Ragam Bahasa Lisan| Grupsyariah (GS)
BAB I PENDAHULUAN
Keterampilan berbahasa Indonesia adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh Masyarakat Indonesia, tidak terkecuali murid sekolah dasar. Dalam bidang pendidikan dan pengajaran di sekolah dasar,
bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran pokok. Pelajaran bahasa Indonesia diajarkan kepada murid berdasarkan kurikulum yang berlaku, yang di dalamnya (kurikulum pendidikan dasar). Salah satu tujuan pokok pembelajaran yaitu murid mampu dan terampil berbahasa Indonesia dengan baik dan benar setelah mengalami proses belajar mengajar di sekolah. Keterampilan berbahasa itu tidak saja meliputi satu aspek, tetapi didalamnya termasuk kemampuan membaca, menulis, mendengarkan (menyimak), dan berbicara.
BAB II PEMBAHASAN
BAHASA INDONESIA LISAN
A. Pengertian Bahasa Lisan
Ada dua ragam komunikasi yang digunakan manusia dalam aktivitas kegiatan berbahasa sebagaimana yang diungkapkan Moeliono (Ed), bahwa ragam bahasa menurut sarananya lazim dibagi atas ragam lisan dan ragam tulisan (1988:6). Penggunaan ragam bahasa lisan memiliki keuntungan, yaitu karena hadirnya peserta bicara sehingga apa yang mungkin tidak jelas dalam pembicaraan dapat dibantu dengan keadaan atau dapat langsung ditanyakan kepada pembicara.
Berkaitan dengan ini, Pateda (1987: 63) menyebutkan bahwa ada empat alasan mengapa bahasa lisan itu penting dalam komunikasi, yaitu :
Berkaitan dengan ini, Pateda (1987: 63) menyebutkan bahwa ada empat alasan mengapa bahasa lisan itu penting dalam komunikasi, yaitu :
1. Faktor kejelasan, karena pembicara menambahkan unsur lain berupa tekan dan gerak anggota badan agar pendengar mengerti apa yang dikatakannya,
2. Faktor kecepatan, pembicara segera melihat reaksi pendengar terhadap apa yang dibicarakan
3. Dapat disesuaikan dengan situasi, artinya meskipun gelap orang masih bisa berkomunikasi
4. Faktor efisiensi, karena dengan bahasa lisan banyak yang dapat diungkapkan dalam waktu yang relatif singkat dan tenaga yang sedikit. Sebaliknya, berbeda halnya dengan penggunaan ragam bahasa tulisan.
Apa yang tidak jelas dalam bahasa tulisan tidak dapat ditolong oleh situasi seperti bahasa lisan. Dalam bahasa lisan, apabila terjadi kesalahan, pada saat itu pula dapat dikoreksi, sedangkan dalam bahasa tulisan diperlukan keseksamaan yang lebih besar. Menurut Badudu, bahasa lisan lebih bebas bentuknya daripada bahasa tulisan karena faktor situasi yang memperjelas pengertian bahasa yang dituturkan oleh penutur, sedangkan dalam bahasa tulisan, situasi harus dinyatakan dengan kalimat-kalimat Badudu (1985: 6).
Di samping itu, bahasa lisan yang digunakan dalam tuturan dibantu pengertiannya, jika bahasa tutur itu kurang jelas oleh situasi, oleh gerak-gerak pembicara, dan oleh mimiknya. Dalam bahasa tulisan, alat atau sarana yang memperjelas pengertian seperti bahasa lisan itu tidak ada. Dalam penggunaan bahasa lisan, meskipun kalimat yang diucapkan oleh seorang pembicara tidak lengkap, kita dapat menangkap maknanya dengan melihat lagu kalimat dan gerak-gerik kinesik lainnya. Dalam hal ini Uhlenbeck (dalam Teeuw, 1984: 27) menjelaskan bahwa keberhasilan komunikasi tidak tergantung pada efek sarana-sarana lingual saja, pemahaman pemakaian bahasa lisan adalah hasil permainan bersama yang subtil dari data pengetahuan lingual dan ekstralingual, dari informasi auditif, visual, dan kognitif. Gambaran karakteristik bahasa lisan sebagaimana telah diungkapkan oleh para ahli yang dimaksud yaitu:
a. Kalimat bahasa lisan banyak yang kurang terstruktur ketimbang bahasa tulisan, yaitu:
· Bahasa lisan berisi beberapa kalimat tidak lengkap, bahkan sering urutan frasa-frasa sederhana
· Bahasa lisan secara khusus memuat lebih sedikit kalimat subordinat
· Dalam percakapan lisan, kalimat-kalimat pendek dapat diobservasi, dan biasanya berbentuk kalimat deklaratif aktif.
