Sejarah Kemunculan Aswaja Dilihat
Dari Latar Belakang Sosial Politik, Dan Agama | Makalah yang membahas Filosofi
Analisis (GS)
Pada masa
Rasulullah SAW. masih hidup, istilah Aswaja sudah pernah ada tetapi tidak
menunjuk pada kelompok tertentu atau aliran tertentu. Yang dimaksud dengan
Ahlussunah wal Jama’ah adalah orang-orang Islam secara keseluruhan.
Ada sebuah hadits yang mungkin
perlu dikutipkan telebih dahulu:
إن
بني إسرائيل تفترق على ثنتين وسبعين ملة وستفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في
النار إلا ملة واحدة، قالوا من هي يارسول الله: قال ما انا عليه وأصحابي.
Artinya : Rasulullah SAW
bersabda: “ Sesungguhnya bani Israil akan terpecah menjadi 70 golongan dan
ummatku terpecah menjadi 73 golongan dan semuanya masuk neraka kecuali satu
golongan. Para Shohabat bertanya : Siapa yang satu golongan itu? Rasulullah
SAW. menjawab : yaitu golongan dimana Aku dan Shahabatku berada.
Hadits inilah
yang sering digunakan oleh orang-orang NU sebagai salah satu dalil atau dasar
tentang Ahlussunah wal Jamaah.
Sejarah
tentang paham atau aliran pemikiran Ahlussunah wal Jamaah itu kira-kira muncul
mulai kapan? Tadi sudah dikatakan paham atau aliran Ahlussunah wal Jamaah baik
aliran keagamaaan atau aliran pemikiran pada zaman Nabi belum ada. Kalau
istilahnya memang sudah. Coba kita bersama-sama melihat skema yang saya buat
sebagai panduan: (gambar skema)P ernah membaca sejarah Islam ya…? Dalam sejarah
Islam kita mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW. wafat, sebagai khalifah (kepala
negara) yang pertama terpilih itu siapa? Abu Bakar ash Sidiq. Beliau jadi
khalifah itu ditunjuk oleh Nabi Muhammad atau bagaimana? Kesepakatan atau
musyawarah para sahabat, dia terpilih melalui forum atau lembaga yang sangat
demokratis. Jadi tidak ditunjuk oleh Nabi tetapi melalui kesepakatan para
Sahabat pada waktu itu. Kemudian ketika Abu Bakar ash Shidiq meninggal diganti
oleh siapa? Umar bin Khattab. Umar bin Khattab menjadi khalifah itu ditunjuk
oleh abu bakar atau siapa? Ditentukan oleh para Sahabat tetapi bersifat tidak
langsung. Setelah Umar wafat diganti oleh Utsman bin Affan, juga melalui musyawarah.
Inilah yang disebut sebagai dasar-dasar demokrasi. Jadi demokrasi itu sudah
jalan. Setelah Rasulullah SAW meninggal itu negara Islam yang pertama setelah
Rasulullah SAW itu ditentukan melalui sistem demokrasi. Setelah Utsman wafat,
yang terpilih menjadi khalifah itu siapa? Shahabat Ali bin Abi Thalib. Nah,
kita melihat sejarah kemunculan Ahlussunah wal Jamaah itu bisa ditelusuri sejak
pemerintahan Ali bin Abi Thalib.Pada jaman pemerintahan Utsman itu ada seorang
Gubernur Syiria yang bernama Muawwiyah bin Abu Sufyan. Nah ketika Ali bin Abi
Thalib terpilih menjadi presiden/khalifah itu Muawwiyah tidak setuju dan
melakukan pemberontakan. Disini terjadi perang antara Ali melawan Muawwiyah.
Nah kita coba
telusuri sejak ini kemunculannya (kemunculan Aswaja). Ini terjadi sekitar tahun
35 – 40 H. Perang antara pasukan Ali dan Muawwiyah kira-kira dimenangkan oleh
siapa? Ali bin abi Thalib. Akhirnya perang dimenangkan oleh Ali bin Abi Thalib.
