SELAMAT DATANG SOBAT, JANGAN LUPA SIMPAN ALAMAT BLOG WWW.GRUPSYARIAH.BLOGSPOT.COM SUPAYA SOBAT MUDAH UNTUK BERKUNJUNG KEMBALI DISINI

Akibat Yang Timbul Serta Antisipasi Masuk Dan Berkembangnya Aliran Jabariyah

BAB I
PENDAHULUAN
Persoalan Iman (aqidah) sepertinya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam
tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama.
Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Syiah, Khawarij, Jabariyah dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya. Pada pembahasan kali ini akan mencoba menjelaskan tentang aliran Jabariyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Munculnya Aliran Jabariyah
1. Pengertian Jabariyah
Sebelum kita memahami dan mengenal lebih dalam mengenai sejarah kemunculan aliran Jabariyah ini, perlu kita ketahui apa arti dari kata dari Jabariyah itu sendiri.
Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara (bahasa arab) yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu (Abdul Razak, 2009 : 63). Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).
Dalam referensi Bahasa Inggris, Jabariyah disebut Fatalism atau Predestination, yaitu paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah (Harun Nasution, 1986 : 31). Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.
2. Latar Belakang Aliran Jabariyah
Faham Al-Jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah Teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah sekretaris Suraih bin Al Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayah. Dalam perkembangannya, paham Al-Jabar juga dikembangkan oleh Al-Husain bin Muhammad An Najjar dan Ja’d bin Dhirrar (http//www.jabariyah blog-spot.com).
Dalam kemunculannya para ahli sejarah merasa kesulitan untuk mengetahui siapa yang pertama-tama melahirkan paham tersebut, yang kemudian berkembang dan menjadi sebuah mazhab. Karena hal itu, para ahli sejarah kesulitan menentukan landasan mazhab ini. Nmaun, satu hal yang dapat dipastikan ialah bahwa paham Jabariyah mulai berkembang pada awal masa pemerintahan Bani Umayyah dan pada akhirnya berubah menjadi sebuah mazhab. Ada dua buah risalah yang ditulis oleh dua orang ulama yang hidup pada awal masa pemerintahan Bani Umayyah. Keduanya disebutkan oleh Murthada dalm kitabnya yang berjudul al Munyah wa al-Amal.
Salah satu risalahnya adalah yang ditulis oleh Hasan al-Bashri kepada sekelompok orang dari penduduk Bashrah yang menyiarkan paham Jabariyah. Dalam risalah itu tertulis:
“Barangsiapa tidak beriman kepada Allah serta ketentuan dan qadar-Nya, berarti telah kafir. Barangsiapa memikulkan dosanya kepada Tuhannya, berarti telah kafir. Sesungguhnya kepatuahan dan kedurhakaan terhadap Allah bukan atas dasar paksaan. Allah Maha Pemilik apa yang mereka miliki dan Maha Kuasa atas apa yang mereka kuasai. Jika mereka melakukan suatu ketaatan, Dia tidak ikut campur dalam perbuatan mereka itu. Jika mereka melakukan suatu kedurhakaan, maka kalauDia menghendaki, Dia akan ikut campur di dalamnya. Jika mereka tidak melakukan suatu perbuatan, Dia tidak akan memaksa mereka untuk melakukannya. Jika Dia memaksa seorang hamba untuk melakukan suatu ketaatan, niscaya gugurlah pahala perbuatan mereka, dan Jika Dia memaksa mereka untuk melakukan perbuatan maksiat, maka gugur pulalah dosa dari diri mereka. Sebaliknya, jika Dia membiarkan mereka, berarti Dia lemah dalam qudrah-Nya. Karena itulah, Dia menyembunyikan kehendak-Nya yang terdapat di dalam diri mereka sehingga jika mereka melakukan suatu ketaatan, maka sebenarnya itu merupakan kekuatan dari Allah.”