b. Dalam bahasa tulisan terdapat seperangkat penanda metabahasa untuk menandai hubungan antar klausa (bahwa, ketika), juga, seperti, di samping itu, biarpun, selain itu, yang disebut logical connector. Dalam bahasa lisan, penggunaan susunan kalimat dihubungkan oleh dan tetapi, lalu, serta agak jarang jika.
c. Kalimat bahasa tulisan secara umum berstruktur Subjek–Predikat, sedangkan dalam bahasa lisan umumnya berstruktur topik komentar.
d. Dalam tuturan formal, peristiwa konstruksi pasif relatif jarang terjadi.
e. Dalam obrolan akrab, penutur dapat mempercayakan petunjuk pandangan untuk membantu suatu acuan.
f. Penutur dapat menjaring ekspresi lawan bicara.
g. Penutur sering mengulangi beberapa bentuk kalimat.
h. Penutur sering menghasilkan sejumlah pengisi (filter), misalkan, baiklah, saya pikir, engkau tahu, tentu, juga (Brown dalam Yule, 1983: 12).
B. Penggunaan Bahasa Ragam Lisan
Berbicara tentang penggunaan bahasa, tentunya tidak terlepas dari penutur-penutur bahasa itu atau orang yang menggunakan bahasa dalam kehidupan bermasyarakat. Penutur-penutur bahasa itu dalam proses sosialisasinya dapat berfungsi sebagai pembicara, penulis, pembaca, atau penyimak. Penyimak dan pembaca dalam hal proses berbahasa berfungsi sebagai penerima, sedangkan pembicara dan penulis berfungsi sebagai orang yang memproduksi bahasa.
Komunikasi antara pembicara dan pendengar atau penulis dengan pembaca dapat berjalan lancar, apabila di antara kedua belah pihak terdapat dalam masyarakat bahasa yang sama.
Komunikasi antara pembicara dan pendengar atau penulis dengan pembaca dapat berjalan lancar, apabila di antara kedua belah pihak terdapat dalam masyarakat bahasa yang sama.
Dengan demikian, setiap bahasa memiliki seperangkat sistem, yaitu sistem bunyi bahasa, sistem gramatikal, tata makna, dan kosa kata. Perangkat sistem ini ada dalam benak penutur. Saussure memberinya istilah dengan langue, yaitu totalitas dari sekumpulan fakta satu bahasa.
Langue adalah suatu sistem yang memiliki susunan sendiri. Langue merupakan norma dari segala pengungkapan bahasa. Berbeda halnya dengan penggunaan bahasa, karena penggunaan bahasa bersifat heterogen. Konsep penggunaan bahasa itu didasari teori Sassure, yaitu diistilahkan dengan parole. Parole adalah bahasa sebagaimana ia dipakai karena itu sangat bergantung pada faktor-faktor linguistik ekstern (dalam Rahayu, 1988: 88). Setiap penutur dapat dikatakan terampil berbahasa apabila ia memiliki kompetensi atau langue dari bahasa yang dikuasainya. Keterampilan berbahasa pada umumnya jarang dikuasai penutur dengan sama baiknya. Ada penutur yang terampil berbicara, tetapi kurang terampil menulis dan begitu pula halnya dengan keterampilan yang lainnya. Namun, dengan pemakaiannya keterampilan penutur dalam menggunakan bahasa sesuai dengan sistem-sistem di atas, belumlah dapat dikatakan mampu berbahasa dengan baik.