Dalam pertempuran-kalau kita baca sejarahnya- ketika Muawwiyah bin Abu Sufyan
pasukannya hampir terdesak dia mengibarkan berndera putih tanda menyerah dengan
Al Quran di atas minta perdamaian.Maka terjadilah perundingan antara Ali bin
Abi Thalib dengan Muawwiyah untuk merembug tentang perdamaian maka diutuslah
(cara sekarang diplomat), Ali bin Abi Thalib diwakili oleh Abu Musa al Asy’ari
kemudian Muawwiyah diwakili oleh Amru bin Ash. Terjadi perundingan yang dalam
sejarah disebut dengan Tahkim. Nah dalam perundingan disini terjadi ketidak
seimbangan basic pengetahuan atau latar belakang keilmuan. Abu Musa al Asy’ari
adalah seorang Ulama, sedangkan Amru bin Ash adalah seorang politisi. Tadinya
adalah pejabat Gubernur, sementara Abu Musa adalah orang tua (kasepuhan) juga
seorang tokoh ulama. Sehingga terjadi ketidakseimbangan.Disinilah kemudian
menimbulkan konflik. Amru bin Ash mengatakan pada Abu Musa al Asy’ari, “Wahai
Abu Musa, marilah kita pertama-tama membuat kesepakatan bahwa pemerintahan itu
berada ditengah-ditengah (kosong/tidak ada yang menduduki). Marilah kita umumkan
kepada publik bahwa sebelum perundingan dimulai pemerintahan kosong atau tidak
diduduki baik oleh pemerintah yang sah (Ali bin Abu Thalib) maupun Muawwiyah”.
Nah kemudian Abu Musa al Asy’ari setuju : “Kalau memang itu jalan terbaik,
setuju saya.” Setelah setuju dia mengatakan : “Siapa dulu yang akan
mendeklarasikan, akan mengumumkan kepada publik bahwa pemerintahan itu kosong?”
di sini nalar politik Amru bin Ash mulai bermain, “Ini karena panjenengan itu
lebih sepuh, lebih alim maka panjenengan dulu yang mengatakan”. Akhirnya
naiklah mimbar, diumumkan oleh Abu Musa Al asy’ari: “Wahai saudara-saudara kaum
Muslimin, penduduk Makkah dan Madinah yang saya hormati, dengan ini saya Abu
Musa Al Asy’ari mewakili pemerintahan yang sah (Ali bin Abi Thalib) meletakkan
jabatan”. Akhirnya jabatan khalifah Ali itu diletakkan. Seharusnya yang kedua
(Amru bin Ash) mengatakan hal yang serupa. Akan tetapi ternyata ketika naik
panggung Amru bin Ash mengatakan: “Saudara-saudara kaum muslimin yang
berbahagia, Abu Musa Al Asy’ari mewakili khalifah Ali telah meletakkan jabatan,
maka dengan ini jabatan khalifah saya ambil untuk diserahkan pada Muawwiyah bin
Abu Sofyan”. Nah akhirnya, ketika perang itu Sahabat Ali yang menang, tetapi
ketika perundingan Muawwiyah yang menang karena taktik politik. Nah akhirnya
yang kalah (kubu Ali) inilah terpecah menjadi 2 golongan yaitu Syiah dan
Khawarij.Yang Syiah adalah pendukung setia Ali. Sedangkan Khawarij tidak setuju
Muawwiyah dan tidak setuju Ali karena alasanya karena membuat keputusan hukum
tidak menggunakan hukum Allah atau hukum Al Qur’an sehingga Khawarij (Kharaja:
keluar). Nah sehingga pada masa pemerintahan Muawwiyah awal ini, masyarakat
ummat Islam itu sudah terpecah menjadi 3 golongan. Yang pertama pengikut Ali
yang setia, yang kedua golongan yang menolak Ali dan Muawiyah, yang ketiga
adalah pendukung Muawwiyah.
Disinilah pada
tahun sekitar akhir 40an Hijriah ini ummat Islam yang tadinya satu terpecah
menjadi 3 golongan (Syiah, Khawarij dan pendukung Muawiyyah).Kemudian dalam
rangka melanggengkan kekuasaan (kekuasaan mulai turun temurun/dinasty) Muawiyah
membuat aliran keagamaan yang dikenal dengan Jabariyyah. (Disini ada juga
masyarakat muslim yang netral, tidak ngeblok kesana maupun kesini atau golput
tidak ikut faksi politik) Semua masyarakat pada waktu itu kecuali golongan
Muawiyyah memandang bahwa perebutan kekuasaan dari tangan Ali ke Muawiyyah
tidak melalui proses politik yang benar atau tidak mengindahkan etika politik
Islam. Kemudian khalifah membuat paham keagamaan Jabariyyah yang antara lain
mengatakan bahwa: “Semua yang terjadi di dunia ini adalah kehendak Allah.
