Yax kali ini GS akan memposting makalah Pluralisme Hukum di Indonesia Kalau beberapa hari yang lalu membahas makalah tentang Fomen Morfen Dan Kata Dalam Bahasa Indonesia tapi kali ini tampil beda hehehe,.. oke gak usah basa-basi lagi, ini dia makalahnya...!!!!
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan hukum nasional di indonesia berlangsung berseiring dengan perkembangan kekuasaan negara-negara bangsa. Tak terelak lagi kenyataannya memang demikian, karena apa yang disebut hukum nasional itu pada hakekatnya adalah hukum yang pengesahan pembentukan dan pelaksanaannya bersumber dari kekuasaan dan kewibawaan negara. Tatkala kehidupan berkembang ke dalam skala-skala yang lebih luas, dari lingkar-lingkar kehidupan komunitas lokal (old societies) ke lingkar-lingkar besar yang bersifat translokal pada tataran kehidupan berbangsa yang diorganisasi sebagai suatu komunitas politik yang disebut negara bangsa yang modern (new nation state), kebutuhan akan suatu sistem hukum yang satu dan pasti (alias positif!) amatlah terasa. Maka gerakan ke arah unifikasi dan kodifikasi hukum terlihat marak di sini, seolah menjadi bagian intheren dari proses nasionalisasi dan negaranisasi serta modernisasi yang amat mengesankan telah terjadinya pengingkaran eksistensi apapun yang berbau lokal dan tradisional.[1]
B. Rumusan Maslah
Melihat dari apa yang telah penulis papakan pada latar belakang masalah di atas penulis merumuskan masalah yaitu: Relevankahkah Pluralisme hukum yang ada di indonesia
BAB II PEMBAHASAN
A. Pluralisme Hukum
Pluralisme berasal dari bahasa Inggris: pluralism, terdiri dari dua kata plural (beragam) dan isme (paham) yang berarti beragam pemahaman, atau bermacam-macam paham Untuk itu kata ini termasuk kata yang ambigu (bermakna lebih dari satu).[2]
Sedangkan pengertian hukum adalah peraturan atau adat yg secara resmi dianggap mengikat, yg dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah.[3]
Jadi Pengertian Pluralisme Hukum adalah: Pluralisme hukum (legal pluralism) kerap diartikan sebagai keragaman hukum. Pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari satu aturan hukum dalam sebuah lingkungan sosial.[4]
B. Pluralisme Hukum di Indonesia
Pluralisme hukum (legal pluralism) kerap diartikan sebagai keragaman hukum. Menurut John Griffiths, pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari satu aturan hukum dalam sebuah lingkungan sosial (Griffiths, 1986: 1). Pada dasarnya, pluralisme hukum melancarkan kritik terhadap apa yang disebut John Griffiths sebagai ideologi sentralisme hukum (legal centralism).
Sentralisme hukum memaknai hukum sebagai ”hukum negara” yang berlaku seragam untuk semua orang yang berada di wilayah yurisdiksi negara tersebut. Dengan demikian, hanya ada satu hukum yang diberlakukan dalam suatu negara, yaitu hukum negara. Hukum hanya dapat dibentuk oleh lembaga negara yang ditugaskan secara khusus untuk itu. Meskipun ada kaidah-kaidah hukum lain, sentralisme hukum menempatkan hukum negara berada di atas kaidah hukum lainnya, seperti hukum adat, hukum agama, maupun kebiasan-kebiasaan. Kaidah-kaidah hukum lain tersebut dianggap memiliki daya ikat yang lebih lemah dan harus tunduk pada hukum negara (Griffiths, 2005: 71). [5]
Dalam perjalanannya, pluralisme hukum ini tidak terlepas dari sejumlah kritik, di antaranya: (1) pluralisme hukum dinilai tidak memberikan tekanan pada batasan istilah hukum yang digunakan; (2) pluralisme hukum dianggap kurang mempertimbangkan faktor struktur sosio-ekonomi makro yang mempengaruhi terjadinya sentralisme hukum dan pluralisme hukum. Selain itu, menurut Rikardo Simarmata, kelemahan penting lainnya dari pluralisme hukum adalah pengabaiannya terhadap aspek keadilan.
Lagi pula, pluralisme hukum belum bisa menawarkan sebuah konsep jitu sebagai antitesis hukum negara. Pluralisme hukum hanya dapat dipakai untuk memahami realitas hukum di dalam masyarakat.
C. Gerakan Pluralisme Hukum di Indonesia
Perkembangan pluralisme hukum dalam gerakan perubahan hukum muncul melalui advokasi-advokasi terhadap masyarakat adat. Dalam konteks ini, pluralisme hukum dipakai untuk membela tanah-tanah masyarakat yang diambil paksa oleh negara atau pelaku swasta (Simarmata, 2005). Hukum adat ditampilkan sebagai lawan dari hukum negara yang memberi keabsahan perampasan-perampasan tanah adat. Lagi pula, dalam UUPA ada peluang melalui aturan yang mengakui keberadaan tanah-tanah adat (ulayat). Singkatnya, konsep pluralisme hukum dipakai untuk mengangkat kembali keberadaan hukum adat, dalam upaya untuk melindungi sumber daya alam yang dimiliki masyarakat adat dari perampasan-perampasan yang diabsahkan hukum negara.[6]
Lebih jauh lagi, pluralisme hukum dipakai untuk mendorong pengakuan keberadaan masyarakat adat oleh negara. Salah satu keberhasilan gerakan ini adalah menggolkan aturan mengenai pengakuan dan penghormatan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat hak-hak tradisionalnya dalam Pasal 18B UUD 1945 pada amandemen kedua tahun 2000. Selain itu, kemunculan TAP MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria, yang di dalamnya diatur juga tentang masyarakat adat, juga tidak terlepas dari pengaruh pluralisme hukum. Sejak munculnya aturan ini, hampir semua produk hukum negara yang berkaitan dengan sumber daya alam memuat aturan mengenai masyarakat adat ini.
Di tataran praktis, gerakan untuk mendorong pengakuan masyarakat adat semakin masih dilakukan aktivis-aktivis pro-masyarakat adat. Di antaranya dengan melakukan pemetaan wilayah-wilayah adat di sejumlah tempat dan pendokumentasian hukum-hukum adat. Karena, dua hal inilah yang menjadi syarat utama untuk diakuinya keberadaan masyarakat adat. Selain itu, gerakan ini juga mendorong pemerintah-pemerintah daerah mengakui masyarakat adat melalui pembentukan sejumlah regulasi daerah. Di sisi lain, pemberlakuan otonomi daerah juga semakin memberi angin segar untuk gerakan ini.
Lebih jauh lagi, gerakan penggiat pluralisme hukum juga mencoba merambah ranah penyelesaian sengketa, yaitu dengan mendorong adanya pengakuan terhadap lembaga-lembaga penyelesaian hukum adat (peradilan adat). Hal ini dianggap sebagai salah satu jawaban terhadap situasi lembaga penyelesaian sengketa negara (pengadilan) yang bobrok, yang dinilai tidak dapat memberikan keadilan substantif. Gerakan ini intinya menawarkan untuk membiarkan masyarakat menyelesaikan persoalannya sendiri melalui peradilan adat tanpa melalui melibatkan pengadilan.
D. Irelevansi Pluralisme Hukum bagi Indonesia Sekarang Ini
Gerakan perubahan hukum di Indonesia dengan menggunakan pluralisme hukum sebagai pijakan, telah melangkah cukup jauh. Salah satunya adalah dengan diakuinya hak-hak masyarakat adat, termasuk hukumnya, dalam konstitusi.[7]
Masyarakat Indonesia memang merupakan masyarakat yang majemuk, tetapi bukan berarti bahwa pluralisme hukum merupakan jawaban atas adanya problem hukum di Indonesia.
Pluralisme hukum jelas mengakomodasi nilai-nilai tersebut, dan telah menjadi ancaman bagi demokratisasi di Indonesia. Pengabaian aspek keadilan dalam pluralisme hukum membuat cakupan hukum dalam pengertian pluralisme hukum juga hampir tidak mengenal batas. Sepanjang aturan tersebut dilahirkan dan diberlakukan dalam wilayah tertentu, ia sudah dapat dikatakan sebagai hukum. Tidak begitu penting apakah aturan tersebut dilahirkan dengan proses dominasi atau dimaksudkan untuk meminggirkan kelompok-kelompok tertentu (Simarmata, 2005). Singkatnya, semua nilai-nilai, termasuk nilai-nilai negatif, dapat tumbuh dan berkembang melalui pluralisme hukum.
Hal ini sebenarnya sudah terjadi ketika sejumlah peraturan daerah (perda) yang secara substantif meminggirkan kelompok-kelompok tertentu, berlaku di sejumlah daerah. Lihat saja Qanun di Aceh atau Perda Injil di Manokwari, begitu pula beberapa perda yang mewajibkan pelajar perempuan mengenakan jilbab. Dalam sudut pandang pluralisme hukum, hal semacam itu diakui sebagai implementasi dari pluralisme hukum. Sekali lagi terlihat di sini bahwa pluralisme hukum pada dasarnya tidak melihat apakah secara substantif hukum tersebut adil bagi semua orang.
BAB III KESIMPULAN
Pengertian Pluralisme Hukum adalah: Pluralisme hukum (legal pluralism) kerap diartikan sebagai keragaman hukum. Pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari satu aturan hukum dalam sebuah lingkungan sosial
Pluralisme hukum bisa menjadi ancaman serius bagi proses demokrasi di Indonesia. Dengan alasan pluralisme hukum, semua produk hukum dapat dipakai untuk menyuburkan nilai-nilai feodalisme, otoritarianisme, ketidakadilan ekonomi, dan bahkan dijadikan jalan bagi totalitarianisme. Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, Namun kita belum memiliki konstitusi yang kuat untuk menopang kemajemukan. Feodalisme masih begitu kental dalam seluruh segi kehidupan masyarakat kita. Kita masih juga masih belum lepas dari bayang-bayang otoritarianisme yang masih menghantui kita, ditambah dengan ancaman munculnya kembali totalitarianisme semakin menguat akhir-akhir ini. Oleh karena itu, pluralisme hukum, bagaimanapun juga, tidak relevan dengan kondisi sosial-politik Indonesia.
Disusun Oleh: Maksum B
[1] Soetandyo Wignjosoebroto, Masalah PH dalam Pemikiran & Kebijakan Perkembangan Hukum Nasional, Copyright: http://www.huma.or.id, Dikutip Selasa, 29 Mei 2012, Pkl: 20:14:17
[2] Pluralisme, Copyright : http://id.wikipedia.org, Dikutip Jum’at. 1 juni 2012, Pkl:19:55:46.
[3] http://artikata.com/arti-330210-hukum.html, Dikutip Sabtu, 1 juni 2012, Pkl:20:14:46.
[4] Bajangsasak, Difinisi Pluralism Hukum , Copyright: www.id.shvoong.com, Dikutip Selasa, 29 Mei 2012, Pkl: 20:33:17.
[5] Pluralisme, Op.cit.
6 dan 7 mana footnotenya
BalasHapus