Rusyana (1984: 104) menjelaskan bahwa berbahasa dengan baik berarti bukan saja dapat menguasai struktur bahasa dengan baik, tetapi juga dapat memakainya secara serasi, sesuai pokok permasalahan, tokoh bicara, dan suasana pembicaraan. Untuk itu, setiap penutur harus menggunakan bahasa tersebut sesuai dengan situasi dan fungsinya. Kenyataan yang terjadi di masyarakat adalah bahwa bahasa itu terdiri dari berbagai ragam, ada yang berhubungan dengan pemakaian bahasa, ada pula yang berhubungan dengan pemakaiannya. Dalam hal ini Fishman (1972 : 149) membedakan variasi bahasa tersebut menurut penuturnya, yang disebut dengan dialek, dan variasi bahasa menurut penggunaannya disebut dengan istilah register.
C. Pelafalan (Pengucapan)
Masyarakat Indonesia terdiri dari beratus-ratus suku, dan masing-masing suku memiliki bahasa daerah. Bahasa daerah tersebut dipergunakan masyarakat sebagai sarana komunikasi antar suku, dan juga dipergunakan di lingkunagn keluarga. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau bahasa daerah tersebut sudah menyatu dengan kehidupan masyarakat di Indonesia. Badudu (1985: 12) mengatakan bahwa tidak seorang pun yang dapat melepaskan diri dari pengaruh itu seratus persen.
Badudu menjelaskan bahwa yang sering sukar dihindari adalah pengaruh lafal bahasa daerah, karena lidah penutur yang sudah “terbentuk” sejak kecil oleh lafal bahasa daerahnya (1985: 12). Bila kita perhatikan lafal orang Tapanuli misalnya, kata-kata yang befonem /e/ akan dilafalkan dengan /é/. Kata-kata seperti mengapa, karena, kemana, diucapkan dengan menggunakan /é/. Atau orang Jawa, akhiran /kan/ akan diucapkan dengan /ken/. Demikian pula dengan suku Sunda, Bali, Aceh, bila berbicara akan diwarnai pengaruh bahasa daerahnya.
Bila seseorang dalam berbahasa lisan terdengar bahasa daerahnya, maka lafalnya tergolong lafal nonbaku.
Bila seseorang dalam berbahasa lisan terdengar bahasa daerahnya, maka lafalnya tergolong lafal nonbaku.
Bila seseorang dalam berbahasa Indonesia tidak terdengar lafal bahasa daerahnya, maka lafalnya digolongkan pada bahasa baku. Badudu menjelaskan, “Lafal bahasa Indonesia baku adalah lafal yang tidak memperdengarkan warna lafal bahasa dialek, juga tidak memperdengarkan warna lafal bahasa asing seperti bahasa Belanda, Inggris atau Arab (1980: 115. Soemantri (1987: 11) mengatakan bahwa lafal bahasa Indonesia yang standar adalah tuturan bahasa Indonesia yang tidak terlalu menonjol ciri lafal daerahnya.
D. Struktur Bahasa Ragam Lisan Anak-Anak Dwibahasawan Di SD
Dalam wujudnya, bahasa yang kita gunakan terdiri dari unsur bunyi, bentuk morfologis, sintaksis dan semantik. Unsur-unsur bahasa itu tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang terpisah-pisah. Dalam bahasa lisan, unsur-unsur tersebut terangkai dalam wujud kalimat yang saling berkaitan. Kalimat yang pertama pada dasarnya digunakan sebagai acuan munculnya kalimat yang kedua, kalimat kedua dapat memunculkan kalimat ketiga dan seterusnya.
Oleh karena itu, memahami bahasa lisan seseorang dapat dilakukan, antara lain dengan cara menganalisis unsur-unsur bahasa dan aturan yang berlaku dalam bahasa itu. Uraian di atas memberikan gambaran bahwa struktur bahasa ragam lisan anak-anak pun dapat dianalisis melalui unsur-unsur bahasa yang dugunakannya.
Di samping itu, aturan-aturan yang berlaku juga dapat digunakan sebagai tolak ukur baku atau tidaknya penggunaan bahasa secara keseluruhan. Dari deskrifsi dan hasil analisis data, struktur bahasa ragam lisan anak-anak dwibahasawan masih dipengaruhi oleh bahasa ibu dan bahasa percakapan. Hal ini disebabkan oleh lingkungan terjadinya peristiwa bahasa, seperti frekuensi penggunaan bahasa ibu yang dominan. Anak-anak cenderung atau lebih sering menggunakan bahasa ibu daripada bahasa Indonesia ketika di rumah. Peristiwa itu terjadi karena faktor lingkungan (keluarga dan masyarakat) mendominasi terjadinya penggunaan bahasa daerah setempat. Efek dari peristiwa itu, maka penggunaan bahasa Indonesia di kelas pun diwarnai bahasa daerah.