Diriwayatkan bahwa ‘ibn Abdullah bin ‘Abbas berkata, ‘Ketika saya duduk bersama ayahku, seorang laki-laki datang seraya berkata, ‘Wahai Ibnu ‘Abbas, di daerah ini ada sekelompok orang yang beranggapan bahwa mereka beranggapan dari pihak Allah dan Allah memaksa mereka untuk melakukan perbuatan maksiat.’ Ayahku berkata, ‘Jika saya mengetahui disini ada orang yang seperti itu, akan kucekik lehernya sampai mati. Janganlah kamu mengatakan bahwa Allah memaksa kamu untuk melakukan maksiat, dan jangan pula kamu mangatakan bahwa Allah tidak mengetahui apa yang dilakukan hamba-Nya, karena hal itu berarti kamu, merasa lebih tinggi dari Allah.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa paham itu sudah ada sejak masa shahabat, bahkan dianut oleh orang-orang musyrik. Akan tetapi, perbedaan yang terdapat pada masa pemerintahan Bani Umayyah, bahwa pada masanya paham itu sudah berkembang menjadi suatu mazhab yang memiliki banyak pendukung. Mereka menyiarkan, mempelajari, dan menyebarluaskannya kepada masyarakat.
Sebagian ahli mengatakan bahwa yang mula-mula menganut paham itu adalah sekelompok orang Yahudi. Mereka mengajarkannya kepada sekelompok umat Islam yang kemudian menyiarkannya. Ada pula yang mengatakan bahwa yang mula-mula menyerukan paham ini diantara umat Islam adalah Ja’d bin Dirham yang menerimanya dari seorang Yahudi di daerah Syam. Ia menyiarkan paham itu di Bashrah. Diantara penganut selanjutnya adalah Jahm ibnu Shafwan. Di dalam kitab Sarh al-‘Uyun dijelaskan keadaan Ja’d bin Dirham sebagai berikut:
Mayarakat mempelajri paham Jabariyah yang dinisbahkan kepada Al Jahm itu dari Jahm ibnu Shafwan. Ada pula yang mengatakan bahwa Ja’d menerima paham itu dari Aban ibnu Sam’an, dan ia menerimanya dari Aban ibnu Thalut ibnu ‘Asham al-Yahudi.
Akan tetapi, tidak dikatakan bahwa orang Yahudi tidak sendirian mengembangkan paham itu, kaarena diantara orang-orang Persia sebelumnya juga sudah terdapat pemikiran seperti itu.
Menurut Asy Syahratsani, Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu golongan ekstrim dan moderat. Diantara doktrin Jabariyah ekstrim adalah bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya jika seorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Diantan pemuka Jabariyah ekstrim adalah Jahm bin Shafwan dan Ja’d bin Dirham.
Berbeda dengan Jabariyah ekstrim, Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalam diri. Tenaga yng diciptakan dalam diri, manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquistin). Menurut paham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan. Diantara tokoh Jabariyah moderat adalah An-Najjar dan Adh-Dhirar.
Jaham bin Safwan akhirnya mati terbunuh dalam pertempuran dengan tentara Khalifah Bani Umayyah pada penghabisan tahun 131 H ( K.H Siradjudin. Abbas. 2010.  I’tiqad Alhussunah Wal Jama’ah. Pustaka Tarbiyah Baru: Jakarta. Hlm 277).
Kemudian kaum Jabariyah terpecah menjadi 3 firqah, yaitu:
1. Jahmiyah yang dikepalai oleh Jaham bin Safwan.
2. Najjariyah yang dikepalai oleh Husein bin Muhammad an Najjar.
3. Dlirariyah yang dikepalai oleh oleh Dlilar bin Umar.
Ketiga aliran tesebut berkembang setelah akhir abad ke II dan separuh abad ke III H yang pertama.
Jahm binSafwan (Imam Kaum Jabariyah) adalah murid Ja’ad bin Dirham, yait pelopor fatwa yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk dan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Lalu Ja’ad bin Dirham dihukum mati oleh penguasa pada tahun 124 H. karena fatwa-fatwanya yang sangat illhad dan zendiq (Al Milal wan Nihal I, hal 82).
B. Tokoh-Tokoh Serta Doktrin Ajaran Jabariyah
Adapun pokok-pokok ajaran Jabariyah dapat dibedakan berdasarkan menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim dan moderat.
Pertama, aliran ekstrim. Di antara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendaptnya adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga dan neraka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak. Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah.
Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Alquran adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.
Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.
Kedua, ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya) pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.

C. Perbandingan Aswaja Dengan Jabariyah
1. Tidak Ada Usaha Dan Ikhtiar Manusia
Sebenarnya I’tiqad tersebut sama dengan I’tiqad paham Aswaja, bahwa sekalian yang terjadi adalah dijadikan oleh tuhan semata.
Manusia berikhtiar dan berusaha, seperti contoh yang dikemukakan oleh gerak orang jatuh dengan orang melompat kebawah. Yang satu karena terpaksa (majbur) sedangkan yang kedua jatuh bersama ikhtiar, maka hasilnya juga akan berbeda. Maksudnya yaitu bahwa sesuatu yang diperbuat oleh manusia adalah pertemuan ikhtiar manusia dengan takdir Tuhan atau kata lain “pertemuan usaha dengan takdir”.
Akan tetapi celakanya pada paham Jabariah, pengertian tersebut sampai melampaui batas. Sampai-sampai berbuat kejahatan itu tidak dosa (mencuri, berzina, mabuk-mabukan, dll) karena yang meperbuat itu pada hakikatnya adalah Tuhan.
2. Iman Dalam Hati Saja
Kaum Jabariyah berfatwa bahwa “iman” itu cukup kalau sudah mengakui dalam hati saja, walaupun tidak diikrarkan dengan lisan.
Sedangkan menurut  Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa iman itu ialah membenarkan dalam hati dan mengakui dengan lisan. Maksudnya adalah bahwa iman itu tidak hanya diucapkan dalam hati saja, namun harus di ucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan.
3. Tidak Dapat Melihat Allah Di Surga
Menurut kaum jabariyah, bahwa tidak dapat melihat Allah di Surga oleh penduduk surga. Sedangkan menurut Aswaja bahwa kelak di akhirat dapat menyaksikan indahnya wajah Allah sebagai kenikmatan tertinggi (Drs. Khalimi, M.Ag. 2006. Akidah Akhlaq. Arya Duta: Jakarta, hlm 78-80) . Dasar ayat:
×nqã_ãr 7Í´tBöqtƒ îouŽÅÑ$¯R ÇËËÈ   4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ    
Artinya:
 “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat. (Q.S. AL Qiyamah [75]: 22-23)

D. Akibat Yang Timbul Dari Keberadaan Jabariyah
Kelompok Jabariyah adalah orang-orang yang melampaui batas dalam menetapkan takdir hingga mereka mengesampingkan sama sekalikekeuasaan manusia dan mengingkari bahwa manusiabisa berbuat sesuatu dan melakukan seuatu (usaha). Apa yang ditakdirkan oleh mereka pasti akan terjadi. Mereka  berpendapat bahwa manusia tepaksa melakukan segala perbuatan mereka dan manusia tidak mempunyai kekuasaan yang berpengaruh kepada perbuatan, bahkan manusia seperti bulu yang ditiup angin. Maka dari itu mereka tidak berbuat apa-apa karena berhujjah kepada takdir. Jika mereka mengerjakan suatu amalan yang bertentangan dengan syari’at, mereka merasa tidak bertanggung jawab atasnya dan mereka berhujjah bahwa takdir telah terjadi.
Akidah yang rusak semacam ini membawa dampak pada penolakan terhadap kemampuan manusia untuk mengadakan perbaikan. Dan penyerahan total kepada syahwat dan hawa nafsunya serta terjerumus kepada dosa dan kemaksiatan, karena menganggap bahwa semua itu telah di takdirkan Allah atas mereka. Maka mereka menyenanginya dan rela terhadapnya. Karena yakin bahwa segala yang telah ditakdirkan pada manusia akan menimpanya, maka tidak perlu seseorang untuk melakukan usaha karena itu tidak mengubah takdir. Keyakinan selama ini telah menyebabkan mereka meninggalkan amal shalih dan melakukan usaha yang dapat menyelamatkannya dari azab Allah, seperti shalat, puasa, da berdoa. Semua itu menurut keyakinan mereka tidak ada gunanya karena segala apa yang ditakdirkan Allah akan terjadi sehingga doa dan usaha tidak berguna baginya. Lalu mereka meninggalkan amar ma’ruf dan tidak memperhatikan penegak hokum. Karena kejahatan merupakan tekdir yang pasti akan terjadi. Sehingga mereka menerima begitu saja kedzaliman orang-orang dzalim dan kerusakan oleh para perusak, karena apa yang dilakukan mereka telah ditakdirkan dan dikehendaki oleh Allah.
Para ulama Aswaja telah menyangkal anggapan orang-orang sesat itu dengan pembatalan dan panolakan terhadap pendapat mereka. Menjelaskan bahwa keimanan kepada takdir tidak bertentangan dengan keyakinan bahwa manusia mempunyai keinginan dan pilihan dalam perbuatannya serta kemampuannya untuk melaksanakannya.