Termasuk Muawiyyah salah ketika memerangi Ali, tetapi bahwa Muawwiyah menang
itu juga sudah dikehendaki oleh Allah”. Pendeknya semua apapun yang dilakukan
manusia adalah sudah dikehendaki dan dinginkan oleh Allah. Inilah ajaran dari
paham Jabariyyah. Sehingga kemunculan paham Jabariyah ini adalah dalam rangka
untuk kepentingan politik untuk melegitimasi kekuasaan bani Muawiyah bin Abu
Sufyan yang mengatakan bahwa manusia ini tidak punya kekuasaan untuk
berkehendak. Semuanya sudah dikehendaki oleh Allah SWT. Banyak Ayat al Qur’an
yang dipakai/disitir untuk melegitimasi diantaranya adalah :“… Wamaa ramaita
idzromaita walaaa kinnalllaaha ramaa…”Ada ayat Al Qur’an yang mengatakan bahwa
tidaklah engkau memanah ketika engkau memanah, melainkan Allahlah yang memanah.
Ini salah satu ayat yang digunakan oleh para ulama, para kyai yang mendukung
aliran Jabariyah mungkin para ulama, para kyai yang ingin dekat dengan
kekuasaan, ingin mendapatkan fasilitas dari kekuasaan, mungkin mendukung aliran
ini dan ikut menyebarkan. Nah inilah yang kemudian kita menyebutnya sebagai
ajaran fatalisme. Mengapa Muawiyyah menyebarkan ajaran paham Jabariyah? Karena
untuk melindungi cara-caranya ketika mengalahkan Ali melalui peristiwa Tahkim
atau arbitrase. Nah kemudian dari akibat paham Jabariyah ini kemudian muncul
banyak pengemis.Ekonomi itu hancur, manusia banyak yang tidak berusaha (Hanya
menjalankan rutinitas ritual peribadatan tanpa berusaha mencari rizky, karena
memandang bahwa rizky itu sudah diatur oleh Allah, akan datang dengan
sendirinya). Sebagai perimbangan kemudian muncullah paham baru yang dipelopori
oleh cucu Ali bin Abu Thalib (Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi
Thalib) yang bernama Qodariyah. Paham ini mengajarkan sebaliknya dari paham
Jabariyah. Bahwa manusia ini yang berkehendak atau yang berkuasa, Allah tidak
turut campur terhadap apa yang dilakukan oleh manusia. Oleh karena manusia
berkehendak, Allah tidak turut campur maka manusia harus bertanggung jawab
terhadap perbuatannya. Paham ini dalam rangka melawan terhadap berkembangnya
paham Jabariyah, ini juga menggunakan ayat-ayat Al Quran diantaranya misalnya
tentang:“…maa yughoyu ruqomun khatta yughoyuru bi anfusihim… “Artinya : “…
tidak akan berubah suatu kaum kecuali kaum itu yang merubah….” Nah di sini
mulai ada reformasi (pembaruan). Kemudian khalifah bani Muawiyyah ini
digulingkan oleh kekhalifahan Abassiyah (Muawiyyah = Umayyah). Kekhalifahan
Abassiyah ini murni, pemerintahannya memang maju pesat. Karena berprinsip bahwa
manusia tidak bisa mengandalkan pada takdir, tetapi kalau ingin maju maka harus
merubah dirinya sendiri. Kemudian aliran qodariyah ini pada zaman Abassiyah
(kalau sebelumya hanya sekedar menjadi kritik atas paham Jabariyah) menjadi
spirit pembangunan negara yang kemudian turunannya (dengan sedikit modifikasi)
kita kenal sebagai paham Mu’tazilah.Paham Mu’tazilah ini karena pada mulanya
dalam rangka memberi kekuatan pada manusia bahwa manusia mempunyai kehendak,
dan prinsipnya dia menggunakan prinsip akal, segala sesuatu yang masuk akal,
segala sesuatu harus dirasionalkan, sehingga ini keblabasan karena semuanaya
serba akal dan kehendak manusia (akal mutlak). Sampai ada terjadi peristiwa
ketika salah satu keturunan Abassiyah ini menggunakan paham Mu’tazilah sebagai
paham resmi negara, sehingga timbul korban yang tidak mengikuti paham
Mu’tazilah dibunuh dan lain sebagainya.