Dalam hal ini, ada beberapa hal, yang dapat dikemukakan berkenaan dengan peristiwa tersebut.
a. Upaya yang dilakukan guru pada saat proses belajar berlangsung adalah digunakan bahasa Indonesia yang baik ketika mengajar di kelas. Pada saat proses belajar berlangsung terjadi berbagai ungkapan pikiran dan perasaan melalui bahasa lisan. Dalam peristiwa itu terjadi penggunaan struktur bahasa lisan pada anak-anak. Karena pada umumnya siswa tergolong dwibahasawan, maka dalam peristiwa itu ragam bahasa lisan tidak bisa dielakkan.
b. Digunakannya ragam baku dan tidak baku dalam peristiwa komunikasi pada prinsipnya tidak mengganggu proses belajar mengajar di kelas. Hal ini disebabkab oleh penggunaan ragam baku yang lebih sering digunakan dari pada ragam tidak baku. Ragam tidak baku pada dasarnya digunakan anak-anak atas dasar pertimbangan situasi dan sosial. Situasi atau konteks peristiwa yang terjadi itu memang mengharapkan penggunaan ragam tidak baku oleh anak-anak. Misalnya, ketika meminjam buku, menyuruh, bertanya, dan marah dengan temannya yang sebahasa (bahasa ibu).
Pada dasarnya anak-anak usia sekolah dasar telah menguasai struktur bahasa secara sempurna. Pada usia ini anak-anak di samping udah matang organ-organ bicaranya, mereka juga mampu merespon pembicaraan orang lain.
Pada dasarnya anak-anak usia sekolah dasar telah menguasai struktur bahasa secara sempurna. Pada usia ini anak-anak di samping udah matang organ-organ bicaranya, mereka juga mampu merespon pembicaraan orang lain.
E. Ragam Bahasa Lisan Yang Digunakan Anak-Anak Dwibahasawan Di Sd
Pada bagian terdahulu telah diuraikan bahwa penggunaan bahasa Indonesia lisan dalam situasi formal atau resmi hendaknya digunakan ragam bahasa baku. Demikian juga, dalam proses belajar mengajar di kelas, karena dituntut penggunaan bahasa yang cermat terutama terkait dengan keperluan keilmuan, maka hendaknya menggunakan bahasa Indonesia ragam baku. Namun, tidak dapat disangkal bahwa seseorang (dwibahasawan) akan mengalihkan atau mencampurkan bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan pada saat komunikasi sedang berlangsung.
Hal ini dapat terjadi karena berbagai alasan. Alasan-alasan itu, antara lain agar pembicaraan dapat berlangsung komunikatif, untuk menunjukan status sosialnya, dan kesulitan mencari padanan kata. Senada dengan hal ini, Grosjean (1982: 149) menjelaskan, bahwa kegiatan beralih bahasa (kode) terjadi manakala dwibahasawan kekurangan fasilitas pada suatu bahasa pada saat dwibahasawan itu mengemukakan suatu topik. Alih kode juga terjadi sewaktu dwibahasawan menemukan kata yang sulit diungkapkannya tidak ada padanan yang tepat. Selanjutnya alih kode sering terjadi ketika dwibahasawan sedang dalam keadaan lelah, atau sedang marah.
Berdasarkan deskripsi dan hasil analisis data ditemukan pergantian bahasa dalam ujian lisan anak-anak dwibahasawan ketika berinteraksi atau mengikuti pelajaran di kelas, yaitu pergantian penggunaan ragam baku keragam tidak baku atau sebaliknya. Pergantian ragam baku ke ragam tidak baku terjadi apabila interaksi terjadi antar anak-anak atau antara anak dan guru yang sebahasa ibu. Adapun faktor lain yang menyebabkan timbulnya peralihan bahasa (kode) tersebut disebabkan oleh kesulitan mencari padanan kata dan faktor situasi yang melingkupinya. Faktor-faktor situasional ini terjadi pada anak-anak dwibahasawan, khususnya ketika proses belajar-mengajar berlangsung, sementara mereka mengalami berbagai kendala. Wujud kendala itu adalah berupa kesulitan-kesulitan tertentu, seperti pada saat merespon atau memahami materi pelajaran. Di samping itu, situasi kelas yang ramai, ribut, penat dan panas (jam pelajaran terakhir), maka mereka beralih bahasa (kode) ketika menyampaikan ujarannya.
F. Fungsi Bahasa Yang Digunakan Anak-Anak Dwibahasawan Sd
Fungsi bahasa yang paling utama adalah sebagai alat komunikasi. Dalam hal ini berbagai penjelasan mengenai fungsi bahasa telah dapat dikemukakan para ahli bahasa. Bebereapa pakar memberikan penjelasan mengenai fungsi bahasa dilihat dari cara pandang masing-masing. Akan tetapi, penjelasan mengenai fungsi bahasa tersebut secara keseluruhan memiliki banyak persamaan.
Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian ini, secara konstekstual bahasa yang digunakan anak-anak dwibahasawan berfungsi:
Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian ini, secara konstekstual bahasa yang digunakan anak-anak dwibahasawan berfungsi:
1. Sebagai alat untuk berinteraksi atau interaksional
2. Merupakan alat untuk diri atau personal
3. Alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan atau heuristic
4. Untuk menyatakan imajinasi dan khayal.
Selanjutnya, dilihat dari struktur kalimatnya penggunaan bahasa lisan anak-anak dwibahasawan berfungsi:
1. Untuk menyatakan perasaan atau ekspresi
2. Bertanya, meminta suatu pendapat, tanggapan atau jawaban
3. Untuk menjelaskan informasi atau materi pelajaran
4. Memberi atau membuat contoh.
Fungsi untuk menyatakan perasaan atau ekspresi dalam ujaran anak-anak dwibahasawan, antara lain ditandai oleh adanya rasa gembira, senang, kagum, atau kecewa. Ungkapan ini dapat tergambar pada kalimat (a) Aku sangat senang pergi bersama-sama keluarga, (b) Aduh, senagnya pengalaman waktu libur, dan (c) Pada saat aku mengamati gambar tugu monas aku heran melihat bangunan yang amat tinggi.
Fungsi untuk menjelaskan informasi atau materi pelajaran ini terkait secara kontekstual. Ungkapan-ungkapan tersebut dapat tergambar pada kalimat (a) Paman Mus pergi bertransmigrasi karena Gunung Galunggung meletus. Sekarang masa depan Paman dan keluarganya terjamin, (b) Rumah Wangi terbakar karena ledakan kompor tetangganya, dan (c) Keamanan di Desa Pak Thomas sangat terganggu. Ayam di kandang hilang tanpa suara. Begitu pila kambing dan ternak lainnya. Akhir-akhir ini malingnya berani mencongkel jendela rumah Pak Lurah. Untung cepat diketahui, tapi maling itu melarikan diri.
BAB III KESIMPULAN
Salah satu tujuan pokok pembelajaran yaitu murid mampu dan terampil berbahasa Indonesia dengan baik dan benar setelah mengalami proses belajar mengajar di sekolah. Keterampilan berbahasa itu tidak saja meliputi satu aspek, tetapi didalamnya termasuk kemampuan membaca, menulis, mendengarkan (menyimak), dan berbicara.
Pateda (1987: 63) menyebutkan bahwa ada empat alasan mengapa bahasa lisan itu penting dalam komunikasi, yaitu :
1. Faktor kejelasan, karena pembicara menambahkan unsur lain berupa tekan dan gerak anggota badan agar pendengar mengerti apa yang dikatakannya,
2. Faktor kecepatan, pembicara segera melihat reaksi pendengar terhadap apa yang dibicarakan
3. Dapat disesuaikan dengan situasi, artinya meskipun gelap orang masih bisa berkomunikasi
4. Faktor efisiensi, karena dengan bahasa lisan banyak yang dapat diungkapkan dalam waktu yang relatif singkat dan tenaga yang sedikit. Sebaliknya, berbeda halnya dengan penggunaan ragam bahasa tulisan
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar
NB: Berikan Komentar yang sopan dan berkenaan dengan Artikel diatas.
Saya mohon maaf jika komentar sahabat dan rekan blogger terlambat di respon Karena banyaknya kegiatan yang mengikat he he he, Silahkan copas asalkan cantumkan juga sumbernya yah...!