E. Mengatasi Masuk Dan Berkembangnya Aliran Jabariyah
Untuk mengatasi masuk dan berkembangnya aliran jabariyah ini  ada beberapa langkah yaitu:
  1. Tingkatkanlah membaca, memahami dan mengamalkan  Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Dalam kehidupan ini hanya Al-Qur’an dan Al-Sunnah saja yang menjadi rujukan, tidak boleh sedikitpun ragu terhadap keduanya.
  2. Jangan mudah bergabung dan terpengaruh dengan kelompok-kelompok tertentu yang memakai Islam dan kajian Islam sebagai media. Pelajari dahulu siapa mereka dan bagaimana latarbelakangnya.
  3. jauhi diri dengan kelompok yang berpaham liberal, sekuler, plural, nasional dan seumpamanya. Biasanya berawal dari kerancuan pemikiran mereka ummat Islam terseret kedalam kelompok aliran sesat dengan mengatasnamakan Islam.
  4. Jangan menyalahkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Karena kedua pedoman hidup tersebut suda mu’tamat kebenarannya, karena itu jangan pernah ada ummat Islam yang menyalahkannya sebagaimana yang dilakukan oleh golongan liberalis.
  5. Jangan bergabung dengan non muslim dengan menyisihkan muslim karena sesama muslim adalah bersaudara dan dengan afir adalah musuh yang nyata.
BAB III
KESIMPULAN
Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara (bahasa arab) yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu.  Faham Al-Jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan.
Kelompok Jabariyah adalah orang-orang yang melampaui batas dalam menetapkan takdir hingga mereka mengesampingkan sama sekalikekeuasaan manusia dan mengingkari bahwa manusiabisa berbuat sesuatu dan melakukan seuatu (usaha). Apa yang ditakdirkan oleh mereka pasti akan terjadi. Mereka  berpendapat bahwa manusia tepaksa melakukan segala perbuatan mereka dan manusia tidak mempunyai kekuasaan yang berpengaruh kepada perbuatan, bahkan manusia seperti bulu yang ditiup angin. Maka dari itu mereka tidak berbuat apa-apa karena berhujjah kepada takdir.
Adapun perbandingan antara pandangan aliran jabariyah dengan Aswaja yaitu ada tiga perbandingan ulama yaitu:
1. Tidak Ada Usaha Dan Ikhtiar Manusia
2. Iman Dalam Hati Saja
3. Tidak Dapat Melihat Allah Di Surga
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Khalimi, M.Ag. 2006. Akidah Akhlaq. Arya Duta: Jakarta
Abbas , Siradjudin.. 2010.  I’tiqad Alhussunah Wal Jama’ah. Pustaka Tarbiyah Baru: Jakarta
http//www.jabariyah blog-spot.com

0 komentar:

Posting Komentar

NB: Berikan Komentar yang sopan dan berkenaan dengan Artikel diatas.

Saya mohon maaf jika komentar sahabat dan rekan blogger terlambat di respon Karena banyaknya kegiatan yang mengikat he he he, Silahkan copas asalkan cantumkan juga sumbernya yah...!

Copyright: © 2012- By : Grup Syariah Metro™ Kumpulan Makalah Pendidikan Dan Tempat Berbagi Ilmu Pengetahuan
Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute