut qadar atau takdir. Dengan kata lain bahwa qadar adalah perwujudan dari qadha.
Hubungan antara Qadha dan Qadar
Pada uraian tentang pengertian qadha dan qadar dijelaskan bahwa antara qadha dan qadar selalu berhubungan erat . Qadha adalah ketentuan, hukum atau rencana Allah sejak zaman azali. Qadar adalah kenyataan dari ketentuan atau hukum Allah. Jadi hubungan antara qadha qadar ibarat rencana dan perbuatan. Perbuatan Allah berupa qadar-Nya selalu sesuai dengan ketentuan-Nya. Di dalam surat Al-Hijr ayat 21 Allah berfirman, yang artinya sebagai berikut: Artinya ” Dan tidak sesuatupun melainkan disisi kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.”
Orang kadang-kadang menggunakan istilah qadha dan qadar dengan satu istilah, yaitu Qadar atau takdir. Jika ada orang terkena musibah, lalu orang tersebut mengatakan, ”sudah takdir”, maksudnya qadha dan qadar.
Kewajiban beriman kepada dan qadar
Diriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah SAW didatangi oleh seorang laki-laki yang berpakaian serba putih , rambutnya sangat hitam. Lelaki itu bertanya tentang Islam, Iman dan Ihsan. Tentang keimanan Rasulullah menjawab yang artinya: Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaekat-malaekat-Nya, kitab-kitab-Nya,rasul-rasulnya, hari akhir dan beriman pula kepada qadar(takdir) yang baik ataupun yang buruk. Lelaki tersebut berkata” Tuan benar”. (H.R. Muslim).
G. Kedudukan Mukmin Yang Berdosa Besar
Kedudukan manusia terhadap dosa ada dua kedudukan diantaranya yaitu sebagai berikut:
1. Kedudukan orang mukmin yang berdosa
2. Kedudukan orang fajir yang berdosa
Orang mukmin yang melakukan ketaatan-ketaatan dan dia dalam keadaan takut, Allah berfirman:
tûïÏ%©!$#ur tbqè?÷sã !$tB (#qs?#uä öNåkæ5qè=è%¨r î's#Å_ur öNåk¨Xr& 4n<Î) öNÍkÍh5u tbqãèÅ_ºu ÇÏÉÈ
Artinya : Dan orang-orang yang memberikan apa yang Telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka (QS.Al-Mu’minun:60).
Apakah maknanya?, yaitu orang-orang yang sholat, bersedekan,berzakat, dan berpuasa kemudian mereka takut tidak diterima oleh Allah dari mereka (amalan-amalan mereka tersebut)[7], ini adalah (keadaan seorang mukmin) dalam ketaatan, maka bagaimana jika ia melakukan dosa?, bagaimanakah kondisinya?, berkata Ibnu Mas’ud, ((Sesungguhnya seorang mukmin memandang dosa-dosanya seakan-akan ia sedang duduk di bawah gunung dan ia takut gunung tersebut jatuh menimpanya)). Dan inilah yang semestinya, yaitu hendaknya kita merasa besar (tidak meremehkan) terhadap dosa yang kita lakukan yang berkaitan dengan hak Allah, kita berdosa karena kurang dalam menunaikan perkara-perkara yang wajib, kurang dalam menunaikan sholat, ibadah haji, mengeluarkan zakat, dalam menunaikan hak-hak manusia, dalam bermu’amalah, dalam bekerja, berbuat curang, tidak amanah, dalam bermualah dengan istri, dengan kedua orang tua, tidak durhaka, dan dalam melaksanakan kebaikan-kebaikan. Jika bertambah ilmumu maka engkau akan melihat bahwasanya pada setiap detik yang engkau jalani maka ada perintah Allah dan larangan Allah atasmu.
Detik-detik yang kau jalani kalau tidak dalam amalan badan maka pada amalan lisan atau amalan hati, maka pada setiap detik dalam hidupmu ada perintah Allah dan larangan Allah yang berkaitan denganmu, bahkan jika engkau duduk dian maka hatimu kalau tidak bergerak dalam kemaksiatan yaitu kemaksiatan hati seperti kesombongan dan berburuk sangka, atau memikirkan (sesuatu yang diharamkan) misalnya atau hati melakukan amalan-amalan yang mengkibatkan perkara-perkara yang tidak diperbolehkan, misalnya ia berfikir bagaimana cara mengambil sesuatu yang bukan haknya atau..atau…dan seterusnya. Ini semua adalah dosa jika diamalkan oleh hati setelah hanya sekedar lintasan pikiran. Diantaranya juga dosa-dosa yang berkaitan dengan hati meskipun ia tidak melakukan sesuatu, misalnya meninggalkan tawakal, seperti meninggalkan kesabaran, seperti ujub, riya, dan seterusnya. Maka setiap detik gerakan-gerakanmu dan juga detik-detik diammu Allah memiliki perintah dan larangan yang berkaitan denganmu, dan pasti engkau akan tertimpa kelalaian, kelalaian, dan kelalaian.
Maka seorang mukmin hendaknya takut, melihat dosa-dosanya seakan-akan ia duduk dibawah gunung kawatir gunung tersebut (sewaktu-waktu) jatuh menimpanya. Oleh karena itu manusia diperingatkan dari dosa-dosa mereka dan agar mereka tidak lalai dengan dosa-dosa tersebut. Dan juga seseorang diingatkan agar jangan sampai ia wafat di atas dosa-dosanya sebelum ia beristighfar, diingatkan jangan sampai ia termasuk orang-orang yang selalu berwas-was sebelum ia sempat untuk bertaubat dan beristigfar. Oleh karena itu seorang mukmin dengan perkataan Ibnu Mas’ud ini selalu benar-benar berwaspada dan ia menyertakan kewaspadaannya itu dengan memperbanyak istigfar. Oleh karena itu Nabi r beristigfar dalam sehari semalam lebih dari seratus kali, dan dalam satu majelis tujuh puluh kali atau seratus kali, dan demikianlah keadaan para sahabat, dan inilah keadaan seorang mukmin selalu takut, ia takut dari dosa-dosanya dan mengharapkan rahmat Allah.
Adapun orang mukmin maka Allah merahmatinya dengan menjadikan sholat ke sholat yang lain merupakan penghapus dosa-dosa diantara keduanya, Romadhon ke Romadhon merupakan penghapus dosa-dosa diantara keduanya, umroh ke umroh merupakan penghapus dosa-dosa yang ada diantara keduanya dengan syarat meninggalkan dosa-dosa besar sebagaimana firman Allah
bÎ) (#qç6Ï^tFøgrB tͬ!$t62 $tB tböqpk÷]è? çm÷Ytã öÏeÿs3çR öNä3Ytã öNä3Ï?$t«Íhy Nà6ù=ÅzôçRur WxyzôB $VJÌx. ÇÌÊÈ
bÎ) (#qç6Ï^tFøgrB tͬ!$t62 $tB tböqpk÷]è? çm÷Ytã öÏeÿs3çR öNä3Ytã öNä3Ï?$t«Íhy Nà6ù=ÅzôçRur WxyzôB $VJÌx. ÇÌÊÈ
Artinya: “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (Q.S. An-Nisaa’: 31).
Maka syarat untuk dihapuskannya dosa-dosa yaitu dijauhinya dosa-dosa besar. Sholat yang satu ke sholat yang lain merupakan penghapus dosa, namun apakah semua sholat?, tidaklah demikian, bahkan ada sholat yang dilakukan oleh seorang hamba namun tidak menghapus dosa-dosanya demikan juga puasa yang dilakukan oleh seorang hamba –yaitu puasa Romadhon- namun tidak menghapus dosa-dosanya dan umroh ada yang tidak menghapuskan dosa. Maka setiap ibadah dari ibadah-ibadah ini ada syaratnya agar bisa menghapus dosa-dosa. Misalnya sholat
H. Surga Dan Neraka
Jika Allah sudah selesai memperhitungkan amal hamba-hambaNya, para penghuni surga akan dimasukan ke dalam surga dan para penghuni neraka dicampakkan ke dalam neraka. Keimanan pada kebenaran ini adalah bagian dari keimanan pada Allah. Tidaklah benar iman seseorang yang beriman kepada Allah, tetapi ia mengingkari surga dan neraka. Surga dan neraka adalah salah satu alam gaib Allah, sebagaimana halnya malaikat, hari akhir, dan cara perhitungan amal. Selanjutnya, keimanan pada Allah berarti beriman pada yang gaib, sebagaiman telah dibahas sebelumnya.
Ketika menggambarkan neraka, Allah berfirman:
Yang artinya: “Bagi mereka lapisan-lapisan dari api di atas mereka dan di bawah merekapun lapisan-lapisan (dari api). Demikianlah Allah mempertakuti hamba-hamba-Nya dengan azab itu. Maka bertakwalah kepada-Ku hai hamba-hamba-Ku “.( Az Zumar : 16 ).
Ketika menggambarkan surga, Allah berfirman:
Artinya: “Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.” ( Al Baqarah :25)
Ketika Allah berfirman bahwa ada neraka yang membakar kulit, lalu Dia menggantikan kulitnya dengan kulit yang lain agar terus-menerus dibakar, di sini kita memahami bahwa tubuh manusia tidaklah sama seperti ketika di dunia ini. Ada sesuatu yang tidak diketahui terjadi pada tubuh manusia dan membuatnya tidak mati. Dari realitas kehidupan di muka bumi, kita tahu bahwa jika api membakar kulit seseorang seluruhnya, ia akan mati seketika. Lalu, bagaimana api di akhirat membakar kulit manusia dan Allah menggantikannya dengan kulit lain agar pembakaran terus berlangsung? Apakah kematian akan mati di Hari kiamat kelak? Atau, apakah kita akan menjadi mahluk lain yang memperoleh berbagai siksaan di neraka Jahim atau memperoleh segala macam kenikmatan di surga?
Alquran menunjukkan adanya perbedaan wujud manusia di dunia dengan penciptaan yang baru di akhirat, di Hari Kiamat kelak:
Artinya: Kami telah menentukan kematian di antara kalian. Kami sekali-kali tidak dapat dikalahkan…
Al quran tidak memberitahukan wujud lain manusia di akhirat kelak. Meskipun demikian, ia menyebutkan dengan jelas bahwa penciptaan bentuk lain ini berada dari penciptaan wujud pertama di dunia. Mungkin inilah benang pertama menakutkan yang mengantarkan kita menuju apa yang dijanjikan Allah. Kekuatan manusia untuk menanggung beban di muka bumi ini dibatasi oleh kehidupan dan tubuhnya. Sementara itu, kekuatan manusia untuk menanggung beban sesudah kebangkitannya dari kematian di akhirat kelak tidak dibatasi oleh apa pun. Dengan kata lain, kenikmatan dan siksaan di akhirat berlangsung terus-menerus dan bersifat kekal. Inilah hakikat pertama yang cukup untuk menyulut ketakutan dalam hati manusia. Usia relatif manusia di muka bumi ini berkisar antara enam puluh sampai seratus tahun, meskipun ada yang lebih dari itu. Namun, kelebihan itu tidaklah banyak. Dari segi ruang dan waktu, apakah bertahun-tahun ini sama dengan siksaan yang tidak pernah berhenti? Alquran memberitahukan kepada kita bahwa keras dan pedihnya azab Allah menyebabkan orang-orang kafir ingin mati dan berteriak. Mereka berseru: “Hai Malik biarlah Tuhanmu membunuh kami saja.” Dia menjawab: “Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini).” (Az Zukhruf : 77). Malik adalah nama salah satu malaikat penjaga neraka yang sangat kasar. Para penghuni abadi neraka mencari perantara lewat Malik untuk mengantarkan mereka kepada Tuhannya, agar Dia mematikan mereka dan mengambil putusan atas mereka. Dengan singkat, jelas, pasti dan penuh ketenangan, Malik menjawab, “Kamu akan tetap tinggal di sini.” Jadi, tidak ada angan-angan untuk dapat keluar dari neraka dan tidak juga angan-angan untuk mati. Tidak ada jalan menuju peristirahatan.
BAB II KESIMPULAN
Kesimpulan dari makalah ini yaitu Jadi, seseorang dapat dikatakan sebagai mukmin (orang yang beriman) sempurna apabila memenuhi ketiga unsur keimanan di atas. Apabila seseorang mengakui dalam hatinya tentang keberadaan Allah, tetapi tidak diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan, maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mukmin yang sempurna. Sebab, ketiga unsur keimanan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin As-suyuthy, 1997. Argumentasi As-Sunnah kontra atas penyimpangan sumber hukum orisinal; terj. Saifullah, Surabaya, risalah Gusti.
M. Shiddiq Al-Jawi, 2005. Al-Insan (Jurnal Kajian Islam) Hadits Nabi Otentisitas dan Upaya Destruksinya, Depok, Lembaga Kajian dan Pengembangan Al-Insan.
Muhibbin, 1996. Hadis-hadis Politik, Yogyakrta, Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Lesiska’
Zainal Abidin Ahmad, 1975. Imam Bukhari pemuncak ilmu hadits, Jakarta, Bulan Bintang.
[1] Lihat Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah, Syaikh Shalih Al Fauzan, hlm. 140, terbitan Maktabah Al Ma’arif Li An Nasyr Wat Tauzi’- Riyadh, Cet. VI-1413 H/1993 M.
[2] Lihat Syarah Al Aqidah Ath Thahawiyah, tahqiq: Jama’ah minal Ulama dengan takhrij dari Syaikh Al Albani rahimahullah, hlm. 189, Al Maktab Al Islami, Cet. IX 1408 H/1988 M
[3] Ibid hal. 52
[4] Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah, hlm. 98
[5] Ibid hal. 82
[6] Ash-Shalah wa Hukmu Tarikhiha, Tahqiq: Bassam ‘Abdul Wahhab al-Jabi, Dar Ibni Hazm, Cetakan I Tahun 1416 H, halaman 78.
0 komentar:
Posting Komentar
NB: Berikan Komentar yang sopan dan berkenaan dengan Artikel diatas.
Saya mohon maaf jika komentar sahabat dan rekan blogger terlambat di respon Karena banyaknya kegiatan yang mengikat he he he, Silahkan copas asalkan cantumkan juga sumbernya yah...!