Nah akhirnya
lahirlah seorang ulama besar (dulunya pengikut Mu’tazilah) yang bernama Abu
Hasan Al Asy’ari menyatakan diri keluar dari paham Mu’tazilah. Beliau berada di
tengah, tidak mengikuti dua kubu ekstrim Jabariyah maupun Qodariyah. Beliau
memproklamasikan kembali pada “maa anna alaihi wa ashabihi” sebuah kelompok
dimana Rasulullah dan para Sahabat berada di dalamnya. Nah paham tengah ini
yang merujuk kepada maa alaihi wa ashabihi yang kemudian oleh Abu Hasan Al
Asy’ari ini disebut sebagai Ahlussunah wal Jama’ah.Kalau paham Qodariyah dan
paham Mu’tazilah itu mengatakan bahwa manusia punya kehendak (free will).
Sedang paham Jabariyah itu mengatakan bahwa manusia itu tidak punya kehendak
(fatalisme/taqdir). Nah, dalam teologi Aswaja yang dirumuskan Abu Hasan Al
Asy’ari ini menyatakan bahwa manusia itu punya kehendak Akan tetapi kehendak
itu diketahui oleh Allah. Manusia punya kehendak tetapi kehendak itu dibatasi
oleh taqdir Allah. Jadi kalau Jabariyah ini murni taqdir apapun yang dia
lakukan adalah taqdir, termasuk ketika mencuri sekalipun. Misalanya ketika
ditanya: “Kenapa kamu mencuri..?” Maka Jabariyah akan menjawab: “Lha wong saya
ditaqdirkan mencuri, maka jangan salahkan saya donk, tanyakan sama Allah”. Ini
didobrak habis-habisan oleh Qodariyah yang mengedepankan tanggung jawab
individu dengan kehendak bebas manusia, yang pada kelanjutannya keblabasan
menjadi paham yang merasionalkan ajaran-ajaran agama (Mu’tazilah). Kemudian
lahirlah paham tengah-tengah Ahlussunah wal Jama’ah, konteksnya kembali pada
semanagat awal Islam ma anna alaihi wa ashabihi yang dipelopori oleh dua ulama besar
pada waktu itu Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi, ini dalam
bidang teologi/tauhid.Kemudian dalam bidang Fiqih lahirlah ulama-ulama besar
yang merumuskan fiqih dengan mendasarkan kepada Ahlussunah, artinya kepada
kebiasaan-kebiasaan Rasulullah dan para Sahabat (para Sahabat itu artinya wal
Jama’ah ya…) kemudian lahirlah Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali), kemudian
Imam Malik, Imam Syafi’i, kemudian Imam Hanafi. Imam Ahmad bin Hanbal inilah
yang merupakan korban dari kekuasaan Bani Abassiyah ketika mengharuskan
warganya menggunakan aliran yang dikembangkan oleh Mu’tazilah dalam bidang
Fiqih. Dan masih banyak imam-imam yang lain tetapi yang paling kita kenal
adalah ini, yang kita sebut dengan empat madzhab.
Sehingga orang
Ahlussunah wal Jama’ah sering dikatakan: “orang Islam yang secara teologi
mengikuti ijthad Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi dan secara
Fiqih mengikuti ijtihad salah satu madzhab yang empat yaitu Imam Ahmad bin
Hanbal, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Maliki kemudian dalam bidang tasawuf
mengikuti ijtihad ulama besar Imam Al Ghazali.
Inilah kemudian kita sampai pada
pengertian Aswaja. Pertama kalau kita melihat ijtihadnya ulama-ulama tersebut
di atas maka pengertian yang pertama adalah. Definisi kedua adalah (melihat
cara berpikir dari berbagai kelompok aliran yang bertentangan); orang-orang
yang memiliki metode berpikir keagamaan yang mencakup aspek kehidupan yang
berlandaskan atas dasar moderasi menjaga keseimbangan dan toleransi. Ahlussunah
wal Jama’ah ini tidak mengecam Jabariyah, Qodariyah maupun Mu’tazilah akan
tetapi berada di tengah-tengah dengan mengembalikan pada ma anna alaihi wa
ashabihi.Nah itulah latar belakang sosial dan latar belakang politik munculnya
paham Aswaja. Jadi tidak muncul tiba-tiba tetapi karena ada sebab, ada ekstrim
mutazilah yang serba akal, ada ekstrim jabariyah yang serba taqdir, aswaja ini
di tengah-tengah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Aswaja sebagai sebuah
paham keagamaan (ajaran) maupun sebagai aliran pemikiran (manhajul fiqr)
kemunculannya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dinamika sosial politik pada
waktu itu, lebih khusus sejak peristiwa Tahqim yang melibatkan Sahabat Ali dan
sahabat Muawiyyah sekitar akhir tahun 40 H.]
Demikian yang
bisa saya sampaikan tentang latar belakang kemunculan Ahlussusnah wal Jama’ah
dilihat dari latar belakang sosial dan politik.
Mengenal Aswaja
Secara
sederhana dalam perspektif teks, ASWAJA diterjemahkan sebagai: sekelompok
golongan yang mengikuti, meyakini, dan mengamalkan sikap, perbuatan, dan
perkataan yang dijalankan oleh Rasul SAW, Sahabatnya, dan para pengikut
sahabatnya dimanapun berada, kapan pun dan siapa pun (4 ulama’ madzab,
salafussholikh, dll).
Awal munculnya ASWAJA menjadi
salah satu kelompok dalam kehidupan social, adalah karena perdebatan teologi,
di sini ada Mu’tazilah (akal), Syi’ah (percaya mutlak ahlul bait), Khowarij
(tekstual), dan ASWAJA (moderat) Muncul sebagai alternatif perdebatan
kelompok-kelompok tersebut).
Prinsip yang
dikembangkan ASWAJA adalah prinsip moderat (tengah-tengah), Wasathon,
mempertimbangan teks dan konteks, prinsip seperti itu sebenarnya telah ada
dalam pesan risalah nubuwwah Muhammad SAW, baik dalal al-qur’an maupun dalam
al-hadits. Dalam prisip dan sikap seperti ini, ASWAJA selalu menjadi solusi
alternatif dalam setiap persoalan perdebatan yang bersifat dhonni (masih butuh
penafsiran), dengan mengedepankan pendapat yang paling benar, paling
bermanfaat, dan menghilangkan kemadlorotan (usulul fiqhi). Tokoh perintis faham
ASWAJA, Abu hasan al-Basri (w.110 H/728M), Abu Hasan Al-Asy’ari (w.324 H/935
M), dan Abu Mansur al-Maturidzi (w.331 H/944 M), dan banyak ulama’ sunni
lainnya.
Perkembangan Aswaja
Menilik
perjalanan ASWAJA sebagai sebuah pola berfikir dan bertindak adalah tidak lepas
dari sejarah masuknya Islam ke Indonesia, dengan corak ke-sunni-annya. Di mana
ulama sunni, baik dari cina, India, maupun timur tengah sambil berdagang mampu
menyebarkan Islam ala Sunni, dengan prinsip moderat-nya, sehingga Islam bisa
diterima masyarkat pribumi dengan elegan tanpa paksaan dan kekerasan. Islam
mampu berdialektika dengan budaya local yang sudah berkembang, Hindu, Budha,
Animisme, Dinamisme, dan adat Istiadat masyarakat Indonesia lainnya. Begitu
pula yang dilakukan oleh para Wali Songo, mereka mampu meng-islam-kan Jawa
dengan wajah moderatnya.
Artinya sebenarnya model Islam
yang seprti itulah, (sunni, moderat, mengedepankan maslahah, menghilangkan
madlarat) yang sejak awal berkembang dan bisa diterima oleh masyarkat
Indonesia. Sehingga nilai Islam sebagai Agama Universal (rahmatan lil ‘alamin)
menjadi kelihatan semakin nyata.
Model Islam sunni/Islam ASWAJA
inilah yang kemudian mendorong lahirnya ornganisasi kemasyarakatan yang
ber-visi sosil-keagamaan, yakni Nahdlatul Ulama’ (NU), yang sampai sekarang memegang
teguh identitas tersebut sebagai senuah Nilai, idiologi, dan doktrin
kedisiplinan. dan PMII adalah bagi dari dinamika perkembangan ke-NU-an di
kalangan pemuda, terutama Mahasiswa (simak sejarah lahirnya PMII).
Pada
perkembangan berikutnya lahirlah doktrin ASWAJA an-Nahdliyah yang dimotori oleh
(alm.) K.H. Hasyim Asy’ari (Ra’is Akbar NU pertama). Dengan secara tekstual
menajdikan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai landasan utamanya. Serta fiqih/usul
fiqih (Ijama’ dan Qiyas, serta maslahatul mursalah) sebagai landasan
kontekstualnya, sehingga dari kedua landasan tersebut, lahir dialektika antara
tekS dan konteks dalam mengambil keputusan, tindakan, pemikiran, dll. Maka
tidak ada lain pola fakir yang dikedepankan adalah menolak bahaya (madlarat),
mendatangkan kebaikan (maslahah). Dengan mengedepankan prinsip umum
“al-muhafadzotu alaa qodimi al-sholikh, wal akhdzu bi al-jadiidil aslakh”,
Yakni menjaga tradisi lama yang baik, dan mengembangkan (kreatif) sesuatu baru
yang lebih baik”.
Ethik Aswaja Pmii Sebagai
Sebuah Spirit Pikir Dan Gerak Kader
Secara singkat
posisi Aswaja di PMII dapat dilihat sebagai berikut. Dalam upaya memahami,
menghayati, dan mengamalkan Islam, PMII menjadikan ahlussunnah wal jama’ah
sebagai manhaj al-fikr sekaligus manhaj al-taghayyur al-ijtima’i (perubahan
sosial) untuk mendekonstruksikan sekaligus merekonstruksi bentuk-bentuk
pemahaman dan aktualisasi ajaran-ajaran agama yang toleran, humanis,
anti-kekerasan, dan kritis-transformatif (dalam NDP dan PKT PMII).
Bagi PMII, Aswaja merupakan basis
dasar nilai organisasi. Hal ini berarti kehidupan dan gerakan PMII senantiasa
dilandasi oleh nilai-nilai tersebut sehingga secara langsung membentuk
identitas komunitas. Lebih dari itu, Aswaja merupakan inspirasi gerakan dan
sekaligus alat bergerak yang membimbing para aktivisnya dalam memperjuangkan
cita-cita kebangsaan dan kemanusiaan. Ini sudah dibuktikan misalnya komitmen
gerakan yang tidak melenceng dari cita-cita kebangsaan itu, sementara di sisi
lain tetap berkomitmen dengan cita-cita Islam yang humanis, pluralis,
demokratis, egaliter, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Di atas
landasan ini pula organisasi PMII bergerak membangun jati diri komunitasnya dan
arah gerakannya. Berikut ini beberapa nilai-nilai yang terkandung dalam Aswaja
PMII:
Maqosidu Al-Syar`iy (Tujuan
Syariah Islam)
- Hifdzunnafs (menjaga jiwa)
- Hifdzuddin (menjaga agama)
- Hfdzul `aqli (menjaga aqal)
- Hifdzulmaal (menjaga harta)
- Hifdzul nasab (menjaga nasab)
Kontekstualisasi nilai-nilai yang
terkandung dalam Maqosidu Al-Syar`iy :
Hifzunnafs Menjaga hak hidup (hak
azazi manusia)
Hifdzuddin pluralisme (kebebasan
berkeyakinan)
Hfdzul `aqli (kebebasan berfikir)
Hifdzulmaal (kebebasan mencari
penghidupan)
hifdzul nasab (kearifan local)
Karakteristik ulama ahlussunnah waljama`ah
dalam berfikir dan bertindak
Tasamuh (toleran)
Tawazun (menimbang-nimbang)
Ta’adul (berkeadilan untuk semua)
`Adamu ijabi birra`yi. (tidak
merasa paling benar)
`Adamuttasyau` (tidak terpecah
belah).
`Adamulkhuruj. (tidak keluar dari
golongan)
Alwasatu.(selalu berada
ditengah-tengah)
Luzumuljamaah. (selalu berjamaah)
`Adamu itbailhawa (tidak
mengikuti hawa nafsu)
Puncak dari semuanya adalah
Ta’awun (saling tolong menolong)
Aswaja Sebagai Manhaj al-fikr
Dalam wacana
metode pemikiran, para teolog klasik dapat dikategorikan menjadi empat
kelompok. Pertama, kelompok rasioalis yang diwakili oleh aliran Mu’tazilah yang
pelapori oleh Washil bin Atho’, kedua, kelompok tekstualis dihidupkan dan
dipertahankan oleh aliran salaf yang munculkan oleh Ibnu Taimiyah serta
generasi berikutnya. Ketiga, kelompok yang pemikirannya terfokuskan pada
politik dan sejarah kaum muslimin yang diwakili oleh syi’ah dan Khawarij, dan
keempat, pemikiran sintetis yang dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu
Mansur al-Maturidi.
Didalam PMII
Aswaja dijadikan Manhajul Fikri artinya Aswaja bukan dijadikan tujuan dalam
beragama melainkan dijadikan metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran
agama. Walaupun banyak tokoh yang telah mencoba mendekontruksi isi atau konsep
yang ada dalam aswaja tapi sampai sekarang Aswaja dalam sebuah metode berfikir
ada banyak relevasinya dalam kehidupan beragama, sehingga PMII lebih terbuka
dalam mebuka ruang dialektika dengan siapapun dan kelompok apapun.
Rumusan aswaja
sebagai manhajul fikri pertama kali diintrodusir oleh Kang Said (panggilan
akrab Said Aqil Siradj) dalam sebuah forum di Jakarta pada tahun 1991. Upaya
dekonstruktif ini selayaknya dihargai sebagai produk intelektual walaupun juga
tidak bijaksana jika diterima begitu saja tanpa ada discourse panjang dan
mendalam dari pada dipandang sebagai upaya ‘merusak’ norma atau tatanan
teologis yang telah ada. Dalam perkembangannya, akhirnya rumusan baru Kang Said
diratifikasi menjadi konsep dasar aswaja di PMII. Prinsip dasar dari aswaja sebagai
manhajul fikri meliputi ; tawasuth (mederat), tasamuh (toleran) dan tawazzun
(seimbang). Aktualisasi dari prinsip yang pertama adalah bahwa selain wahyu,
kita juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun tidak terjebak
pada mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada
apakah dan bagaimana dia menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya ada sebuah
keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam antara wahyu dan akal sehingga kita
tidak terjebak pada paham skripturalisme (tekstual) dan rasionalisme.
Selanjutnya, dalam konteks hubungan sosial, seorang kader PMII harus bisa
menghargai dan mentoleransi perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan
sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar
pendapat kita pada orang lain, yang diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan
dan mendialiektikakakan keyakinan atau pendapat tersebut, dan ending-nya
diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari Tuhan. Ini adalah
menifestasi dari prinsip tasamuh dari aswaja sebagai manhajul fikri. Dan yang
terakhir adalah tawazzun (seimbang). Penjabaran dari prinsip tawazzun meliputi
berbagai aspek kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat sosial
maupun dalam konteks politik sekalipun. Ini penting karena seringkali tindakan
atau sikap yang diambil dalam berinteraksi di dunia ini disusupi oleh
kepentingan sesaat dan keberpihakan yang tidak seharusnya. walaupun dalam
kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan mungkin tidak ada orang yang tidak
memiliki keberpihakan sama sekali, minimal keberpihakan terhadap netralitas.
Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa memandang dan
menposisikan segala sesuatu pada proporsinya masing-masing adalah sikap yang
paling bijak, dan bukan tidak mengambil sikap karena itu adalah manifestasi
dari sikap pengecut dan oportunis.
Aswaja dan tantangan masa kini
dan masa depan
Sebelum
kelompok-kelompok teologis dalam Islam lahir, Ahlussunnah Wal Jamaah
(selanjutnya disebut Aswaja) adalah umat Islam itu sendiri. Namun setelah
kelompok-kelompok teologis muncul, Aswaja berarti para pengikut Abu Hasan
al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi.
Dalam pengertian terakhir ini,
Aswaja sepadan dengan kelompok-kelompok teologis semisal Mu’tazilah, Syiah,
Khawarij dan lain-lain.
Dalam sejarahnya, kemunculan
kelompok-kelompok ini dipicu oleh masalah politik tentang siapakah yang berhak
menjadi pemimpin umat Islam (khalifah) setelah kewafatan Rasulullah, Muhammad
SAW. Setelah perdebatan antara kelompok sahabat Muhajirin dan Anshor
dituntaskan dengan kesepakatan memilih Abu Bakar sebagai khalifah pertama,
kesatuan pemahaman keagamaan umat Islam bisa dijaga. Namun menyusul huru-hara
politik yang mengakibatkan wafatnya khalifah ketiga, Utsman Bin Affan, yang
disusul dengan perang antara pengikut Ali dan Muawiyah, umat Islam terpecah
menjadi kelompok-kelompok Syiah, Khawarij, Ahlussunnah dan –disusul belakangan,
terutama ketika perdebatan menjadi semakin teologis oleh—Mu’tazilah dan
lain-lain.
Aswaja melihat bahwa pemimpin
tertinggi umat Islam ditentukan secara musyawarah, bukan turun-temurun pada
keturuan Rasulullah SAW sebagaimana pandangan Syiah. Aswaja memandang
keseimbangan fungsi nalar dan wahyu, tidak memposisikan wahyu di atas nalar
sebagaimana pandangan Mu’tazilah. Aswaja melihat manusia memiliki kekuasaan
terbatas (kasb) dalam menentukan perbuatan-perbuatannya, bukan semata disetir
oleh kekuatan absolut di luar dirinya (sebagaimana pandangan Jabariyah) atau
bebas absolut menentukan perbuatannya (sebagaimana pandangan Qadariyah dan
Mu’tazilah).
Pada wilayah penggalian hukum
fiqh, Aswaja (sebagaimana diwakili oleh Imam yang empat: Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hanbali) bersepakat menggunakan empat sumber hukum: Al-Qur’an,
Sunnah, Ijma’, Qiyas; dan tidak bersepakatan dalam menggunakan sumber-sumber
yang lain semisal: istihsan, maslahah mursalah, amal ahl al madinah dan
lain-lain.
Setelah melalui evolusi sejarah
panjang, Aswaja sekarang ini menjadi mayoritas umat Islam yang tersebar mulai
dari Jakarta (Indonesia) hingga Casablanca (Maroko), disusul oleh Syi’ah di
Iran, Bahrain, Lebanon Selatan; dan sedikit Zaidiyah (pecahan Mu’tazilah) di
sejumlah tempat di Yaman. Dengan mengacu pada ajaran Muhammad Bin Abdulwahhab,
rezim Saudi Arabia berafiliasi kepada apa yang disebut Wahabi. Sementara di
Asia Selatan (Afganistan dan sekitarnya) reinkarnasi Khawarij menemukan tanah
pijaknya dengan sikap-sikap keras dalam mempertahankan dan menyebarkan
keyakinan.
Di Indonesia, Aswaja kurang lebih
sama dengan nahdliyin (sebutan untuk jamaah Nahdlatul Ulama), meskipun jamaah
Muhammadiyah adalah juga Aswaja dengan sedikit perbedaan pada praktik
hukum-hukum fiqh. Artinya, arus besar umat Islam di Indonesia adalah Aswaja.
yang paling penting ditekankan
dalam internalisasi ajaran Aswaja di Indonesia adalah sikap keberagamaan yang
toleran (tasamuh), seimbang (tawazun), moderat (tawassuth) dan konsisten pada
sikap adil (i’tidal). Ciri khas sikap beragama macam inilah yang menjadi
kekayaan arus besar umat Islam Indonesia yang menjamin kesinambungan hidup
Indonesia sebagai bangsa yang plural dengan agama, suku dan kebudayaan yang
berbeda-beda.
Ada dua kekuatan besar yang
menjadi tantangan Aswaja di Indonesia sekarang ini dan di masa depan: kekuatan
liberal di satu pihak dan kekuatan Islam politik garis keras di pihak yang
lain. Kekuatan liberal lahir dari sejarah panjang pemberontakan masyarakat
Eropa (dan kemudian pindah Amerika) terhadap lembaga-lembaga agama sejak masa
pencerahan (renaissance) yang dimulai pada abad ke-16 masehi; satu
pemberontakan yang melahirkan bangunan filsafat pemikiran yang bermusuhan
dengan ajaran (dan terutama lembaga) agama; satu bangunan pemikiran yang
melahirkan modernitas; satu struktur masyarakat kapital yang dengan globalisasi
menjadi seolah banjir bandang yang siap menyapu masyarakat di negara-negara
berkembang, termasuk di Indonesia.
Sebagai reaksinya, sejak era
perang dingin berakhir dengan keruntuhan Uni Soviet, Islam diposisikan sebagai
“musuh” terutama oleh kekuatan superpower: Amerika Serikat dan sekutunya. Tentu
saja bukan umat Islam secara umum, namun sekelompok kecil umat Islam yang
menganut garis keras dan secara membabi-buta memusuhi non muslim. Peristiwa
penyerangan gedung kembar pusat perdagangan di New York, Amerika, 11 September
2001, menjadikan dua kekuatan ini behadap-hadapan secara keras. Akibatnya, apa
yang disebut ‘perang terhadap terorisme’ dilancarkan Amerika dan sekutunya
dimana-mana di muka bumi ini.
Yang patut digaris bawahi: dua
kekuatan ini, yang liberal dan yang Islam politik garis keras, bersifat
transnasional, lintas negara. Kedua-duanya menjadi ancaman serius bagi
kesinambungan praktik keagamaan Aswaja di Indonesia yang moderat, toleran,
seimbang dan adil itu.
Gempuran kekuatan liberal
menghantam sendi-sendi pertahanan nilai yang ditanamkan Aswaja selama
berabad-abad dari aspeknya yang sapu bersih dan meniscayakan nilai-nilai
kebebasan dalam hal apapun dengan manusia (perangkat nalarnya) sebagai pusat,
dengan tanpa perlu bimbingan wahyu. Gempuran Islam politik garis keras
menghilangkan watak dasar Islam (Aswaja lebih khusus lagi) yang ramah dan
menyebar rahmat bagi seluruh alam semesta.
thaks sobat, jadi nambah wawasan ane
BalasHapusIjin menyimak dan share trims
BalasHapus