SELAMAT DATANG SOBAT, JANGAN LUPA SIMPAN ALAMAT BLOG WWW.GRUPSYARIAH.BLOGSPOT.COM SUPAYA SOBAT MUDAH UNTUK BERKUNJUNG KEMBALI DISINI

Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan

Ya emg tidak bisa dipungkiri lagi bahwa Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan oleh sebab itu mari kita Fahami dengan benar bagaimana menjadi oang islam yang baik di Hadapan Allah, Alam dan Manusia. langsung ajalah ketopik pembahsan ya admin gak bisa basa-basi hihihi..

BAB I
PENDAHULUAN
Memasuki abad kedua puluh Masehi, keadaan dunia  ditandai oleh kemajuan yang dicapai oleh Barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dengan segala implikasinya, yaitu berupa penjajahan mereka atas dunia Islam. Negara-negara yang dahulu masuk ke dalam hegemoni Islam seperti Spanyol, India, Sisilia, dan sebagainya sudah mulai melepaskan diri dari Islam dan berdiri sendiri sebagai Negara yang sepenuhnya berada di luar ideology Islam. Demikian pula Negara-negara yang secara ideologis sepenuhnya dikuasai Islam juga sudah banyak yang menjadi  jajahan bangsa-bangsa lain. Negara-negara tersebut antara lain adalah Mesir, Turki, Malaysia, dan Indonesia.
Menghadapi keadaan yang demikian itu, umat Islam mencari sebab-sebabnya. Sebab-sebab tersebut yang utama diantaranya karena umat Islam tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta adanya perpecahan.


BAB II
PEMBAHASAN
ISLAM SEBAGAI OBJEK ILMU PENGETAHUAN


A.    Berbagai Pendekatan Tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Para cendekiawan muslim  untuk melakukan islamisasi ilmu dan teknologi adalah merupakan kesalahan, sebab hal ini dapat menjebak kita pada pendkatan yang menganggap bahwa Islam hanya semata-mata sebagai ideology. Menurut Usep Fathuddin misalnya termasuk yang menganggap bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi itu tidak perlu. Lebih lanjut  ia mengatakan hemat saya, Islamisasi ilmu, bukanlah kerja ilmiah, apalagi kerja kreatif. Sebab yang dibutuhkan umat dan lebih-lebih lagi bagi  para cendekiawannya adalah  menguasai dan mengembangkan ilmu.
Islamisasi ilmu hanyalah kerja kreatif atas karya orang saja. Sampai tingkat tertentu, tak ubahnya sebagai kerja tukang dipinggir jalan. Manakala orang atau atau seseorang ilmuan berhasil menciptakan atau mengembangkan ilmu, maka orang Islam (sebagian, tentunya), akan mencoba menangkap  dan berusaha mengislamkannya.
Sementara itu, terdapat sejumlah kelompok ilmuawan yang mendukung gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan. Mulyanto misalnya mengatakan bahwa Islamisasi  ilmu pengetahuan sering dipandang sebaagai proses penerapan etika Islam dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan dan criteria  pemilihan suatu jenis ilmu pengetahuan yang akan dikembangkanya. Dengan kata lain,  Islam hanya berlaku sebagai criteria etis di luar struktur ilmu pengetahuan.
Asumsi dasarnya adalah bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai. Konsekuensi logisnya mereka menganggap mustahil munculnya ilmu pengetahuan Islam, sebagaimana mustahilnya pemunculan ilmu pengetahuan Marxisme. Dan islam beserta ideology-ideologi lainnya, hanya mampu merasuki subjek ilmu pengetahuan dan tidak pada ilmu itu sendiri.
Senada dengan Mulyono, Haidar Bagir, sungguhpun secara eksplisit tidak menjelaskan pengertian Islamisasi ilmu pengetahuan, namun secara implicit melihat bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan itu penting. Dalam kaitan ini, ia misalkan mengemukakan tentang perlunya dibentuk sains yang islami. Umat islam butuh sebuah system sains yang memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, material dan spiritual.
System sains yang ada kini tak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Ini disebabkan karena sains modern  mengandung nilai-nilai khas Barat yang  melekat padanya,  nilai-nilai ini banyak bertentangan dengan nilai-nilai Islam  selain itu, telah terbukti menimbulkan ancaman bagi umat islam dan bagi berlangsungnya kehidupan umat di dunia.
B.     Realisasi Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Penyebab islamisasi ilmu pengetahuan, sebagaimana dikemukakan Dawam Rahardjo biasanya terkait dengan nama Ismail Faruqi, seorang sarjana kelahiran Palestina yang kini bermukim di Amerika Serikat. Ia dianggap sebagai pencetus utama gagasan ini, yang diikuti dengan pendirian sebuah lembaga penelitian Internasional Institute of Islamic Thought atau yang lebih dikenal dengan singkatan III-T yang berkantor pusat, mula-mula di mobil dari Washington D.C.
Tapi orang Malaysia tidak menganggapnya demikian. Mereka mengatakan bahwa pencetus  ide Islamisasi pengetahuan itu adalah seorang sarjana budaya Melayu berkebangsaan Malaysia, Naquib Alatas, adik kandung Husein Alatas. Itu dicuri oleh Ismail Faruqi Naquib Alatas sendiri, dengan dukungan Wakil Perdana Menteri Malaysia ketika itu, Anwar Ibrahim, membentuk lembaga sendiri dengan nama Internasional Institut of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) yang berbasisi di Kuala Lumpur, dengan gedung dan kompleksnya yang megah dan artistic, diatas sebuah bukit.
Menurut Dawam Rahardjo, bahwa pemikiran Faruqi tentang Islamisasi ilmu pengetahuan sebenarnya terfokus pada dua bidang studi. Pertama, adalah Arabisme, mungkin karena pengaruh darah Palestinanya dan kedua, adalah Islam. Dua bidang itu dilihat orang sebagai dua hal yang saling berjalin berkelindan. Tapi pada mulanya ia menekuni masalah Arabisme. Dari ketekunannya itu lahirlah karya monumental, empat jilid buku On Arabisme Urban and Religion yang mendominasi diskursusnya. Baru tahap keduanya ia mulai bergeser kepada studi Islam. Sejak itu ia mulai terjerat oleh aktivisme yang menjadi gerakan Islam. Ia tidak hanya bergerak dalam wacana ilmiah dan akademis tetapi juga melakukan advokasi politik.  Pandangan makin bergeser dalma melihat peranan penting Islam. Dengan berbasis  pada pandangannya tentang Islam yang demikian itulah, maka pemikiran Faruqi akhirnya mengkristal dalam gagasan Islamization of Knowledge yang kemudian menjadi salah satu agenda  yang mewarnai dunia islam, dan sekaligus menimbulkan bahan perbedaan (wacana) di kalangan para ahli, sebagaimana telah disinggung diatas.
Terlepas dari pro kontra sebagaimana tersebut diatas, gejala menunjukan bahwa Islam sebagai sebuah ide kemasyarakatan, kebudayaan dan peradaban sebagaimana dikemukakan oleh Ismail Faruqi diatas, tampak makin diterima kehadirannya oleh masyarakat. Integrasi nilai-nilai Islam ke dalam berbagai aspek kehidupan tampak makin terus berkembang nilai-nilai Islam bukan hanya tercermin dalam kerangka bangunan ilmu pengetahuan, melainkan juga tercermin dalam berbagai aspek kehidupan yang lebih luas lagi, yaitu ekonomi, social, budaya, politik, seni, dan sebagainya.

C.    Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Kini kita sampai pada uraian yang menggambarkan praktik Islamisasi ilmu pengetahuan. Dalam hubungan ini, terdapat sejumlah pendekatan yang dapat digunakan.
Pertama,  Islamisasi dapat dilakukan dengan cara menjadikan Islam sebagai landasan penggunaan ilmu pengetahuan (aksiologi), tanpa mempersalahkan aspek  ontologism dan epistemology ilmu pengetahuan tersebut.  Dengan kata lain, ilmu  pengetahuan dan teknologinya tidak dipermasalahkan. Yang dipermasalahkan adalah orang yang mempergunakannya. Cara ini melihat bahwa Islamisasi  ilmu pengetahuan hanya sebagai beberapa etika Islam dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan dan criteria pemilihan suatu jenis ilmu pengetahuan yang akan dikembangkannya.
Dengan kata lain, Islamisasi pengetahuan dalam cara yang pertama ini yaitu melihat bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dalam arti produksinay adalah netral. Pengaruh keagamaan seorang yang menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi jelas amat dibutuhkan jika dipadukan dengan keahlian dan ketelitian  masing-masing.
Kedua, Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan dengan cara memasukan nilai-nilai Islami ke dalam konsep ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Asumsi dasarnya adalah ilmu pengetahuan tersebut tidak netral, melainkan penuh muatan nilai-nilai yang dimasukan oleh orang yang merancangnya. Dengna demikian, islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi harus di lakukan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.
Ketiga,Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan melalui penerapan konsep tauhid dalam arti seluas-luasnya. Tauhid bukanlah dipahami secara teocentris, yaitu mempercayai dan meyakini adanya Tuhan dengan segala sifat kesempurnaan yang dimiliki-Nya serta jauh dari sifat-sifat yagn tidak sempurna, melainkan tauhid yang melihat bahwa antara manusia dengan manusia lain, manusia dengan alam, dan manusia dengan segenap ciptaan Tuhan lainnya adalah merupakan satu kesatuan yang saling membutuhkan dan saling mempengaruhi, dan semuanya itu merupakan wujud tanda kekuasaan dan kebesaran Tuhan.
Keempat, Islamisasi ilmu pengetahuan dapat pula dilakukan melalui inisiatif pribadi melalui proses pendidikan yang  diberikan secara berjenjang dan berkesinambungan. Dalam praktiknya  tidak ada ilmu agama dan ilmu umum yang  disatukan, atau ilmu umum yang diislamkan lalu diajarkan kepada seseorang. Yang terjadi adalah sejak kecil ke dalam diri seseorang sudah ditanamkan jiwa agama yang kuat, praktik pengalaman tradisi keagamaan dan sebagainya.  Setelah itu, kepadanya diajarkan dasar-dasar ilmu agama yang kuat, diajarkan Al-Qur’an  baik dari segi membaca maupun memahami isinya. Selain itu juga, diajarkan  hubungan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya secara umum. Selanjutnya ia mempelajari berbagai bidang ilmu dan keahlian sesuai dengan bidang yang diminatinya.
Dengan demikian, maka islamisasi ilmu pengetahuan dapat dilakukan dengan memetakan anak didik di dalam memasuki lembaga pendidikannya, tanpa harus  mengubah bentuk sekolah atau kurikulum atau lainnya.  Pendekatan ini pun cukup efektif, bahkan dapat dilihat pada sosok ilmuawan dimasa lalu sebagai Ibn Sina, Ibn Rasyd, Al-Razi dan sebagainya.
D.    Islam Normatif
Islam dari segi normative, memiliki pedoman yang jelas yakni wahyu berupa Al-Qur’an dan Sabda Nabi berupa Hadis, yang menjelaskan pesan-pesan Al-Qu’ran lebih detail. Kajian terhadap Islam sebagai wahyu Allah bukan bertujuan untuk mempertanyakan kebenaran Al-Qur’an dan Ajaran-ajaranya, melainkan mempertanyakan bagaimana mempelajari  cara membaca Al-Qur’an, bagaimana memahami ayat-ayat Al-Qur’an , apa hubungan ayat satu dengan ayat lainya atau surat satu dengan surat lainya, kenapa bahasa Al-Qur’an memakai istilah ini bukan itu, dan lain sebagainya.
Sudah jelas bagi kaum Muslim bahwa Islam adalah wahyu Allah yang  diturunakn kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Jika kita bandingkan dengan kitab suci yang lain, Yahudi misalnya, sebagai agama yang lebih tua kehadirannya dari agama-agama samawi lainya, kerapkali terdengar kritik yang mentakan bahwa teks  “wasiat sepuluh” tidak ada pada zaman Nabi Musa dan bukan ajaran Nabi Musa. Demikian pula, dengan kitab suci agama Nasrani, sejarah keaslian perjanjian lima tidak begitu jelas.
Bahkan Michael Hart dalam bukunya seratus tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah menyatakan bahwa sebagian  terbesar informasi yang  diperoleh tentang  kehidupan Yesus tidak karu-karuan, simpang siur tak menentukan kaum Nasrani sangat sulit menelususri orisinalitas Injil. Lagi pula Injil tidak bisa disamakan dengan Al-Qur’an sebagai wahyu Allah atau disamakan dengan kata-kata Nabi Isa AS. Hart menulis bahwa “Orang yang menjadi penulis bagian-bagian penting perjanjian baru dan merupakan penganjur pertama orang-orang agar memeluk agama Nasrani adalah St. Paul.”

E.     Islam Aktual
Islam actual memahami ekspresi religious para penganutnya dalam bentuk pengamalan.  Dari sudut pandang ini, tampak corak dan ragam pengamalan yang berbeda-beda di satu tempat dengan tempat lainya. Namun, corak pengamalan itu terbatas pada hal yang bukan prinsip melainkan menyangkut dengan sesuatu yang biasa disebut dengan Furu’.
Dari sudut pandang doktrin, Islam adalah agama yang di wahyukan oleh Allah, agama satu-satunya yang benar dan diterima di sisi Allah sesuai dengan surat Ali Imran ayat 19. Disamping ajaran yang bersifat doktrin, Islam juga merupakan agama yang dapat diteliti dari berbagai sudut pandang seperti sejarahnya, akidahnya, hukumnya, moralnya dan sosiologinya.
Sedangkan dipandang dari penganutnya,  Islam dapat diteliti dari berbagai sudut pandang, misalnya bagaiamana ketaatan penganutnya terhadap agamanya. Dari segi ini, meminjam istilah Atho Muzhar, Islam dapat dipandang sebagai “Produk budaya, produk sejarah, gejala social dan lain-lain.” Islam sebagai Produk Budaya akan member corak yang  berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain karena masing-masing penganut  dimasing-masing wilayah akan berbeda-beda.
Dalam hal islam sebagai produk budaya dan sejarah memberikan gambaran kepada kita bahwa campur tangan manusia dlaam membedah atau memformulasikan  ajarna, mazhab, pendapat dan renungannya demikian dominan. Mereka sama-sama mendasarkan pendapatnya atas teks wahyu atau sunnah Nabi.  Menghadapi islam dalam wajahnya yang berasal dari produk sejarah mendorong kita untuk berijtihad untuk mencari kebenaran atau keluar dari lingkungan social keagamaan yang menurut penilaian kita tidak sesuai dengan teks yang ada.  

F.     Memahami Islam Secara Komprehenshif
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar orang berpendapat tentang Islam,  atau menyaksikan orang yang mengamalkan ajaran Isalam. Kadang-kadang kita menyaksikan ada pendapatnya yang ekstrim, yang longgar, bahkan ada yang serba boleh. Ada juga penilaian orang luar Islam terhadap islam yang  terkesan miring bahkan negative, di samping tidak sedikit yang netral dan fair.
Untuk memahami islam secara utuh (komprehenshif), memang tidak dapat hanya dengan mengandalkan satu pendapat. Orang memahami islam dari sudut tafsir al-Qur’an  saja, tanpa mempertimbangkan hal-hal yang lain, maka keislamannya dianggap parsial. Demikian juga, mengamalkan Islam dari sudut pandang hokum fiqih semata, juga akan tidak utuh. Dengan demikian, untuk memahami islam secara benar dapat ditempuh dengan beberapa cara yaitu:
Pertama,  Islam harus dipelajari dari sumber yang asli, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kekeliruan memahami islam adalah karena orang yang  hanya mengenalnya dari sebagian ulama dan pemeluknya yang telah  jauh dari bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau melalui pengenalan dari kitab-kitab fiqih dan tasawuf yang semangatnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Kedua, Islam harus dapat dipelajari secara integral, tidak parsial, artinya ia dipelajari secara menyeluruh sebagai suatu kesatuan yang bulat. Memahami Islam secara parsial akan menimbulkna sikap skeptic, bimbang, dan tidak pasti.
Ketiga, Islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama’ besar, kaum zua’ma dan sarjana-sarjana Islam, karena pada umumnya mereka telah memiliki pemahaman tentang islam yang menyeluruh.


BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pada uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan pada hakikatnya adalah suatu upaya untuk mentransformasikan nilai-nilai keislaman ke dalam berbagai bidang kehidupan manusia, khususnya ilmu pengetahuan.  Dengan Islamisasi ilmu pengetahuan dapat diketahui dengan jelas, bahwa Islam bukan hanya mengatur segi-segi ritualitas dalam arti sholat, puasa, zakat, dan haji melainkan sebuah ajaran yang mengintegrasikan segi-segi kehidupan dunia termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ditengah-tengah perdebatan disekitar setuju atau tidak setuju dengan Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut, tampaknya Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut pada akhirnya merupakan suatu keharusan. Lahirnya Industri perbankan yang berbasiskan Syariah seperti yang dipraktikan pada Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank Syariah  Mandiri, Bank BNI Syariah, Bank  BRI Syariah, Bank Mega Syariah dan sebagainya.


DAFTAR PUSTAKA


Abuddin Nata, 1998, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Didin Saefuddin Buchori, 2005, Metodologi Studi Islam, Bogor: Granada Sarana Pustaka.


0 komentar:

Posting Komentar

NB: Berikan Komentar yang sopan dan berkenaan dengan Artikel diatas.

Saya mohon maaf jika komentar sahabat dan rekan blogger terlambat di respon Karena banyaknya kegiatan yang mengikat he he he, Silahkan copas asalkan cantumkan juga sumbernya yah...!

Copyright: © 2012- By : Grup Syariah Metro™ Kumpulan Makalah Pendidikan Dan Tempat Berbagi Ilmu Pengetahuan
Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute